Saturday 31 January 2015

KORUPSI dan KARUNIA



Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk mencari karunia Allah. diantaranya ternukil dalam surat Al Jum’at (62) ayat ayat 10. 
 

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah
Perlu diingat bahwa karunia dapat berwujud menjadi dua;  yaitu:
1.      Karunia berupa nikmat, bermuara kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.      Berupa istidraj, berujung laknat yang membawa bencana di dunia dan malapetaka di akhirat nanti.
KARUNIA berupa NIKMAT
Adalah karunia yang dapat membahagiakan untuk kehidupan di dunia ini dan juga nanti akan membuat penerima karunia untuk kebahagiaannya setelah di akhirat nanti. Wujud dari karunia itu adalah berupa kenikmatan, kemudahan dalam hidup, mempunyai rezeki yang luas, serba berkecukupan, terpandang  dalam masyarakat, anak-anak keturunan tidak mengecewakan. Aman dan sejahtera lahir dan bathin.
Indikasi bahwa karunia itu adalah berupa nikmat dapat ketahui dari:
a)      Bagaimana proses Karunia didapatkan, yaitu dengan tata cara yang halal dan baik, tidak menzalimi orang lain, dengan cara yang syah menurut hukum yang berlaku dalam masyarakat dilingkungannya. Termasuk tentunya bukan dengan jalan korupsi, bukan dengan mengambil hak orang lain dengan illegal, tidak mengambil hak orang lain dengan kekerasan (merampok/mencuri/merampas), atau bukan mengambil hak orang lain dengan cara halus (menipu, mungkin juga cara halus ini termasuk korupsi).
b)      Bentuk Karunia yang diperoleh, haruslah berwujud yang tidak akan melarutkan diri si memperoleh karunia, sehingga menjauhkan dari hakikat kehidupan ini. Hakikat hidup ini adalah untuk mengabdi kepada Pencipta manusia dan kehidupan. Misalnya lantaran mendapatkan sesuatu benda hasil karunia, sehingga yang bersangkutan disibukkan merawat/mengagumi benda itu. Karunia yang menjadikan penerima karunia menjauh dari hakikat hidup itu, dapat berupa harta, berupa pangkat dan jabatan, kehormatan dan dapat pula berupa anak dan keturunan.
c)      Untuk maksud apa Karunia itu dicari, sidang pembaca sudah paham benar bahwa setiap amal itu dinilai dari niatnya. Begitu juga orang mencari karunia itu niatnya apa. Segala macam karunia itu baru merupakan kenikmatan bila diniatkan mencarinya bukan untuk jor-joran, bukan untuk megah-megahan, bukan untuk persaingan agar lebih dari orang lain. Banyak orang terjebak oleh kecendrungan hawa nafsu termotivasi persaingan kegidupan orang lain. Untuk memenangkan persaingan itu, kadang menempuh segala macam cara, tidak lagi memperdulikan sagala macam norma. Padahal yang namanya persaingan tak akan habis-habisnya. Boleh saja menang bersaing tingkat RT, tapi bila ditanding di tingkat RW mungkin sudah kalah, selanjutnya boleh saja terkaya di tingkat RW, belum tentu terkaya di tingkat Kelurahan dan seterusnya sampai se Kecamatan, se Kabupaten, Provensi dan se Indonesia.
KARUNIA berupa ISTIDRAJ
Adalah juga karunia yang dapat membahagiakan untuk kehidupan di dunia, tetapi belum tentu akan membuat penerima karunia berbahagia di akhirat nanti, menurut acuan/petunjuk agama. Wujud karunia berupa kenikmatan, kemudahan hidup, rezeki yang luas, serba berkecukupan, terpandang dalam masyarakat, mempunyai anak-anak keturunan sukses dan tidak mengecewakan, tetapi karunia itu belum tentu membuat ketenangan bathin walau mensejahterakan secara lahir.
Juga karunia  berupa istidraj  terindikasi sama dengan indikasi karunia berupa nikmat  yaitu:
a)      Bagaimana proses Karunia didapatkan. Karunia diperoleh dengan jalan tidak halal, dengan jalan merugikan dan menzalimi orang lain, karunia diperoleh dengan melanggar ketetuan hukum yang berlaku, termasuklah menipu, mencurri, merampok dan korupsi.
b)      Apa bentuk Karunia yang diperoleh. Karunia yang diperoleh kalaulah dia berupa benda, berupa harta atau anak-anak cucu keturunan, pangkat dan jabatan serta penghargaaan dan penghormatan masyarakat,  yang bersangkutan saking cintanya kepada karunia itu membuat ia melupakan Allah.
c)      Untuk maksud apa Karunia itu dicari. Sejak semula pencari karunia Allah yang demikian, telah berniat untuk mencari karunia demi bermegah-megah, demi kejayaan didunia. Allah memperturutkan niat yang bersangkutan, sehingga diapun akan sukses dan hartanya akan makin bertambah, kemulian dan penghargaan masyarakatpun semakin menyanjung.
Karunia berupa istidraj walau pada awalnya seolah-olah tak akan berakhir, tetapi kita banyak melihat contoh orang-orang yang mendapatkan kejayaan dengan istidraj itu, berujung laknat belum lagi di akhirat nanti,  di dunia ini saja sadah banyak ditampakkan Allah.
Contohnya orang yang memperoleh harta dengan jalan korupsi, diapun mendapatkan karunia berupa harta yang banyak, yang diperhitungkan secara logika tak akan terhabiskan sampai tujuh turunan. Akan tetapi kalau korupsi tersebut terbongkar, maka diri yang bersangkutan akan menghabiskan sisa hidup di dalam bui, sementara harta yang terkumpul tersebut tidak begitu banyak lagi gunanya untuk menyenangkan diri. Keluarga diluar bui akan dipandang rendah dalam masyarakat.
Adapun karunia yang berupa istidraj, dapat kitra jadikan rujukan hadist  dari Ubah bin Amir radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah,
   
Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44).
Boleh dikata, Allah sengaja “merajuk”, agar semakin senang, sehingga mereka samakin “besar kepala”, merasa bahwa segala apa didunia ini dapat diperoleh dengan kemampuannya dan lupalah bahwa segala usaha tak akan berhasil tanpa bantuan Allah.
Juga pantas menjadi renungan kita tentang istidraj ini akan hadist  (HR. Ahmad, no.17349, Thabrani dalam Al-Kabir, no.913, dan disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414).

Jika ada orang yang berbuat dosa tetapi mendapat kesenangan dan tidak mendapat adzab dari Allah maka bisa jadi itu adalah istidraj. Kesenangan tersebut hanyalah kesenangan sesaat di dunia yang akan dibalas / digantikan dengan adzab / siksaan oleh ALLAH baik segera di dunia atau di akhirat”.

Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya. Allah berfirman di dalam surat Al-Qalam ayat 44,


44. Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui,





Persoalannya kenapa Allah berbuat demikian? Kenapa Allah tidak memberi hidayah saja dan menyadarkan mereka ?

Itu karena hidayah tidak akan diberikan kepada mereka yang menutup hatinya dan tidak bersedia menerima petunjuk Allah, bahkan mereka menjadikan kebaikan yang diajarkan Allah sebagai bahan untuk mengolok-olok. Hidayah bisa saja datang kepada orang yang dzalim dan gemar berbuat dosa jika kemudian orang tersebut membuka hatinya untuk menerima petunjuk-petunjuk Allah yang terdapat dalam ajaran agama.


Dari secercah paparan di atas kiranya dapat menjadi renungan kita bahwa:
1.      Carilah karunia Allah itu, sekuat tenaga dan pikiran dengan ilmu dan perbuatan yang dimiliki tetapi harus dalam koridor pentunjuk Allah dan Rasul-Nya.
2.      Jangan terpesona apalagi lantas ikut-ikutan kepada orang yang mencari karunia Allah itu dengan jalan yang tidak sesuai koridor agama dan hukum yang berlaku. Karena kadang banyak semboyan yang muncul “Sekarang ini untuk mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal”.
3.      Kuatkan iman, bahwa Allah menciptakan kita tanpa kita mengisi formulir pendaftaran, jadi bukan atas permintaan kita, semata-mata hak dan kehendak Allah. Oleh karena itu tanamkan keyakinan bahwa Allah sudah pasti bertanggung jawab dengan ciptaan-Nya.


Wallaahu a'lam bish-shawab...