Sunday 23 June 2013

HIDAYAH; DATANG SENDIRI ATAU DICARI

Seorang pemuda kelihatannya dari luar kota, dari penampilan dan tas bawaannya. Beberapa langkah dari jembatan penyeberangan UI Salemba dekat dengan simpang tiga masuk ke Salemba tengah, pemuda tadi bertanya: “Masjid disekitar sini dimana pak?”, sapa pemuda itu dengan ramah. Kebetulan itu hari hari Jum’at, sekitar pukul 11.30 an. Beberapa pejalan kaki sedang menuju masjid diantaranya dengan pakaian khusus untuk sholat Jum’at, pakai peci, pakai sarung, baju koko dan menyandang sajadah.  Langsung ku jawab, “ini naik jembatan penyeberangan persis diseberang sana ada masjid di komplek UI Salemba; Masjid Arif Rahman Hakim”.
Ketika kunaiki penyeberangan, kutoleh juga ke bawah, disela-sela kerumunan orang dan kendaraan yang cukup ramai didepan kampus kedokteran UI itu, kulihat pemuda tadi melanjutkan penjalanannya menenteng tas tangan dan tas punggung dibelakangnya. Dia berjalan makin menjauh dari jembatan penyeberangan, sepertinya menuju ke arah “Senen”. “Oh ndak jadi rupanya shalat Jumat di masjid UI”, pikirku. Sambil aku berhenti sebentar di atas jembatan, mengikuti seberapa jauh yang dapat kulihat pemuda tadi. Biasa pikiran curiga orang Jakarta, bila ada orang tak kenal menyapa, kadang-kadang orang tak baik, misalnya memasukkan aji hipnotis dan sebangsanya, untuk memangsa yang diajak biacara. Tapi sepertinya dugaan ini terbantahkan, sebab setelah bertanya, si pemuda itu berlalu, dan kalaulah dia ingin memangsa diriku, kayaknya salah alamat, sebab aku pergi hanya membawa uang sekedarnya buat ngisi kotak berjalan di masjid dan uang receh buat titip sandal, sedangkan KTP saja yang kubawa hanya photo copy maklum tanpa kendaraan dari rumahku berjalan kaki. KTP walau photo copy sengaja dikantongi siapa tau bermasalah kesehatan dalam perjalanan, setidaknya orang yang menemukan dapat mengantarkan ke alamat.
Pemuda yang bertanya tadi ada kemungkinan masih meneruskan perjalanan menju ke arah “Pasar Senen”, semoga dia masih ketemu dan tau dengan masjid yang ada di kanan jalan; yaitu  masjid “Al Furqan” di Kramat Raya 45 di gedung Dewan Dakwah. Andaikan ia nantinya tidak juga mampir di masjid yang dilaluinya nanti, disebabkan dianya telah bertanya padaku, aku teringat perihal “manusia menyikapi hidayah”.
Hidayah terjemahan bebasnya adalah petunjuk Allah kepada seseorang, sehingga orang tersebut tergerak hatinya untuk melakukan ibadah kepada Allah sesuai aturan yang ditetapkan Allah. Bermacam media/sarana seseorang mendapatkan hidayah itu. Demikian pula seseorang beraneka cara menyikapi bila kedatangan hidayah tersebut.
Cara datangnya hidayah:
Hidayah dapat datang melalui kebahagiaan, juga dapat datang ketika mendapat musibah. Hidayah juga bisa datang melalui orang lain, bisa datang atas kesadaran sendiri, atau bisa datang karena pengalaman hidup. Di tulisan singkat ini tidak saya berikan contoh rinci bagaimana cara datangnya hidayah tersebut, mungkin sidang pembaca pernah menyaksikan sendiri atau bahkan mungkin mengalami sendiri. Pembaca sering menyaksikan seorang menjadi lebih taat kepada Allah lantaran mendapatkan kebahagiaan, tidak jarang pula seseorang justru melupakan Allah setelah mendapatkan kebahagiaan. Begitu pula tidak jarang terjadi seseorang menjadi taat kepada Allah setelah menerima musibah, banyak pula orang menjauhkan diri dari Allah lantaran mendapat musibah. Selanjutnya ada orang yang menjadi insyaf atas dorongan keinginan sendiri, atau lantaran nasehat orang lain.
Cara seseorang menyikapi kedatangan hidayah:
Adapun cara seseorang menyikapi hidayah dapat dikelompokkan dalam 5 (lima kelompok) yaitu: Pertama; menyambut kedatangan hidayah itu. Kedua; menolak hidayah. Ketiga; mencari hidayah. Keempat; menunggu pihak lain untuk mengantar menerima hidayah. Kelima;  menunda pelaksanaan hidayah, sekedarnya mencari tahu lebih dahulu tentang hidayah.
1.    Menyambut kedatangan hidayah.
Adakalanya hidayah itu datang tiba-tiba, tanpa direncanakan tanpa diminta. Dapat saja kedatangan ada lantarannya. Contoh:  seorang kakek yang sudah berusia, selama ini tidak rutin bersujud kepada Allah. Sebagai bukti bahwa dianya beragama, hanya terlihat di hari raya. Ikutlah dia meramaikan shalat ied bersama sanak keluarga dan tetangga.
Generasi berikutnya datang, cucunya lahir dan lingkungan membentuk cucunya menjadi ahli sholat, hampir setiap waktu ikut berjamaah di mushola sekolah  dibimbing guru mereka.
Suatu ketika si cucu dengan kakek berpergian keluar kota. Sampai waktu sholat zuhur si cucu minta diberhentikan kalau pas ada masjid sebelah kiri jalan. Si cucu minta temani kakeknya mampir dan sholat di masjid. Tidak hanya itu, karena perjalanan masih jauh dan dikhawatirkan sampai ke tujuan sudah lewat waktu ashar si cucu mencontohkan kepada kakeknya shalat jama’ taqdim untuk shalat ashar.
Terenyuh hati sang kakek, tidak terasa berderai air matanya menyaksikan cucunya yang masih bersih dari dosa, sudah begitu taat menjalankan agama. Terasa ditiup dingin ubun-ubun si kakek, bagaikan ada bisikan “ikuti cucumu itu”.
Selanjutnya mulai masuk hidayah kapada si kakek karena ada sambutan dalam diri si kakek. Semula lantaran terpanggil (terhidayah) perangai cucu, maka setiap  Jum’at si kakek mulai ikutan ke masjid, ngawankan cucu yang dipulangkan agak awal oleh sekolah. Diantara khutbah Jum’at ada pula yang dapat menguatkan tertancapnya hidayah kerelung hati si kakek, akhirnya si kakek mendapatkan hidayah dan menyambut hidayah tersebut. Bahkan kini kakek menjadi pengurus masjid dan paling depan dalam menyumbang pembangunan dan kemakmuran masjid. Contoh lain banyak sekali tentang bagaimana orang yang menyambut kedatangan hidayah.

2.    Menolak hidayah.
Kalau mau pakai contoh di atas, ditemukan juga kakek yang ia tetap tidak turun dari mobil, walau si cucu mampir di masjid untuk sholat. 99 alasan dapat dikeluarkan si kakek kepada cucunya agar dapat dipahami supaya dianya tidak ikut sholat. Dapat saja lagi capek, pakaian kotor agak sakit dan sebagainya. Ini namanya menolak hidayah. Dulu di suatu daerah dekat pemakaman umum, di pos ronda setempat dekat komplek kuburan itu, sibuk kegiatan group bermain kartu dengan taruhan uang, iseng-iseng katanya bukan judi. Tapi apapun namanya masuklah dia dalam lingkaran menentang Allah, yaitu mengerjakan yang dilarangnya. Orang yang dapat hidayah tentu tidak mau melaksanakan perbuatan itu. Jika katanya hidayah belum datang, maka hal itu sangat dapat dibantah sebab: sehari kadang lima enam jenazah yang masuk ke dalam kubur dipekuburan itu. Selain itu dekat pula dengan masjid. Setiap waktu berkumandang adzan. Setiap selesai shalat magrib ada saja ustadz yang memberikan ceramah agama. Jenazah yang melewati mereka sehari beberapa kali itu apakah bukan hidayah. Adzan setiap waktu itu apakah bukan hidayah. Ustadz yang memberikan pesan moral hampir setiap hari itu apakah bukan hidayah. Tapi ternyata mereka ini kelompok yang menolak hidayah. Mereka tidak bergeming, walau adzan terdengar nyaring, namun kartu tetap dibanting.

3.    Mencari hidayah.
Adalah manusiawi  hampir setiap manusia, bila sudah masuk dalam usia senja, ketika linu dibadan hampir setiap hari sudah terasa. Ketika antara sehat dan sakit hampir tidak lagi ada beda. Ketika uban dikepala tumbuh sudah merata. Disaat seperti itu orang sudah berusaha untuk mencari pegangan hidup, untuk bekal mati. Sebenarnya sudah terlambat, tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dalam kondisi ini, kadang orang akan mendekati siapa saja yang mudah didapat untuk memberikan panduan mencari bekal akhirat. Mulai sangat rajin datang ke masjid, berusaha tidak absen mendengar ceramah para ustazd.  Orang  seperti ini namanya mencari hidayah setelah diujung perjalanan hidup. Tidak kurang pula banyaknya anak-anak muda dalam usia yang produktif sudah mulai menekuni ibadah dan terus menerus mencari hidayah.
Adalah baik perlakuan masyarakat tradisional di daerah-daerah kebanyakan di belahan nusantara ini, yaitu membekali anak-anak sejak usia bawah lima tahun dengan pelajaran agama. Anak lelaki tidak lebih dahulu dikhitan bila belum khatam membaca Al-Qur’an, ketika akan di khitan diadakan acara khataman Al-Qur’an. Remaja putri ketika akad nikah melakukan khataman Al-Qur’an, jadi mau tidak mau harus pandai baca Al-Qur’an.
Walau kemudian dalam perjalanan hidup, kadang dikarenakan berbagai faktor, sempat anak-anak tadi setelah diewasa berada di daerah lain, sempat terjauh dari hidayah. Pada masa tuanya insya Allah mereka nanti kembali mencari hidayah yang pernah hilang itu, satu dan lain karena memang yang bersangkutan sudah punya modal awal, modal dasar yaitu dapat membaca Al-Qur’an. Jadi orang tua di daerah-daerah membekali anak-anak BALITA dengan pengetahuan agama, bagaikan telah menyiapkan lahan dihati anak-anak mereka untuk hidayah dapat bersemi. Hidayah tersebut akan tumbuh subur tergantung pemeliharaan dan perawatan oleh tempaan situasi dan kondisi lingkungannya. Setidaknya dimasa tuanya nanti kalau panjang umur dia akan kembali menerima hidayah itu.

4.    Menunggu pihak lain mengantar untuk menerima hidayah.
Ada juga orang yang hatinya sudah tersentuh hidayah, melalui bacaan, melalui tontonan, melalui pendengaran. Tetapi yang bersangkutan belum meraih hidayah tersebut disebabkan kadang adanya rasa malu untuk masuk ke majelis hidayah, takut dikatakan alih-alih, dikatakan orang alim baru. Orang seperti ini dapat diibaratkan seseorang yang bertanya kemudian tau akan alamat masjid seperti di awal tulisan saya di atas, tetapi untuk menuju masjid itu dianya belum dapat pergi sendiri, minta untuk diajak. Kadang ada orang yang takut dan ragu-ragu masuk masjid; nanti setelah sampai di masjid bagaimana caranya masuk, bagaimana caranya duduk bagiamana caranya wudhu dan lain-lain. Orang ini butuh media orang lain untuk mengantarkannya meraih hidayah. Insya Allah bila sudah sekali, yang bersangkutan akan berani untuk menggapai hidayah itu sendiri.

5.    Menunda pelaksanaan hidayah, Sekadar tau lebih dahulu tentang hidayah.
Kelompok ini adalah mereka sudah mengetahui tentang ketentuan-ketentuan agama termasuk di dalamnya seperti yang saya contohkan di butir 3 di atas yaitu telah berbekal pengetahuan agama sejak masih muda. Mereka menunda melaksanaan ketaatan kepada Allah, nanti setelah masa tua. Ibarat pemuda yang bertanya di awal tulisan ini, dia sudah tahu bahwa di daerah kampus UI Salemba ada sebuah masjid. Nanti kapan-kapan kalau dia sudah punya kesempatan dilain waktu bila melewati UI Salemba dapat mampir di masjid tersebut. Tapi bagi orang yang memberi tahukan alamat tadi akan bertanya-tanya di dalam dirinya, maunya apa pemuda yang tanya tadi, sudah diberi tahu malah ndak menuju ke masjid. Alasan orang yang menunda hidayah ini biasanya, masih muda atau belum siap, pikiran masih kalut, ekonomi belum mapan dan banyak lagi. Dia lupa bahwa yang namanya mati tidak menunggu tua, tidak menunggu pikiran jernih, tidak menunggu ekonomi sudah mapan dan lain sebagainya. Banyak orang bernasib seperti daun kangkung justru dipetik ketika masih muda. Banyak orang meninggal semasa baru saja menikah diusia muda. Ada pula orang yang meninggal ketika sedang bersalaman dengan wali nikah. Banyak lagi contoh meninggal ini, benar-benar dapat terjadi sembarang waktu, sembarang usia, sembarang tempat, sembarang keadaaan.

Jadi hidayah apakah datang sendiri, atau harus dicari, kalau dia sudah datang apakah langsung diterima, atau ditolak atau diterima sekedar untuk diketahui dulu. Perlukan dipersiapkan lahan dihati anak-anak usia dini untuk hidayah dapat bersemi, adalah suatu tradisi yang patut dipuji, patut dilanjutkan karena manfaatnya sudah teruji.

Sunday 16 June 2013

BANYAKKAN GARPUNYA PAK HAJI

Komunikasi belakangan ini jauh mengalahkan transportasi, daerah pedalaman yang “paling dalam” saat sekarang sudah terjangkau komunikasi dengan telepon seluler, sementara alat transportasi masih sulit menjangkaunya.  Komunikasi yang maju dengan pesat, diiringi dengan informasi melalui saluran media elektronik,  sehingga istilah baru yang dipopulerkan di suatu kota, terutama dari ibu kota dengan mudah dan cepat diketahui oleh daerah lain sampai ke pedalaman.
Beda dengan era di bawah tahun 1960an. Bahasa daerah satu dengan daerah lain kadang tidak dimengerti oleh daerah lainnya. Sekarang hampir tidak terkendala lagi komunikasi antara daerah di nusantara ini, begitu juga dialeg daerah sudah tidak begitu kentara lagi.
Seseorang yang sering berniaga ke kota dari pedalaman, dengan waktu tempuh 48 jam lebih mengikuti arus sungai menggunakan perahu motor. Lantaran sering datang ke kota sebuah kabupaten, biasanya di ibu kota kabupaten nginap dirumah kerabat, maklum belum ada penginapan apa lagi hotel, losmenpun sepertinya belum dikenal. Biasanya peniaga ini datang ke ibukota kapabuten dengan membawa hasil bumi, hasil hutan, dan juga hasil perkebunan dari pedalaman, mereka seperjalan tidak sendirian, sekurangnya tiga orang. Laba niaga tentunya berlipat, disebabkan memanfaatkan jarak dan waktu tersebut.
Kemajuan juga mulai tumbuh di ibukota kabupaten, kalau selama ini biasanya untuk makan siang para peniaga dari pedalaman ini, makan hanya di warung sederhana di pinggir jalan. Suatu ketika telah dibuka restoran oleh pak Haji Makmun pensiuan opas pagar praja. Para peniaga dari pedalaman ini menjelang beberapa hari sebelum mudik menyusuri sungai menuju pedalaman kembali ke kampung halaman, sempat beberapa hari makan di restoran baru dikelola oleh pak haji Makmun. Perlengkapan makan standar ketika menyajikan hidangan nasi pesanan si peniaga tadi ialah nasi lauk pauk berikut sendok dan garpu. Rupanya restoran pak haji Makmun belum mengenal prasmanan, atau tidak pula disajikan seperti rumah makan padang. Tamu restoran minta lauk apa, kemudian pramu sajinya menata didalam piring dilengkapi dengan sendok dan garpu.
Budaya makan di masyarakat waktu itu, setidaknya di daerah yang saya ceritakan ini,  walau sudah mengenal sendok, biasanya sendok hanya untuk mengaut (mengambil) lauk pauk dari wadahnya menuju piring. Sedang dari piring ke mulut tidak lazim menggunakan sendok. Bahkan jika seseorang di suatu majelis kenduri misalnya kemudian makan minta pakai sendok dianggap aneh dan mungkin juga dianggap sombong. Makan di majelis kenduri disediakan kobokan. Bagi orang kurang terbiasa mungkin agak risih sebab sekelompok orang disebut “setalam” misalnya berempat atau berlima kobokannya disediakan satu. Kobokan satu itulah yang di obok-obok bersama-sama orang-orang setalam itu.
Al-hasil makan dengan menggunakan sendok dan garpu adalah sesuatu pengalaman baru bagi para peniaga dari pedalaman tersebut. Naluri kepengin tau dari salah seorang diantara mereka mendorongnya berbisik kepada pramusaji; “Ini apa namanya”, ujarnya sembari berbisik pelahan menunjuk ke GARPU ketika si pramusaji meletakkan piring nasi dan lauk pauk pesanan mereka. Tanpa ekspresi berlebihan dijawab pramusaji “GARPU” bang. Perihal penggunaan itu Garpu tidak masalah, lihat kiri lihat kanan ke meja tamu lainnya, ternyata itu Garpu dipegang dikiri dan sendok dipegang dikanan. Sementara kawan lainnya tak mau ambil pusing ke itu Garpu, dibiarkan saja menggeletak di meja makan atau dibiarkan menjadi hiasan piring, jadi makanan disantap hanya menggunakan sendok. Sedang rekan satunya lagi benar-benar belum yakin makan bersendok, diam-diam permisi ke kamar mandi mencuci tangan dan tetap bersantap dengan secara tradisional. Dimaklumi di restoran itu belum tersedia wastafel.
Sesampainya di kampung halaman, baisalah segala pengalaman baru diceritakanlah kepada pemuda kampung, diceritakan ke para tetangga dan handai taulan dalam kesempatan bersama pergi  ke ladang huma atau sekedar ngobrol di warung kampung. Tukang cerita adalah salah seorang yang ketika di restoran sempat bertanya ke pramusaji. Diantaranya diceritakan bahwa betapa enaknya makan diretoran pak haji Makmun di ibukota kabupaten. Perkara lauk pauk tinggal pilih apa saja ada, ayam dengan macam masakan,  daging juga begitu, ikan laut dan aneka macam sambal tinggal pesan. Disamping itu juga diselipkan bahwa makannya enak sekali antara lain lantaran  pakai GARPU.
Kisah pengalaman membuat pemuda-pemuda yang belum pernah ke kota tertegun kagum sambil ada diantaranya menelan liur, lantaran tergiur dengan betapa enaknya makan di restoran pak haji Makmun. Sebab di kampung pada waktu itu, jarang sekali ketemu menu makanan yang namanya daging. Serba salah memang, di kampung yang penduduknya sedikit, jika ada peternak berinisiatif memotong sapi, niscaya daging sapi tersebut tidak terserap penduduk yang hanya beberapa puluh KK itu.  Jadi hanya kalau ke kota, atau kalau ada penduduk kampung yang berhasil berburu Rusa atau Kijang, barulah menu daging masuk ke piring. Begitu pula menu ikan laut, sukar didapat sebab pedalaman jauh dari laut, teknik pengawetan ikan belum dikenal waktu itu. Itu juga barang kali yang membuat ternganga beberapa pemuda kampung yang belum pernah ke kota, mendengar cerita rekan sebayanya yang pernah ke kota.
Menjadi angan-angan beberapa pemuda, ntar bila ada kesempatan untuk milir ke kota prioritas utama adalah  makan di restoran haji Makmun. Tidak semua pemuda pedalaman waktu itu berkesempatan datang ke ibu kota kabupaten, karena satu-satunya transportasi adalah alur sungai. Untuk melalui alur sungai harus orang mampu yang punya perahu bermotor. Bila tanpa perahu bermotor juga dimungkinkan dengan  rakit, tapi harus cukup perbekalan dan barang-barang niaga yang dibawa. Untuk mengumpulan hasil bumi, hasil hutan dan hasil perkebunan yang akan dibawa ke kota, hanya dapat dilakukan orang yang bermodal.  Dikaitkan dengan kondisi sekarang, kemanjuan negeri kita ini sudah luar biasa. Pedalaman yang saya ceritakan itu sudah terbentang jalan raya, dengan kendaraan sudah dapat ditempuh beberapa jam perjalanan. Walaupun jalannya sebentar saja mulus, kemudian hancur lagi, berlobang disana berlobang disini lagi, karena memang kualitas jalan yang asalan dibangun yang penting terlihat mulus sementara ketika diresmikan untuk mengucurkan anggaran. Konon biaya yang dikeluarkan ibaratnya untuk kualitas yang baik 100 tapi kepakai untuk jalan hanya 50 sampai 60 sisanya jalan-jalan entah kemana, makanya jalan tidak sesuai kualitas yang direncanakan, itu sebabnya cepat hancur. Walaupun hancur masih ada bekasnya dapat dilalui dengan kendaraan sekurangnya roda dua walau dengan susah payah.
Kembali ke pemuda pedalaman ditahun 1960an tadi, diantaranya ada juga yang dapat mengunjungi kota setelah berupaya sedemikian rupa. Ketika sampai dikota, benar saja salah seorang yang lolos ke kota tersebut mampir ke restoran “Nikmat Sedjati” dikelola pak Haji Makmun. Tidak sabar si pemuda memesan makanan yang ada dietalase lauk pauk, dengan menunjuk lauk pauk yang diinginkannya. Tidak lupa dipesannya kepada pelayan dengan kata-kata: “MINTA BANYAKKAN GARPUNYA PAK HAJI”. Si pemuda ini mendengar cerita ketika dikampungnya bahwa restoran adalah milik pak haji. Itu sebabnya kepada pelayanpun dia sapa pak haji dianggapnya pak haji-lah yang melayaninya itu, sebab dia ingat warung dikampungnya bahwa pemiliklah yang selalu melayani pembeli. Sementara dia belum paham rupanya bahwa garpu adalah pasangan sendok, dikiranya garpu adalah termasuk sejenis lauk, atau bumbu masak atau apa saja yang dapat dimakan sehingga menjadi makan lebih enak. Tentu permintaan tidak lazim itu mengagetkan pramusaji restoran. “Untuk apa minta banyak garpu bang”,  tanya pelayan restoran. “Pokoknya banyakkan saja”, jawab si pemuda.  Masih tetap terheran kembali sipelayan tanya “dua cukup bang”. Si pemuda kembali memohon “kalau tambah satu lagi bayar berapa”. “Ndak usah tambah bayar bang”, jawab si pelayan singkat sambil meletakkan 3 buah garpu di piring pemuda tersebut.  Setelah piring ada di meja makan, sipemuda yang pada dasarnya punya potensial diri pemuda yang cerdas, segera melihat  ada apa lauk yang aneh dipiringnya. Sambil melirik ke meja tamu restoran lainnya. Dengan segera dia memahami bahwa ternyata yang lain di piringnya ada tiga buah sendok yang diujungnya berbelah-belah tidak seperti sendok biasanya. Oohh gumamnya di dalam hati ini rupanya yang namanya GARPU. Berkat kecerdasannya itu sipemuda tidak lebih kelihatan keudikannya.

Sunday 2 June 2013

PARTAI ALMARHUM UYUT

Sidang pembaca yang usianya kepala enam mendekati tujuh, tentu tidak banyak lagi yang punya ayah. Kalaulah ada yang masih punya ayah tentu ayahnyapun sudah begitu renta mungkin nyaris sudah tidak begitu berdaya lagi. Tapi bagaimanapun mereka tidak berdaya, kebanyakan mereka ikut andil dalam memperjuangkan republik ini. Kalau mereka masih normal ngomong dan normal berpikir dan dapat berbuat, tentu mereka tidak akan rela melihat, mendengar dan merasakan suasana sebuah negara yang semasa mudanya dicita-citakannya “adil makmur aman sentausa” semakin menjauh dari pelupuk mata. Masih saja sama dengan zaman penjajah dulu, rakyat masih tetap menjadi kelompok yang harus dikalahkan oleh kompeni. Bedanya cuma kini kompeni bukan lagi berisi bule tetapi sudah berujud perusahaan. Banyak ditayangkan di TV bahwa rakyat direbut/disrobot tanahnya oleh perusahaan, sementara si rakyat karena tanahnya diambil perusahaan menjadi melarat. Setelah diproses, dalam banyak hal rakyat tetap saja kalah, sebab secara ketentuan rakyat tidak memiliki bukti yang menguatkan hak atas tanah yang dipunyai sejak nenek moyang itu.
Memang jadi rakyat dari zaman ke zaman sepertinya harus tetap menderita. Sebagai contoh di tanah air, kita melihat betapa hebatnya bangunan-bangunan peninggalan sejarah, semuanya itu tentu rakyatlah yang dengan susah payah membangunnya dipekerjakan untuk memenuhi hasrat pihak yang berkuasa, kadang dengan kerja paksa. Kalau kita melihat ke peninggalan mesir kuno, piramid yang dibangun zaman Fir’aun mengesankan rakyatlah yang dipaksa untuk mengerjakan bangunan tersebut dengan pengorbanan dan penderitaan. Pokoknya yang namanya rakyat dari masa ke masa tetap saja susah dan menderita.
Kepada cucuku penerus hidup ini kuceritakan dalam tulisanku ini bahwa di negeri ini pernah terjadi era DEMOKRASI. Di era demokrasi rakyat didudukkan ditempat yang tinggi, karena suara rakyat akan menentukan seseorang menjadi pejabat negeri. Namun setelah suara terkumpul dalam keranjang partai. Suara tersebut hanya sebagai landasan untuk melangkah jadi anggota parlemen, suara hanya digunakan sebagai jembatan lewat, untuk menjadi orang berkuasa. Setelah itu  landasan, jembatan tidak perlu diurus lagi selama sekurangnya lima  tahun. Kembali lagi rakyat dengan nasibnya semula dikondisikan agar miskin, lahan usahanya diambil oleh kompeni baik dengan cara terpaksa atau dipaksa. Terpaksa karena ketiadaan, kemiskinan dan kebodohan sehingga lahan nenek moyang diserahkan kepada kompeni. Atau dipaksa dimana tanah nenek moyang mereka diberikan ke kompeni yang lebih sanggup mengurus surat-surat ke pusat penerbit surat-surat itu. Sementara rakyat tidak punya akses untuk berurusan dengan birokrasi dan tidak punya ongkos/biaya pat gulipat dengan aparat mengurus seberkas surat-surat untuk tanah enek moyang mereka (tanah wilayat).
Selanjutnya menjelang lima tahun kemudian acara menebar janjipun serempak dimulai lagi oleh partai-partai. Untuk menebar janji itu diperlukan banyak biaya yang harus dihimpun dengan berbagai sumber dari mulai yang halal maupun yang antara halal dan tidak. Begitu banyaknya biaya menyebar janji itu tentu tidak cukup dengan iuran anggota, sementara partai bukan perusahaan. Konon kabarnya dana digalang dari elit-elit partai yang mencalonkan diri istilah populernya disebut CALEG. Konon untuk menjadi caleg tersebut ada tarifnya sampai menyebut miliaran rupiah. Nah bagaimana jadinya si caleg setelah berhasil menjadi entah anggota parlemen atau menduduki jabatan negara, tentu harus pulangkan modal, kebanyakan harus cari untung untuk persiapan menebar janji lima tahun mendatang agar tetap dapat mempertahankan kedudukan. Itulah sebabnya harus cari jalan “ya apa carane” diantaranya disebut dengan “korupsi”, disebut dengan “pencucian uang” disebut dengan mencari proyek untuk dapat “suapan”. Pokoknya apapun dilakukan untuk mendapatkan biaya mempertahankan kedudukan dan kekuasaan itu.
Di zaman cucuku telah dewasa nanti perilaku rakus kolega Datuknya sudah tidak ada lagi. Negara diurus oleh aparat yang bersih dan bahkan kata-kata “korupsi”  sudah tidak ada lagi dalam kamus bahasa yang mereka pelajari di sekolah, mereka akan bertanya kalau Datuknya masih hidup, “apa sih Datuk yang dimaksud korupsi?”.  Di zaman cucuku nanti partai-partai politik dibangun oleh orang-orang yang berdedikasi tinggi buat negeri, mereka yang berpolitik bukan lagi “ketimbang nggak ada kerjaan”. Tetapi benar-benar berpolitik untuk berjuang memajukan kehidupan bangsa, mereka sudah mapan kehidupannya. Orang berpolitik bukan lagi mencari hidup di politik tetapi menghidupi partai politik.
Cucu-cucuku!!! lain lagi model partai almarhum UYUT-mu. Mereka dulu berpartai dalam keadaan masih serba kekurangan, tetapi sejarah Indonesia mencatat bahwa pemilu tahun 1955, pemilu pertama negeri ini sejak merdeka. Dalam pemilu pertama itu adalah pemilu yang paling demokratis. Mereka berpartai sangat sederhana, tidak punya gedung partai yang mewah, partai dibiayai sendiri oleh anggota partai dari usaha mereka, iuran anggota. Yang kutahu untuk tingkat daerah (kabupaten). Kalau mereka rapat,  untuk konsumsi rapat masing masing peserta membawa makanan apa yang mereka dapat bawa. Gaya hidup orang berpartai sampai yang sedang dipercaya duduk di legislatif dan pemerintahanpun sangat sederhana. Bahkan pernah terjadi seorang Bupati dan anggota-anggota DPRD dikampungku tidak bersedia menerima inventaris sepeda motor. Bupati dan anggota-anggota DPRD tersebut lebih memilih mengayuh sepeda pergi pulang ke/dari kantor mereka. Mereka beralasan masih banyak rakyat yang susah, kenapa anggaran dihamburkan buat beli Honda (waktu itu sepeda motor pertama Honda).  Ini fakta cucuku; kalau ingin cross check tanyakan ke kampung Datuk-mu, era Uyut-mu. Itulah sebabnya mungkin, para pejabat dari partai politik, para anggota legislatif dari partai politik tidak merasakan perlu korupsi, karena tidak ada kewajiban untuk mengumpulkan dana mengembalikan modal menduduki jabatan. Tidak punya kewajiban untuk mengumpulkan dana guna menebar janji lima-tahunan.
Cucuku yang kutuliskan cerita ini, mungkin baru dapat membaca cerita ini belasan tahun yang akan datang, karena sampai hari ini cucuku belum lahir. Menurut perkiraan dokter, cucu pertamaku baru akan lahir pertengahan bulan Juni 2013. Namun telah kusiapkan sebuah cerita buatnya tentang Partai politik Almarhum Uyut-nya. Uyut adalah ayahnya (orang tua lelaki) Datuk si Cucu. Datuk adalah ayahanda (orang tua lelaki) dari  Ayahanda si Cucu. Jadi tiga generasi ke atas. Supaya cucuku mengetahui bahwa ada perbedaan mendasar pola berpartai politik antara angkatan “Uyut” nya, angkatan “Datuk” nya dan angkatan “Ayah” nya dan mungkin tidak dikenal serta asing pada zamannya nanti.