Monday 30 September 2013

LAIN LADANG LAIN BELALANG


Lain Ladang lain Belalang. Ungkapan pepatah ini dimaksudkan untuk mengungkapkan bahwa tiap tempat berbeda adat istiadatnya, berbeda nilai kebenaran, berbeda sesuatu yang dinilai baik.  Pepatah itu ada sambungannya lagi  “Lain lubuk lain pula ikannya”.  Juga makna lanjutan kata-kata tadi juga adalah memperkuat arti pepatah bahwa pada dasarnya setiap tempat punya kekhasan tentang nilai kebenaran, nilai kebaikan bahkah nilai keindahan nilai kepatutan.
Sebetulnya dalam kenyataan mungkin adalah susah mencari  beda antara belalang disatu ladang dengan belalang di ladang yang lain, kalau bukan karena memang speciesnya yang dari asalnya memang beda. Begitu juga ikan di dalam lubuk, jika ikannya jenisnya sama ya samalah dia. Tapi kita akui dan rasa hormat nan tinggi atas kepiawaian nenek moyang kita menyusun kata menjadi pepatah yang dimaksud sudah susah untuk dibantah.
Sepertinya generasi kita belum lagi keluarkan redaksi pepatah-pepatah baru  untuk pusaka buat anak cucu kita. Yang santer jadi semboyan sekarang adalah “cari rezeki yang haram saja susah apa lagi yang halal”.  Apakah ini pepatah, entahlah, tetapi banyak orang yang tidak dapat membantah ungkapan ini, sebab kini orang sudah banyak yang mencari rezeki tidak dengan cara yang halal lagi. Setiap bidang pekerjaan bidang  usaha, terselip subhat dan tipu menipu, rekayasa, kedustaan. Dengan jalan begitu saja kata banyak orang sudah susah. Apa lagi kalau lurus rus akan ndak dapat apa-apa ndak dapat ikut kebanyakan orang. Tidak heran korupsi meraja lela, yang apes pada ketangkap yang bernasib baik berleha-leha sesama kolega.
Sudah banyak si istilah yang lain di zaman kini, misalnya: “Lain ditulis di pengumuman lain pula kenyataannya”. Di kantor-kantor pemerintahan pelayanan masyarakat, sering ditulis dalam redaksi pengumuman: “Jangan mengurus melalui calo”, “Jangan memberi imbalan apapun kepada petugas”. Dalam kenyataannya kalau surat-menyurat, izin mengizin diurus sendiri akan berkepanjangan, ada saja salahnya, membuat kita harus bolak balik ngurusnya membuang waktu dan tenaga. Akhirnya kebanyakan orang memilih melalui calo juga yang sudah mahir betul berapa jumlah meja yang harus “disinggahi dan disisipi”, sehingga menjadi jelas berapa total biaya yang katanya diumumkan gratis, atau hanya sesuai tariff resmi disetor ke kas Negara. “Menurut TV kan gratis”, kata seorang ngurus KTP, dengan enteng jawabannya “Urus saja di TV”.
Kembali ke pepatah, adalah anakku dalam tugasnya ke suatu daerah bertamu ke rumah sebuah keluarga. Sebagai penghormatan keluarga sahibul bait menghidangkan buah semangka, tentu sudah diiris potongan  yang pantas untuk dihidangkan. Sambil bebasa basi sekedarnya, kemudian anggota keluarga pemilik rumah langsung mengambil sepotong semangka terhidang dan memakan.   Ketika pulang, dalam perjalanan partner kerja anakku dalam kunjungan ke daerah itu, berkomentar, tentang kenapa putri tuan rumah lebih dahulu memakan semangka, bukannya mendahulukan tamu.
Di meja makan anak kami menceritakan kronologis pertamuannya dan komentar partner kerjanya itu. Kepada anakku kujelaskan, berkaitan dengan pepatah “Lain ladang lain Belalang, lain lubuk lain pula Ikannya”. Bahwa istiadat daerah yang dikunjunginya itu justru tuan rumahlah yang harus terlebih dahulu mencicipi makanan. Kalau dahulu lebih ekstrim lagi, sambil mencicipi makanan itu si tuan rumah saraya mengajak tetamunya makan sambil berucap “ayo dimakan tidak ada racunnya” dengan membuktikan memakannya sendiri.  Dahulu di daerah itu orang-orang dulu terkenal suka meracun tetamunya, dalam rangka menguji seberapa hebat kesaktian/kekebalan pendatang ke daerah mereka. Racunnya memang bukan kelompok racun berat, misalnya paling ringan orang diare, pusing kepala. Paling berat muntah darah dan batuk-batuk bertahun-tahun. Itulah sebabnya menjadi budaya di daerah itu sampai sekarang, kalau menghidangkan makanan nilai kesopanannya si pemilik makananlah mencicipi lebih dahulu.
Lain lagi dengan perihal menyuguhkan minuman, ada daerah, begitu tamu datang langsung disuguhi minuman dengan nilai kesopanan/kepatutan  menurut daerah itu, bahwa si tamu harus diberi minum lebih dahulu karena haus dalam perjalanan. Sementara menurut suatu daerah penyuguhan minuman lebih dahulu itu tidak pantas, tidak sopan karena dapat ditafsirkan mengusir tamu, agar cepat pulang. Justru di daerah penganut paham ini tamu setelah beberapa saat mengobrol baru dihidangkan minuman. Pokoknya “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”. Disatu daerah. tuan rumah merasa mendapat kehormatan dari tamunya bila minuman yang disuguhkan diminum habis, sementara di daerah tertentu menganggap yang sopan bagi tamu adalah menyisakan sedikit minuman di dasar digelas/cangkir.
Kuceritakan juga ke anak kami, ada suatu daerah kalau kita diundang makan di rumah mereka ketika mengambil daging ikan besar yang dihidangkan dipiring oval misalnya. Jika daging ikan disatu sisi sudah habis untuk mengambil daging ditubuh ikan di bawahnya, adalah tidak sopan dan tabu jika tubuh ikan itu dibalik. ”Lho kalau begitu gimana caranya” sela anak kami. Hendaklah tulang ikan yang diangkat jadi daging  ikan di bawah tulang yang besar itu dapat dimabil. “gak praktis sekali” tambah anak kami. “Memang tidak praktis”., jawabku. Itulah nilai kesopanan suatu daerah, nilai kebenaran suatu daerah, karena kalau dengan dibalik si empunya hidangan tersinggung berat, dianggap si tamu mengungkapkan bahwa bagian ikan sebelahnya kurang matang, atau tidak sama dengan bagian yang di atasnya. Sekali lagi “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”.
Banyak sekali budaya nusantara ini, bila dibukukan mungkin ribuan halaman, tiap daerah ada saja bedanya. Ini baru menyoal sedikit perihal bertamu, menyoal makanan dan minuman, belum lagi soal bagaimana harus bersikap, bagaimana harus berucap pokoknya banyak sekali soal “Lain ladang lain belalang lain lubuk lain pula ikannya”. Yang penting pesanku ke anak kami, usahakan kenali daerah yang anda kunjungi sebelumnya. Pesan nenek datuk kita jika kita berkunjung ke negeri orang “Bawalah ayam betina, jangan membawa ayam jantan”.

Sunday 22 September 2013

BOCAH MENGEMUDI


Sedang heboh belakangan ini di kota-kota besar dan sampai ke kota-kota kecil digelar razia pengemudi sepeda motor belia, tentu tidak punya Surat Izin Mengemudi (SIM). Begitulah salah satu model “kebijakan” negeri ku bak kata pepatah “setelah tersandung baru tengadah” (tengadah melihat ke benda yang membuat tersandung biasanya di atas). Soalnya lagi sedang ramai diwartakan bahwa seorang bocah melaju di jalan tol waktunya bagus benar “dini hari”, dengan seorang teman wanita pula? (dari mana mau kemana kau nak, lagi ngapain kalian nak), mobil yang dikemudikannya meluncur deras melewati pembatas jalan dan mencederai pengguna jalan yang lain, kata media  terjadilah korban jiwa……..Sejauh ini apakah juga dirazia pengemudi mobil yang masih bocah.
Si bocah di bawah umur itu tentu saja tidak punya SIM sebab memang di negeriku ini baru boleh memohon SIM setelah usia 17 tahun. Itupun tidak gampang lho, melalui ujian kadang berkali-kali baru lulus. Anakku ketika masuk usia 17 mencoba memohon SIM dengan prosedur resmi dan ternyata sekali ujian ndak lulus tuu. Ini membuktikan ujiannya benaran, sebab kalau hanya formalitas tentu dia langsung lulus. Beberapa waktu kemudian anakku mengajukan permohonan SIM lagi, kini melalui jalur kolektif gabung dengan komunitas perguruan tinggi, baru lulus.
Menyoal soal SIM dan segala macam izin mengemudi kuteringat ke dua peristiwa di kampung kelahiranku:
Peristiwa pertama, tersebut seorang pedagang di pedalaman, sebut saja namanya “Asun”, ketika itu dia membeli perahu bermotor baru, guna mengangkut komoditi dagangannya dari pedalaman ke kota dan membawa barang dagangan dari kota ke pedalaman menyusuri sungai (maklum belum ada jalan darat). Rupanya untuk  mengemudikan perahu bermotor di sungai juga harus ada SIM.  Suatu  ketika setelah beberapa kali hilir mudik menyusuri sungai dari kediamannya ke kota pergi dan pulang, tiba juga saat apes si “Asun”, dia dicegat petugas di tengah perjalanan. Surat-surat  perahu motor miliknya diminta untuk diunjukkan kepada petugas, termasuk SIM mengemudikan perahu bermotor yang beratap itu. Semua surat dapat diperlihatkan, tetapi dasar tidak punya,  maka SIM tidak ada. Seingatku  waktu  itu belum marak istilah “denda damai”, alhasil “Asun” dijadwalkan menghadap ke “kantor” di kota untuk mempertanggung  jawabkan “kelancangan” mengemudikan  perahu motor di sungai tanpa SIM.
Saat yang dijadwalkan tiba dan si “Asun” menghadap, terjadilah perdebatan panjang antara pejabat yang memanggilnya dengan si “Asun” di ruang “Kantor”. Antara lain dikemukakan si “Asun”: 
  •   Bahwa perahu motor-perahu motornya sendiri, dibeli secara legal dengan uang sendiri, lengkap ada surat-surat  jual beli dan sudah lunas lagi, bukan ngutang.
  • ·         Dia telah buktikan bahwa dia sanggup menjalankan perahu motornya dengan aman dari pedalaman sampai ke kota (hilir), dari kota sampai ke kampung (mudik), buktinya tidak kurang puluhan  trip  sudah dia jalani/lakukan  hilir mudik tak pernah ada hambatan dan rintangan di jalan.
  • ·         Ketika petugas menyebutkan bahwa peraturan setiap pengemudi harus punya SIM dia bertanya balik kepada petugas: Apakah SIM dapat menunjukkan di mana “Repak”* dimana “Cugak”** dimana  “Riam”***,  dimana teluk dan dimana tanjung?.
Keterangan: Bahasa daerah * “Repak = Sampah dialur sungai sudah menahun keberadaannya sihingga tidak  terkikis oleh arus air dan sulit untuk dibersihkan. Sampah ini kalau tidak hati-hati melewatinya dapat mencelakakan perahu motor yang melintas. ** Cugak= Pohon kayu tumbang masuk ke alur sungai tidak dapat dipindahkan, sudah berada di alur sungai itu begitu lamanya sampai akhirnya pemakai sungai memakluminya dan hati-hati melintas agar tidak membahayakan perjalanan. *** Riam = Batu-batu besar yang ada di alur sungai yang tidak dapat dipindahkan, inipun harus hati-hati kalau ketabrak dapat membuat perahu motor terbalik.
Akhirnya si petugas kehabisan “Kata”, segera dipanggilnya anak buahnya untuk menerbitkan SIM perahu motor untuk si “Asun”. Pulanglah si Asun ke kampungnya di pedalaman mengemudikan perahu motornya, kini sudah mengantongi SIM.  Dalam hatinya berguman, tetap saja “Repak , Cugak dan Riam”, “tanjung dan teluk” aku sendiri yang tahu tempatnya dan bagaimana cara menghindarinya, bukan SIM ini.
Peristiwa ke dua, tetangga rumah saudara ibuku di kampung seberang,  punya tetangga, sepertinya kepala rumah-tangga dari tetangga itu eks warga negara asing, kata orang-orang dianya berasal dari “Hadral Maut”.  Keluarga ini berternak “sapi susu”. Aku ndak tau persis kapan  orang “Hadral Maut”  itu mulai masuk di kampungku, seingatku ketika aku sekolah masih esempe dianya sudah punya anak  lebih selusin, diantaranya ada juga yang sudah besar. Isterinya orang kampung kami,   wajar anak-anaknya; postur tubuh dan profil wajah mereka  tidak sama dengan pribumi. Tingkat perekonomiannyapun diatas rata-rata orang sekampungku. Mereka sudah punya kendaraan bermotor, sementara keluarga kebanyakan orang waktu itu di kampungku  masih bersepeda ontel. Ada dua kendaraan bermotor milik “Ami Mubarrak”, satunya kata orang namanya “BSA”, motor besar dan satunya lagi motor kecil nama “Dokati”.
Suatu hari  salah satu anaknya yang masih dibawah umur, belum punya SIM membawa  “Motorpit” (bahasa waktu itu untuk sepeda motor), bukan main khawatirnya si ayah dan langsung menegor anaknya jangan membawa “motorpit”  di jalan raya, dapat membahayakan dirimu dan mungkin juga orang lain, demikian nasehat juragan sapi perah itu kepada anaknya. Belakang secara curi curi anaknya tanpa sepengetahuannya sudah berani membawa motor besar. Ketika suatu hari saat bangun dari tidur siang menjelang shalat ashar dilihatnya motor BSA tidak ada di kandang, ditanyakan ke anggota keluarga ndak ada yang tau, dan bersamaan dengan itu si “Hanim” anak bungsunya tidak kelihatan untuk siap-siap shalat ashar. Dugaan hampir pasti ini ulah si “bungsu” membawa motor besar ke jalan raya entah kemana tanpa menggunakan SIM, karena memang  belum boleh memiliki SIM. Tanpa pikir panjang setelah shalat ashar “Ami Mubarrak”  melapor ke pos Polisi, bahwa anaknya mengendarai sepeda motor tanpa SIM tolong di tangkap. Walau sebetulnya langkah itu sudah di cegah oleh ibunya “Hanim”, tetap saja si ayah melapor ke kantor Polisi, bukan itu saja dia minta ke pak Polisi agar anaknya nanti diproses sesuai hukum yang berlaku, mengemudi tanpa SIM.
Singkat cerita anak itupun dapat dikejar Polisi, motor dikembalikan kerumah orang tuanya dengan Polisi menggonceng anak itu dan si bungsu dengan tersipu takut bercampur malu diantar Polisi ke orang tuanya. Sepekan kemudian tiba saatnya proses persidangan.  Pelanggar lalu lintas yang tak lain adalah si “Hanim” disidang dengan disaksikan beberapa orang penghadir sidang, antara lain  ayah dan ibunya sendiri serta beberapa saudaranya serta orang lain yang juga sedang menunggu giliran sidang. Hakim memutuskan “Hanim” terkena denda harus membayar Rp 15,- (lima belas rupiah). “Ami Mubarrak” langsung melunasi denda itu di meja hijau dari dompetnya.
Salut buat ayah si bungsu yang memberikan pelajaran untuk taat hukum kepada anaknya, walaupun pada akhirnya yang keluar duit dia sendiri.
Motivasi  yang  mendorong “Ami Mubarrak” melakukan hal itu karena agama beliau ada mengajarkan bahwa ada tiga kelompok orang yang diharamkan Allah kepadanya masuk ke surga yaitu:
  1.      Peminum “Hamr”,  antara lain minuman yang mamabukkan dan segala sesuatu yang memabukkan termasuk yang lagi  “in”  sekarang  disebut NARKOBA.
  2.       Durhaka kepada orang tua, yaitu termasuk membantah orang tua.
  3.       Daiyus, asal maknanya membiarkan keluarga berbuat maksiat termasuk mendiamkan anggota keluarga melanggar hukum.
Dua diantara kelompok tersebut dikhawatirkan “Ami Mubarrak” terkena pada dirinya dan pada anaknya. Walau pun butir satu tidak termasuk.
Bagaimana dengan sakarang ini kadang ada pengemudi yang membawa mobil dalam  pengaruh “Hamr” tadi. Jadi agama sudah melarang sejak jaman sebelum ada mobil  untuk menggunakan “hamr” sebab biang dari segala macam kejahatan, kerusakan dan malapetaka adalah point satu di atas yaitu “Hamr”. Pantaslah Allah mengharamkan surga buat penggunanya.

Thursday 19 September 2013

SUAP OH SUAP

Begitu cekatannya Ibu mertuaku menggendong cucunya pakai selendang, sementara di tangan kiri nampak sebuah Pisang Ambon dan di tangan kanan beliau memegang sendok teh. Terpikir olehku sepintas,  si nenek  mau makan pisang, tapi aneh kenapa pakai sendok teh tanya diriku. Beberapa detik kemudian kulihat;  sreeet kulit pisang mulai dikupas setengah badan dan hanya separo, selanjutnya sendok teh mendarat di daging pisang kelihatannya hati-hati sekali, hanya digaruk. Jadi itu sendok tidak mendalam masuk ke daging pisang. Tindakan beliau selanjutnya mengarahkan daun sendok berisi serutan pisang menuju mulut anak pertamamu yang umurnya belum genap setengah bulan pulang dari RS Islam Surabaya di tahun 1983.
Kontan aku menjerit dari tempat dudukku sehingga membuat beliau kaget begitu pula rupanya bayi kami yang masih merah itu terperanjat, langsung menangis dan sendok tidak jadi masuk mulut buah hatiku yang kehadirannya sudah dinanti lebih dari dua tahun pernikahan kami itu.
Sedikit agak kasar yang kulakukan spontan, tanpa pikir kuutarakan kepada mertuaku yang waktu itu juga baru menyambut cucu pertama; pesan dokter ketika anak itu akan kami bawa pulang. Dokter wanti wanti agar anak ini tidak boleh diberikan makanan apapun selain ASI dan susu tambahan dengan merk yang direferensikan ENFAMIL, sepaling kurang sampai berumur enam bulan. Dokter memberikan perlakuan seperti itu mungkin karena anak pertamaku itu lahir kurang sebulan dari semestinya, bobot badannya kurang, kulitnya kerisut.
Langsung si nenek komentar bahwa aku punya anak sembilan, semuanya masa bayi seperti ini DISUAPI  serutan pisang. Semua anakku kini sudah besar dan sehat-sehat. Kumerasa bersalah juga kepada mertua dengan penuh kasih sayang ingin MENYUAP cucunya  dengan ala kadarnya walau hanya serutan pisang.
Inikah mungkin menjadi kelaziman kita bangsa ini sampai sudah tua, sampai sudah menjadi pejabat tinggi, sampai sudah jadi orang mempunyai wewenang, masih saja ingin dan doyan SUAP, sebab sudah terbiasa sejak masih bayi. Kemudian si bayi setelah sedikit agar besar juga makannya disuapi orang dewasa, masih syukur kalau oleh ibunya sendiri. Kini ada kecendrungan disuapi oleh pembantu atau baby sister.
Ramai diberitakan  “kasus suap daging sapi”.  Beberapa hari ketika tulisan ini terinspirasi, ada lagi konon (entah benar entah tidak) diwartakan ada seorang anggota DPR terhormat bertransaksi SUAP dengan seorang hakim yang tengah diproses ujian “kelayakan dan Kepatutan” . Kalau memang benar sungguh hal ini tidak patut, apalagi SUAP konon dilakukan di Toilet. Bukankah Toilet tempat banyak kuman kok beraninya DISUAP, ndak takut kemasukan kuman;..... apa.
Soal suap menyuap ini rupnaya bukan saja dibiasakan sejak bayi oleh bangsa ini, ketika mulai merajut hubungan suami istri. Dalam prosesi pengantin di beberapa tempat ada acara suap-suapan anatara kedua mempelai. Mempelai lelaki mengambilkan sesendok makanan untuk si istri dan sebaliknya istri pun mengambilkan sesendok makanan buat si suami. Jadi budaya SUAP ini rupanya sudah mengakar buat kita semua. Tidak mengherankan kalau setiap proses apa saja, ngurus apa saja baru lancar kalau diikuti SUAP.
Dalam pada itu, kupesankankan buat anak dan menantuku, kebetulan kini telah lahir cucuku yang pertama. Agar untuk cucuku mulai dirintis budaya tidak lagi di SUAP.  Kepadanya hendaknya diberikan ASI dan pada saatnya sudah boleh makan yang agak lembek, biar yang bersangkutan nyendok sendiri.   “Apa  bisa Pah” tanya mereka. “Harus bisa” kataku. Agar bangsa ini tidak lagi doyan SUAP untuk generesi mendatang. Insya Allah cucuku 20-30 tahun mendatang akan menggantikan posisi kita generasi kini. Mudah-mudahan dianya tidak seperti generasi kita yang sekarang doyan benar dengan SUAP, sebab terlatih dari bayi sampai anak-anak. Insya Allah generasi kita yang doyan SUAP ini 20-30 tahun yang akan datang sudah menjadi almarhum atau almarhumah, dengan demikian maka generasi SUAP pun habis lah sudah. Supaya bangsa ini kedepan segalanya berjalan dengan baik TANPA SUAP dan Allah memberkati. Amien.

Wednesday 18 September 2013

NEKATNYA PELAKU KRIMINAL DKI


Sudah begitu laparnyakah pelaku kriminal di Jakarta, itu pertanyaan yang terpikir oleh banyak orang mendengar dan bahkan mungkin menyaksikan kebrutalan pelaku kriminal di DKI Jakarta.
Siang bolong dengan tenangnya selagi penduduk sibuk di tempat pekerjaaan masing-masing, ada yang nekat membongkar pagar taman, untuk mengambil besinya. Mobil tetangga diparkir di depan rumah, dicopot kaca spionnya  kiri dan kanan, padahal rumah dilengkapi CCTV.  Terekam memang wajah pelaku, tapi itu tetangga malas memprosesnya, sebab kata si tetangga “process cost akan lebih tinggi dari sepasang spion mobil”. “Tidak ekonomis” katanya melanjutkan.
Benar juga jika dikaji secara ekonomis dari waktu yang terbuang dan tenaga yang harus diperuntukkan. Tapi jika kajian dialihkan untuk memberantas kejahatan, tentu tidak demikian harusnya berpikir.
Apa boleh buat keadaan sekarang ini membuat kebanyakan kita hanya memakai ukuran ekonomis, ukuran untung rugi. Akibatnya sudah masa bodoh dengan upaya perbaikan moral bangsa.
Bukan tak pernah kejadian ditengah kemacetan lalu lintas, pelaku kriminal menghampiri mobil yang sedang terperangkap macet, dengan tenangnya si kriminals mencopot kaca spion mobil, sementara pemilik mobil dan pengemudinya tak sanggup berbuat apa-apa. Misalnya turun dari kendaraan, ngeri melihat peralatan yang dibawa pelaku, hanya berani kalau punya kekebalan kulit dari senjata tajam bahkan senjata api.
Sebetulnya fenomena apa gerangan ini, apakah sudah semakin sulitnya mencari makan dengan jalan yang halal/legal, karena rakyat termiskinkan oleh negaranya. Atau sudah semakin banyaknya penghuni Jakarta, diiringi MENADIRnya  iman.  Juga apakah karena sudah semakin tidak pedulinya orang terhadap perbaikan moral bangsa, keamanan masyarakat. Sehingga masing-masing orang hanya berkepentingan mengamankan dirinya sendiri, mengamankan rumah tangganya sendiri.
Sudah lama kondisi ini, untuk minta bantuan pihak berwajib adalah agak sulit kecuali bila kebetulan ada yang lagi berpatroli, sebab memang sudah sekian lama rasio antara petugas keamanan dengan penduduk sudah tidak pas. Ditambah lagi pelaku kejahatan kian hari kian meningkat.
Mungkinkah itu karena bangsa ini sudah sampai pada azab Allah seperti diberi perumpamaan di dalam Al Qur’an surat An-Nahl 112. “Allah membuat perumpamaan suatu negeri yang aman tentram rezeki berlimpah dari segala penjuru datang.  Namun penduduknya ingkar akan nikmat  Allah. Maka Allah merasakan kepada penduduk negeri itu kelaparan dan rasa ketakutan  sebagai pakaian, disebabkan kejahatan yang mereka lakukan”.
Memang negeri ini makmur tiada banding tiada tanding diseluruh dunia, hasil laut berlimpah, tanahnya subur siap ditandur apa saja. Perut bumi penuh tambang berguna buat manusia. Cuacanya tidak pernah terlalu ekstrim seperti kebanyakan negara lain.  Tetapi ummat penghuninya bagaikan ayam di lumbung padi mati kelaparan.
Dua keadaan tersebut yang diazabkan Allah ke bangsa ini yaitu kelaparan dan ketakutan. Karena kelaparan banyak hal terjadi antara lain semakin nekatnya pelaku kriminal seperti disebutkan diatas. Dampaknya rasa ketakutan menjadi pakaian setiap anak negeri terutama yang bermukim di kota besar seperti Jakarta ini. Rumah-rumah terpaksa harus berpagar tinggi dan selalu terkunci, itupun belum tentu aman walau dipasang  pula CC TV.
Pantas seorang sopir bis antar propinsi, ketika dilihatnya seorang penumpang komat kamit ber do’a beberapa saat masuk Tol dalam kota Jakarta, lantas si sopir memberi info kepada si penumpang: “Kalau mau berdo’a tadi sebelum masuk Jakarta” “kenapa bang” ujar penumpang. “Do’a di Jakarta sudah tidak manjur lagi”, jawab si sopir enteng. Penumpang mengejar alasannya lebih lanjut, tapi sopir tidak memberi jawaban, mungkin pembaca dapat menjawabnya.

Wednesday 4 September 2013

HAKIM BERTOPENG

Ide didapat untuk mengatasi hakim-hakim ketika berhadapan dengan terdakwa saat diadili dapat saling tatap mata sekaligus tatap muka, oleh karena itu kelanjutannya sering terjadi antara terdakwa kemudian main mata dengan para hakim. Maka di sebuah “negeri sejuta pulau” di zaman dahulu kala pernah terjadi hakim-hakim ketika mengadili terdakwa menggunakan topeng.
Main mata si hakim dengan terdakwa kadang membuat putusan tidak populer, menjatuhkan hukuman mencederai rasa keadilan masyarakat. Kesalahan berat mendapat hukuman yang ringan dan kadang bebas, jika si terdakwa punya kesanggupan bermain mata dengan hakim dan penuntut melalui kuasa hukum. Sementara rakyat biasa dengan kesalahan yang kecil mendapat hukuman yang sama saja dengan pencuri uang kerajaan begitu besar, lantaran si pencuri uang kerajaan punya jabatan dan mampu membagi hasil curiannya ke para penyelenggara hukum dan hakim.
Sebelum ide memberi topeng para hakim, sebenarnya Raja pernah ingin menyewa hakim dari luar negeri, agar lebih independen. Pernah terlintas dipemikiran Raja “kerajaan sejuta pulau”, ingin mengundang  “JUDGE BOW”  dari negeri China. Rencana ini ketika dikonsultasikannya dengan para penasihat  mendapat sanggahan dengan sanggahan utama adalah kendala bahasa, kedua terdapat banyak perbedaan sistem hukum di negeri China dengan di kerajaaan sejuta pulau. Selain itu ngeri juga  hakim “Judge Bow” sukanya main penggal kepala, seperti terlihat di film televisi.  Selain itu bukan mustahil kalau si “Judge Bow” pun jika dijadikan hakim di “kerajaan sejuta pulau” juga lama kelamaan akan terpengaruh dan akhirnya juga mau nerima suap, maklum honor yang kurang memadai. Apalagi dia orang pendatang bukankah disamping biaya hidup tinggi di negeri orang, kan punya kewajiban transfer ke keluarga.
Itulah makanya, si Raja sudah berketetapan hati untuk mencegah hakim dapat “bermain mata” dengan terdakwa, para hakim ketika melakukan persidangan diwajibkan memakai topeng. Hanya mata dapat dilihat dan suaranya saja yang dapat didengar. Untuk lebih mantapnya lagi, sound sistem diatur sedemikian rupa sehingga suara hakim, berapa banyakpun anggota majelisnya, bunyi suara yang kedengaran keluar adalah sama, untuk membedakan hakim siapa yang bertanya, penuntut dan pembela serta  terdakwa hanya dapat melihat dari bahasa tubuh mereka. Diharapkan dengan memberikan topeng kepada para hakim ini, terdakwa, penuntut dan pembela tidak dapat mengenali siapa yang mengadili mereka. Oleh karena itu terputus kemungkinan untuk para pembela dapat menghubungi hakim guna “mengatur putusan”.
Hal yang sama lumayan sukses ketika kerajaan menerapkan tanpa tatap muka bagi pelamar menjadi abdi kerajaan. Calon abdi kerajaan cukup memasukkan lamaran ke dalam gentong besar yang disimpan di depan gapura istana raja. Naskah lamaran lengkap dengan riwayat hidup itu digulung dan dimasukkan dalan seruas bambu standar dari kerajaan dibagikan melalui kepatihan diteruskan ke kelurahan. Kemudian setelah tanggal yang ditetapkan bambu-bambu lamaran tersebut dipilih sendiri oleh Raja seperti mencabut undian. Setelah isinya dibuka dan bila kriteria pelamar sesuai, langsung dipanggil untuk menunjukkan ketrampilan di depan Raja dihadapan para punggawa kerajaan. Bila lulus langsung diterima sebagai abdi kerajaan. Kalau ada dari bambu yang dipilih raja itu belum sesuai kriterianya atau uji ketrampilan ada yang tidak lulus, maka dilakukan pencabutan ruas-ruas bambu yang masih tersisa sampai cukup formasi abdi kerajaan dalam suatu masa perekrutan. Teknik itu dapat menghindari penerimaan abdi kerajaan melalui KKN dan suap. Teknik yang sudah pernah sukses diterapkan di kerajaan sejuta pulau ini pula rupanya yang menginspirasi Sang Raja memerintahkan para hakim memakai topeng ketika menuju dan berada dalam ruang sidang menyidangkan perkara terdakwa.