Saturday 12 October 2013

KEPRIBADIAN INSANI



Manusia diciptakan memiliki 4 kepribadian yaitu: pertama; Kepribadian hewani, sehingga ada yang mengatakan “manusia adalah hewan yang berakal dan dapat ngomong”. Kedua; kepribadian syaitan, selalu mengajak dan cendrung berbuat kejahatan. Ketiga; kepribadian Malaikat, hanya berbuat baik dan mengabdi kepada Allah. Keempat; kepribadian Insani,  condong berbuat taqwa, disaat yang sama berpotensi berbuat fujuraha (nista).
Kepribadian Insani, tidak melulu seperti hewan yang hanya mempunyai nafsu makan, tidur dan reproduksi, walau nafsu itu dipunyai oleh Insani. Manusia yang potensi “taqwaha”nya menonjol akan makan yang halalan tayibah, tidur untuk memenuhi sunatullah bagi kesehatan dan hubungan reproduksi sesuai koridor yang dibenarkan oleh norma agama masing-masing.
Kepribadian Insani tidak hanya seperti syaitan yang inginnya hanya berbuat kejahatan saja, karena sejahat-jahatnya manusia tetap saja ada sisi baiknya, di lain pihak sebaik-baik manusia bila dicari pasti ada jeleknya. Oleh karena itu maka setiap rakaat kita sholat ada do’a duduk diantara dua sujud yang dapat dimaknai “Lindungi diriku (ya Allah) dari tersingkapnya aibku”. Sebab jika aib kita di dunia ini dibukakan Allah, maka tidak seorangpun diantara kita tidak punya aib. Makanya dalam agama Islam membuka aib seseorang digolongkan ghibah, sedang ghibah adalah sesuatu yang sangat dilarang dengan ancaman “memakan bangkai saudara kita yang sudah mati”, kecuali ghibah yang dihalalkan antara lian membuka aib seseorang demi kepentingan pengadilan. Kalaulah aib kita di dunia ini dibukakan Allah maka mungkin anda tidak sanggup keluar rumah lantaran teramat malu. Aib itu mungkin akan terbuka juga di akhirat kelak manakala kita belum memohon ampun dan bertobat. Contoh konkrit bahwa manusia tidak semata-mata bertabiat seperti syaitan,  tidak ada seorang penjahatpun yang ingin anak turunannya meneruskan tabiat penjahatnya itu.
Kepribadian Insani tidak pula bagaikan malaikat, yang tiap saat taat, sebab malaikat tidak diberikan nafsu seperti hewan dan manusia, sehingga tidak ada peluang untuk berbuat jahat.  Hewan tidak diberikan pula sifat syaitan, sehingga nafsunya hanya diumbar sebatas kewajaran dirinya sebagai hewan. Hewan hanya makan makanan tradisional mereka, hanya berhubungan untuk reproduksi sesuai dengan naluri sejak nenek moyang mereka. Misalnya pemakan rumput hanya rumput dan sejenis rumput yang ia makan, tidak akan doyan makan daging, sementara itu hewan pemakan daging tidak akan sudi diberi makan rumput. Memang ada sejenis hewan yang dapat makan sembarangan tapi tetap saja beda dengan manusia.  Manusia apa saja sanggup dia makan, karena punya kemampuan mengkonversi setiap benda. Dikenallah istilah bahwa besi beton dimakan manusia, aspal dimakan manusia, semen dimakan manusia. Lagian sebuas-buasnya Harimau, kalau memangsa Rusa di hutan belantara, hanya memangsa seekor rusa untuk keperluan makan sekeluarga mereka di hari itu, besok barulah mereka berburu lagi, jadi hanya secukupnya saja. Beda dengan manusia bila bertemu kawanan Rusa di dalam hutan, kalau memungkinkan ditembak semua, jika tidak habis dimakan sehari itu, diawetkan dibuat dendeng. Bicara soal hubungan reproduksi hewan dari zaman ke zaman begitu, begitu saja yaitu antara jantan dan betina mereka. Giliran hubungan reproduksinya, manusia lain lagi, ada perilaku sejenis, dan bahkan konon ada perilaku lintas mahluk.
Jadi ketika seseorang sedang khusuk melaksanakan ibadah, dengan ikhlas berbuat baik sesama (ibadah sosial), sifat “taqwaha” nya muncul. Ketika yang bersangkutan korupsi maka potensi “fujuraha” yang bersangkutan dominan. Siapapun dia berpotensi korupsi, jika ada peluang, kecuali orang-orang yang sifat “taqwaha” nya sangat dominan. Untuk mencegah peluang itu perlu system yang sanggup memprotek, sebab Rumus kejahatan adalah: “Kejahatan = Kesempatan + Kemauan”.
Membendung kemauan jahat adalah sifat manusia “taqwaha” dan mendorong kemauan jahat ialah sifat manusia “fujuraha”. Sedangkan untuk meminimalkan “Kesempatan” ialah system. Kalau koruptor kemudian dari hasil korupsinya itu untuk membiayai ibadahnya, maka dapat diumpamakan “berwudhu dengan najis”.
Persoalannya adalah:
Bagaimana membuat sifat “taqwaha” manusia menjadi lebih dominan daripada sifat “fujuraha”. Bagaimana memininalkan sifat “Khewaniah” yang terlekat di diri setiap individu. Bagaimana senantiasa memelihara sifat “malaikat”, agar tetap melekat di diri. Bagiamana menjauhkan sifat “syaitaniah” yang menggoda dari segala penjuru. Untuk itu 6 (enam) langkah di bawah ini agaknya patut para pembaca renungkan:
Pertama; Tepati janji. Allah telah mengambil janji kepada manusia sejak di alam ROH, tentang ke-Esaan Allah. Oke--lah bahwa tidak satupun kita masih ingat akan janji itu, sejak roh dimasukkan kedalam raga, ingatan itu menjadi sirna. Akan tetapi kita semua yang beragama Islam setiap hari di rakaat sholat berjanji setia kepada Allah, dengan mengucapkan kesaksian dalam “Sahadatain” bahwa hanya ber-Tuhan kepada Allah dan bersaksi pula bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Konsekwensinya adalah melaksanakan segala perintah Allah dan sekuat tenaga mencontoh perbuatan Rasulullah. Menjauhi semua larangan Allah dan Rasul-Nya. Untuk itu antara lain Allah mengingatkan bahwa (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi” (Qs 2:27). Jadi orang yang merugi itu ada tiga golongan. Pertama yang melanggar penjanjian dengan Allah. Kedua orang yang memutuskan silaturahim dan ketiga orang yang membuat kerusakan di muka bumi.
Kedua; senantiasa merasa diawasi oleh Allah setiap gerak gerik kita. Seperti antara lain terungkap pada surat Alhujurat 18 “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. Dengan begitu setiap insan merasa bahwa apapun yang dilakukannya baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi merasa diawasi Allah. Baik suap itu sudah dinikmati maupun baru dalam negosiasi melalui sms dan telekomunikasi, semua jelas akan terpantau dan tertangkap tangan oleh Allah. Kepada KPK dapat saja beralasan macam-macam tetapi CCTV Allah tak kan dapat dihindari. Selanjutnya kita lihat informasi dari Allah dalam Al-Qur’an bahwa kita akan dibagikan kitab yang dapat ngomong tentang apa yang pernah kita lakukan. Qs 45:29 (Allah berfirman: "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan."
Ketiga; evaluasi. Orang bijak setiap hari mengevaluasi diri, apa saja amal baik yang telah dilakukan apa saja amal buruk yang terlanjur dikerjakan untuk segera koreksi dan mohon ampun kepada Allah. Kalau keterlanjuran salah sesama manusia segera mohon maaf. Orang yang selalu mengevaluasi diri, hidupnya akan penuh kehati-hatian, tidak sembrono dalam berbuat, selalu berhitung keputusan yang diambil. Berpikir sebelum berucap, karena takut menyakiti orang lain. Senantiasa ingat janji kepada Allah dan juga kepada manusia (kalau jadi pejabat kan disumpah). Senantiasa merasa diawasi oleh Allah seperti langkah kedua di atas. Aktivitas evaluasi ini sendiri, juga yang bersangkutan merasa mendapat pengawasan dari Allah, karena itu dalam evaluasi dianya tidak membenar-benarkan diri, atau mencari alasan pembenaran atas apa yang sudah dia lakukan. Banyak orang yang tau bahwa dianya salah, tetapi berusaha mencari pembenaran atas kesalahan itu. Contoh kecil seseorang diposisi jabatan menengah misalnya; suatu hari tidak sengaja menerima sesuatu yang seharusnya tidak boleh diterima dengan jabatannya itu. Malamnya dalam evaluasi diri, dianya membenarkan dirinya, membujuk nuraninya “ah kamu dapat sogokan hanya sekian, bos kamu lebih parah lagi, lebih besar lagi, kamu tak seberapa”. Diapun tenang dan hari hari selanjutnya menjadi terbiasa menerima sogokan kecil-kecilan itu, keterusan dan kalau orang berurusan dengannya tak memberi sesuatu lantas dipersulit. Beginilah penyakit umum ditatanan birokrasi kita. Percuma spanduk yang dipasang lebar di kantor-kantor yang isinya antara lain “Jangan melalui Calo, berurusan dengan pejabat resmi untuk menghindari pungli”.
Keempat; penalty. Langkah keempat ini penting dilakukan untuk memacu diri agar tetap komit terhadap janji dilangkah pertama dan merasa diawasi langkah kedua dan evaluasi dilangkah ketiga. Output janji yang kurang tertepati, pengawasan terlalai dan hasil evaluasi diri bahwa ada ibadah yang kurang,  misalnya biasanya sholat tahajjud, karena tidurnya kemalaman lantaran nonton sepak bola sehingga terbangun hampir  adzan subuh, sehingga tidak sempat sholat tahajjud yang saban malam dilakukan, maka berikan penalty kepada diri misalnya pagi harinya  perbanyak rakaat sholat dhuha, perbanyak bersedekah, tingkatkan jumlah sedekah misalnya biasanya hanya Rp 2.000,- hukum diri dengan sedekah Rp 5.000,- Penalty ini menjadi pemacu agar ibadah rutine tetap terlaksana.
Kelima; serahkan diri. Sesudah keempat langkah di atas dilakukan, serahkan diri kepada kuasa Allah. Sebab apalah artinya ibadah yang kita lakukan, jika Allah tidak berkenan, apalah artinya seluruh ibadah kita jika dibandingkan dengan nikmat Allah yang sudah kita terima. Apalah artinya ibadah kita dari ukuran besarnya pahala dibandingkan dengan menggunungnya dosa kita. Tidak seorangpun masuk ke dalam surga kalau bukan karena RAHMAT ALLAH. Oleh karena itulah kuncinya setelah maksimal usaha serahkan diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t. semoga Allah mengampuni dosa dan menerima ibadah kita dan lebih dari pada itu menaungi kita dengan RAHMAT-NYA.
Keenam; jauhi diri dari perangkap syaitan. Perangkap syaitan begitu menggurita dari atas, dari kiri kanan dari bawah dari semua penjuru. Yang paling menonjol diantara perangkap syaitan itu adalah “PALING”. Merasa paling kaya, merasa paling banyak berbuat kebaikan, merasa paling banyak ibadah, merasa paling pintar, merasa paling berkuasa, merasa paling benar. Adalah baik menjadi orang benar, tetapi menjadi paling buruk menjadi orang yang merasa paling benar.
System yang baik.
Kembali kerumusan “Kejahatan = Kemauan + Kesempatan”. Soal Kemauan jalan keluarnya adalah membenahi diri manusia agar sifat “Taqwaha” lebih dominan dari “Fujuraha”, dengan enam langkah yang ditawarkan di atas. Bicara soal kesempatan disini sangat berperanan adalah system yang harus dibuat oleh ikhtiar manusia agar bagimanapun orang “mau” berbuat kejahatan oleh system dapat dipagari sehingga orang tidak dapat melakukannya. Kuteringat system pengamanan berlapis yang diterapkan bank dalam mengamankan penyimpanan uang tunai. Dibanyak cabang bank, terutama cabang besar. Kunci pintu pertama masuk khasanah dipegang oleh si A, selanjutnya kunci masuk pintu kedua ruang khasanah dipegang oleh si B kunci kombinasi membuka ruang khasanah oleh si C dan kunci kombinasi lemari besi dimana didalamnya ada uang dipegang kepala kasir. Kunci penyimpanan formulir berharga baik bernilai nominal maupun tidak bernilai nominal dipegang pejabat yang berkenaan dengan formulir tersebut. Bila salah seeorang dimutasikan maka kunci kombinasi tersebut langsung diubah terutama bagian orang yang dimutasikan. Dengan system itu seorang saja tidak dapat langsung membuka lemari besi penyimpanan uang. Bagaimana membangun system yang lebih besar dalam skala mengurus birokrasi negara, tentu para ahli bernegaralah yang lebih mengerti.