Sunday 30 September 2012

TAWURAN PELAJAR


Pantas  tidak didapatkan di dalam kamus bahasa Indonesia (di rumahku) terbitan Balai Pustaka 1985 disusun W.J.S. Poerwadarminta kata “Tawuran “ maupun kata “tawur” dengan akhiran “an”  karena mungkin era sebelum kamus disusun belum ada peristiwa tawuran. Menurut bahasa jawa “tawur” artinya “menabur”, (seperti menabur serbuk gula di atas kue donat). Kucari di Google, sepertinya asal bahasa “Tawuran” dari upacara ritual di Bali, “Tawur Kesanga”.
Kejadian tawuran semakin marak akhir-akhir ini, ternyata bukan hanya monopoli pelajar di Jakarta, juga di daerah-daerah. Akhir-akhir ini bukan hanya pelajar, penduduk antar desa bertetangga juga latah ikutan tawuran dan korbannya bukan saja harta benda seperti rumah terbakar, kendaraan terbakar, ternak kocar-kacir, ladang huma berantakan,  tetapi juga jiwa melayang. 
Pelajar SMA 6 dan 70  pekan terakhir September 2012 Jakarta tawuran membuat jiwa seorang pelajar yang justru tidak ikut tawuran melayang, dikeroyok dan dibacok karena ia dikenali sebagai siswa “musuh”. Beberapa hari kemudian di Manggarai seorang lagi jiwa pelajar meninggal dibacok seteru mereka yang juga mestinya tidak tau menahu. Ironisnya ketika ditamui Menteri Pendidikan, pembunuh menyatakan puas udah membunuh. Ini sudah keterlaluan.
Tentu kita semua prihatin dan mencoba menghubungkan dengan pengalaman kita di masa lalu, ambil saja contoh waktu anda yang sebaya saya masih duduk di SLTA. Tidak pernah terdengar ada pelajar yang tawuran dan bahkan anak sekolah selalu dibekali oleh orang tua dan gurunya; “kalian adalah orang terpelajar kudu menjadi contoh dalam masyarakat”.
Sekedar analisis seorang pensiunan dan bukan pula akhli ilmu kemasyarakatan seperti yang banyak kita lihat berkomentar di layar kaca, khusus mengenai tawuran pelajar menurutku barang kali penyebab dan solusinya adalah:
Pertama pakaian seragam
Kami dulu tidak mengenal pakaian seragam, yang penting ke sekolah dengan pakaian rapi, sejurus pernah mode rambut gondrong, tetapi sekolah melarang berambut gondrong. Apalagi kami di daerah nan jauh dari ibu kota Republik, berangkat ke sekolah dan pulang dari sekolah berjalan kaki, tidak ada angkutan umum. Setiap hari terjadi pulang bareng dengan sekolah lain, menapaki jalan raya di sebelah kiri. Abis anak sekolah jadi panutan masyarakat, tertib di jalan sampai ke rumah.
Pakaian seragam, memang memberikan kebanggaan korps tetapi sekaligus dengan kebanggaan itu membuat beda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan pakaian seragam, mudah dikenali bahwa seorang remaja adalah anak sekolah. Jika tidak menggunakan seragam, seorang remaja yang naik bis, atau makan di restoran tidak dapat dikenali  apa status mereka, hal ini menghindari suatu kelompok pelajar menghajar kelompok pelajar yang lain.

Kedua; Kurukulum pelajaran.
Kurikulum sekolah harus demikian rupa sehingga proses ajar mengajar dari pagi sampai sore, si anak tidak punya kesempatan iseng untuk bergerombol di jalan. Dengan waktu belajar yang penuh  itu mungkin saja untuk belajar di sekolah dalam seminggu hanya 5  hari atau 4 hari. Selebihnya dipergunakan untuk kesibukan ekstra, ketrampilan yang dikreasikan sekolah, atau hari kelebihan itu diberikan kesempatan untuk anak beristirahat di rumah, mengikuti pendidikan orang tua. Atau mengikuti kegiatan ekstra kurikuler ketrampilan sebagai bekal terjun ke masyarakat, bila nanti setamat belajar di SLTA tidak mendapat peluang masuk ke perguruan tinggi.

Ketiga; Kegiatan ekstra kurikuler koordinasi antar sekolah
Ketrampilan diberikan kepada siswa sesuai pilihan dan bakat masing-masing, misalnya dibidang seni, dibidang ketrampilan tangan, dibidang olah raga, ketrampilan bela diri yang difasilitasi sekolah untuk mengisi waktu kosong sehari atau dua hari akibat jam belajar hanya selama empat hari atau selama lima hari seperti konsep di atas. Ketrampilan tersebut disiapkan untuk mereka dalam terjun ke masyarakat kalau-kalau nanti tidak memiliki peluang ke perguruan tinggi. Model-model ketrampilan oleh pemerintah diatur untuk setiap sekolah memiliki ketrampilan tertentu yang khas. Sehingga para pelajar untuk mengikuti ketrampilan tertentu dimungkinkan dan difasilitasi oleh sekolah mengikuti ketrampilan dimaksud di sekolah lain yang khusus mengadakan ketrampilan tersebut. Dengan demikian terjadi pembauran dan hubungan baik antar sekolah, hubungan persabahatan antar siswa sekolah.

Keempat; Organisasi diluar sekolah yang bersifat nasional.
Dulu pelajar setingkat SLTA sebagian besar ikut organisasi massa, baik yang merupakan onderbow partai politik, maupun organisasi massa tidak di bawah partai politik. Anak-anak SMA sejak dini sudah mengenal organisasi sifatnya bukan hanya di dalam pagar sekolahnya, tetapi juga antar sekolah dan bahkan antar provinsi dan sampai secara nasional. Sebut saja antara lain GSNI, IPNU, PII dan lain-lain, dimana anggota dan pengurus organisasi itu tersebar disekolah-sekolah yang ada dalam sekota misalnya. Sementara organisasi-organisasi tadi masing-masing pengurusnya dulu dijembatani oleh pemerintah saling berhubungan. Misalnya jika ada acara-acara penting organisasi saling mengundang dan saling menghormati. Manfaat utama dari organisasi ini, adalah memberikan kesibukan yang bernilai positif kepada calon penerus bangsa berlatih untuk menjadi pemimpin dan menjadi yang dipimpin. Manfaat berikutnya terjalin hubungan seorganisasi dengan siswa di sekolah lain.
Di daerah saya kebetulah saya pernah menjadi ketua salah satu organisasi massa tersebut ketika masih duduk di SMA. Bila ada pertandingan apa saja dalam rangka 17 Agustus misalnya, paling tidak saya hadir  kalau kebetulan bukan ikut menjadi pemain. Kehadiran saya cukup bermanfaat bila suasana menjadi panas, dalam hal pertandingan berhadapan dua sekolahan. Sebab di sekolah yang sedang bertanding keduanya ada anggota organisasi massa yang saya pimpin tersebut ikut di dalamnya, maka pesan damai pesan meredam emosi lebih mudah disampaikan.
Kelima; Pendidikan Akhlaq dan budi pekerti.
Lama sudah pendidikan akhlaq dan budi pekerti ini ditinggalkan oleh sekolah dari tingkat dasar sampai menengah. Hal ini dipercayakan sepenuhnya kepada asuhan orang tua dirumah. Dikota besar kadang anak sejak bayi dipasrahkan orang tuanya ke baby sister, sudah sedikit besar, anak-anak diasuh oleh pembantu yang berganti ganti. Maaf kadang akhlaq dan budi pekerti orang tuapun belum tentu juga terpuji, bagaimana ortu memperlakukan pembantu yang tidak jarang perlakuan ini ditiru oleh si anak, sebab dikiranya inilah yang terbaik. Sementara di sekolah tidak diluruskan pandangan tersebut, maka berkembanglah anak-anak yang kasar, tidak sopan, menzalimi orang yang lemah, nuraninya terisi kebengisan. Bila di sekolah diberikan lagi pelajaran budi pekerti dan akhlaq yang mulia, maka si anak setidaknya mempunyai acuan lain untuk dipertimbangkan, bahwa seharusnya bagaimana perilaku orang hidup ini, bagaimanapun kayanya, betapapun tinggi status sosialnya, siapapun orang tuanya.

Keenam; Peran orang tua
Bertalian dengan faktor kelima di atas, peran orang tua disisi lain adalah kontrol terhadap anaknya. Usahakan sering makan semeja dengan anak. Usahakan ketika anak berangkat sekolah diantar sampai ke depan pintu atau ke halaman, usahakan mencari tau apa saja perlengkapan yang dibawa anak ke sekolah, cari tau siapa teman dekatnya dan usahakan mengenal orang tua dari teman dekatnya upayakan nomor HP orang tua mereka. Kemudian setelah dia pulang sekolah, atau ia tidak di kamar secara diam-diam orang tua harus senantiasa mengecek apa saja bawaan anak sepulang dari sekolah, singkatnya apa aja isi tasnya, apa saja barang-barang di dalam kamarnya. Untuk mengetahui apa bacaan mereka, peralatan apa yang dipergunakan mereka dan lain-lain.  Barang-barang, bacaan dan isi kamar dan tas mencerminkan kegiatan anak kita. Jika mengkhawatirkan sejak dini sudah dapat diambil langkah yang tepat.

Ketujuh; Peran guru
Saya betul-betul menaruh hormat kepada guru-guru sezaman kami masih sekolah dulu, muridnya dipantau sampai keadaan orang tuanya. Dalam hal murid tidak masuk, sampai  wali kelas atau guru diutus sekolah datang ke rumah si murid untuk mempertanyakan. Begitu perhatian guru waktu itu. Sekarang jikalau dilihat sinetron, bila anak bermasalah maka orang tua murid dipanggil oleh kepala sekolah datang menghadap.
Kuingat  di bawah tahun 80an, saya dinas di Surabaya, adik kandung saya ikut saya masih sekolah di sebuah SMP. Suatu hari wali kelasnya datang ke rumah, mencari anak muridnya yang adik saya itu, karena telah seminggu tidak masuk sekolah. Saya tidak mengetahui,  sebab adik saya itu setiap pagi berangkat ke sekolah. Dengan kunjungan guru itu, adik saya dapat menamatkan sekolahnya, sebab berikutnya dia tidak berani lagi membolos. Apa sekarang masih demikian, nampaknya tidak, setidaknya untuk Jakarta.
Kedelapan;  Hukum untuk pembunuh yang terlalu ringan.
Bukannya terlalu fanatik dengan ajaran agama, kalaulah hukum bunuh diterapkan hukum qisas, tentu tidak ada orang yang berani membunuh orang,  kalaupun terjadi sudah karena sangat terpaksa, sebab naluri manusia takut mati. Ok lah negara ini tidak menerapkan hukum qisas tersebut, tapi setidaknya kalau hukum bagi pembunuh itu diperberat misalnya seseorang yang membunuh orang, dihukum penjara sampai akhir hayatnya tetap berada dalam penjara. Diumumkan kepada masyarakat/ diundangkan hukuman berat itu dan dilaksanakan, niscaya orang akan berpikir panjang untuk membunuh. Tidak ada jawaban seperti anak yang membunuh di Manggarai kepada Menteri Pendidikan, bahwa ia puas sudah membunuh. Contoh konkrit mumpung ini musim orang berangkat haji. Di tanah suci Makkah dan Madinah, bagaimanapun orang berselisih paham tidak sampai memukul. Sebab bila terjadi memukul orang,  langsung sipemukul ditangkap polisi dan hukumannya berat, prosesnya entah bagaimana konon lama dan disimpan di penjara mana tidak diketahui. Maka orang tidak gampang mumukul orang lain. Saya sering lihat mereka bertengkar, tangannya masing-masing ditaruh kebelakang walau kadang dada mereka sampai bertemu dalam bertengkar.


Wednesday 26 September 2012

KENCING LANCAR LEBIH BERHARGA DARI REZEKI NOMPLOK

Ketika masih di bawah 30an saya bertugas di Surabaya,  di era 80an itu ada semacam adu nasib harian berupa nomor undian yang ketika itu agaknya dilaksanakan secara nasional. Kebetulan saya tidak termasuk yang ikutan mengadu nasib tersebut. Cukup menggiurkan memang,  jika kebetulan nomor tebakannya cocok. Bagi pemasang dua angka kebetulan cocok, kupon dapat dicairkan ke bandar 70 kali, jadi beli kupon 1.000 jadi 70.000,-  Bagi pengadu nasib yang agak berani beli kupon dengan tiga angka, dalam hal demikian jika ketiga angka itu cocok semua, beli kupon 1.000  akan menerima dari bandar 700.000. Keistimewaan komunitas pengadu nasib ini selalu mengingat bila ia beruntung, atau tebakannya mengena, tapi kalau tebakannya tidak kena, tidak diingat-ingatnya. Ada yang komentar anggap saja beli rokok. Bila sudah mengena, langsung traktir rekan-rekan dan tidak ketinggalkan menceritakan bagaimana dia mendapatkan nomor jitu itu, apalagi bila tiga angka. Orang yang dianggap pintar meramal esok keluar nomor yang tepat akan jadi buah bibir dan tentu berlomba-lomba untuk mengunjunginya.
Selain itu keistimewaan selalu mengingat keberuntungan dan tidak mengingat bila tebakan meleset inilah agaknya pecandu undian harian ini jadi luput mengkalkulasi berapa dia sudah habis uang meleset tebakan, kalau mau menghitung dengan cermat banyak rugi dari pada untung. Mereka jadi berlaku dan berpikir aneh, mereka percaya ahli ramal, percaya gambar-gambar aneh yang diterbitkan peramal nomor yang keluar. Percaya dengan omongan orang sakit jiwa, percaya bahwa mimpi ada kaitannya dengan nomor yang akan keluar, kadang kucing berantem saja sudah dicarikan rumusannya dalam semacam buku yang mereka miliki untuk dikonversikan menjadi nomor.
Saya bukan tergolong orang yang mereka anggap sakit jiwa, tidak pula dikelompokkan mereka orang aneh,  bukan juga mereka anggap pandai meramal melalui gambar. Ceritanya sederhana, suatu hari teman tetangga meja saya di kantor;  “Curhat”, bahwa di lokasi rumahnya sekarang sudah masuk instalasi listrik (waktu itu listrik masih barang langka untuk perumahan biasa, padahal dalam kota Surabaya). Untuk memasang listrik butuh biaya, sedangkan pinjam UPP (uang panjar pegawai), sudah tidak mungkin, UPP lama belum lunas ketika renovasi rumah.  Gaji sudah dipotong lagi buat nyicil kredit Vespa dari koperasi pegawai.  “Malu juga mas” katanya, “tetangga kiri kanan sudah masuk strum, padahal mereka bukan pegawai bank”.  “Lantas apa yang dapat saya bantu”, kataku singkat. “Mas kan ndak pernah pasang nomor, biasanya orang yang tak pernah pasang,  sesekali kalau nebak; cocok”.  “Wah saya ndak ngerti”  jawabku. “Bukan sekarang saya minta mas, besok-besok kalau sudah dapat wangsit”. Pinta kawan  saya yang lebih tua dari saya itu mungkin tuaan sepuluh tahunan dari saya. Dianya sudah berkeluarga dan punya anak setingkat SLA ketika itu.
Beberapa hari kemudian saya ditanya lagi, iseng saya beri kawan ini tiga angka, dengan syarat belinya jangan banyak, secukup ongkos memasang listrik. Syarat tambahan jangan memberi tahukan ke orang lain. Teman saya ini setuju dan langsung membeli kupon dengan nilai sebungkus rokok “Gudang Garam Merah”.  Esok harinya kebetulan, sekali lagi kebetulan, tiga angka itu benar-benar keluar dari undian. Kontan saja itu teman datang ke kantor paling pagi, sebelum saya datang. Rupanya dia memapak saya dari kejauhan sudah ngangkat tangan. Tentu ada pegawai lain yang lihat adegan itu dan agaknya itulah membuat informasi ini bocor. Singkat cerita beberapa minggu kemudian kediaman saya di daerah Menur, malam-malam ramai dikunjungi kawan sekantor, main-main dan ngobrol. Kawan ini tentu komunitas pemasang nomor undian. Tetangga sekitar saya juga akhirnya mencium juga bahwa saya dalam tanda petik “pandai nebak nomor”. Sesekali karena didesak terus saya berikan juga nomor yang dihajatkan mereka. Kadang nomor sesekali itu mengena dan kadang meleset, karena memang tidak ada yang mengetahui  apa yang terjadi esok hari.  Biar meleset, para pengrajin masang nomor ini tetap tidak kapok-kapok, mereka tetap minta dan bahkan mereka tidak menyalahkan saya, mereka menyalahkan dirinya tidak mengerti mengolah angka yang diberikan, “padahal kalau diolah mestinya masuk”. Kata mereka. Misalnya diberikan nomor 372 ternyata angka jadi terbalik  jadi 273 atau 723 atau 237. Para penebak ini mungkin menaruh rasa hormat kepada “orang pintar”, mereka tidak menyalahkan saya, malah menyesali diri mereka sendiri “mengapa tidak dipagar”, istilah mereka. Dipagar, maksudnya dibolak balik, dijaga kiri kanan ditambah satu kurang satu dan bermacam lagi istilah mereka, pokoknya sandi yang saya berikan, mereka menganggap kena sasaran. Setidaknya kalau cari alamat  rumah orang, sudah diberikan  lengkap nomor RT/RW tinggal cari rumahnya saja.
Sekali waktu  salah seorang rekan sekerja saya datang ke rumah saya sendirian “pesan nomor”. Yang satu ini lain lagi permintaannya untuk dapat nomor tiga angka sekaligus untuk menyediakan uang muka cicilan rumah BTN. Lumayan besar jumlahnya kalau di kurs dengan tiga angka paling kurang modalnya harus 5.000,- Teman ini rupanya sudah capek tiap tahun memperpanjang kontrak rumah, kepengin punya  rumah sendiri walau dengan skala BTN type 45. Dasar bukan dukun, saya malam itu tidak sanggupi. Rupanya permintaan kawan ini masuk dalam mimpi saya dan keesokan hari setibanya di kantor, pagi-pagi sudah didesaknya minta dengan berbisik-bisik sambil ngantarkan pekerjaan untuk saya.  Siang harinya saya ada suatu keperluan ke Malang, menjelang saya berangkat ia minta lagi, akhirnya saya beritahukan angka terlihat dalam mimpi tadi malam walau tidak saya beritahukan itu hasil mimpi. Sementara itu kepada ybs saya berikan uang 10.000 berikut  pesan; “kalau kena kembalikan uang saya ini 10.000, kalau meleset tidak usah kembalikan”. Itu teman tidak mau menerima uang saya itu walau sudah saya kepalkan ketangannya, dikembalikan lagi ke saya dengan serius. Saya sudah tidak pikirkan lagi peristiwa itu dan menuju Malang. Esok hari baru masuk kantor. Ketika masuk kantor esok hari rekan itu tidak masuk kantor, ternyata ada surat izin dokter untuk tidak masuk 3 hari.  Sementara tersiar kabar dari kalangan para pendekar nomor undian, bahwa nomor yang keluar tepat seperti yang saya berikan ke rekan tadi. Sebagaimana syarat saya bahwa tidak boleh memberitahukan orang lain, sepertinya ia mematuhi pesan itu.  Ketika ia masuk kembali ke kantor, dia datang ke meja saya dengan merapatkan kedua tangannya mohon maaf kepada saya, karena dia tidak berhasil mencari pinjaman uang untuk membeli kupon sehingga keberuntungan itu terlewatkan, oleh sebab itu saking kecewanya sampai sakit kepala dan datang ke dokter minta surat izin sakit.  Adapun alasannya kenapa tidak mau menerima uang saya, adalah “malu”, masakan nomor diberi uang juga diberi, itu pula yang menjadi penyelsalannya yang hebat betul-betul membuang tuah dan menyebabkannya sampai jatuh sakit. Kesempatan kedua bagi teman saya ini rupanya datang, ketika dia dengan sirius bekemauan keras  ingin  benar-benar  memeliki rumah, entah bagaimana kebetulan, sekali lagi kebetulan  dengan menggunakan angka yang saya berikan ia berhasil. Sebagai bukti kebenaran niatnya, bahwa dia tidak sekedar cari alasan untuk mendapatkan uang  dengan bepura-pura ingin membayar uang muka rumah, seluruh uang hasil tebakan itu dititipkan ke rekening saya, sampai suatu hari dicairkan pada saat pembayaran uang muka rumah BTN harius dilaksanakan. Benar juga ketika dibuka pendaftaran mendapatkan rumah BTN yang bersangkutan meminta uang itu untuk disetorkan membayar uang muka cicilan rumah. Jelas langkah yang kutempuh pada waktu itu adalah salah, memfasilitasi setidaknya memberikan bantuan buat penjudi. Walau tidak setiap orang kepenuhi permintaannya, hanya orang dengan alsan yang kuat. Komunitas “penombok buntut”,  umumnya tidak pernah mampir ke moshola kantor kami. Terselip syarat setiap yang memesan nomor buntut kalaupun kuberikan ialah: “sesudah ini tidak lagi ikutan mengadu untung dengan nomor buntut” dan dirikan sholat. Terus terang diperoleh dengan memohon kepada Allah yang kemudian mendapat semacam perasaan didalam hati, atau pendengar ditelinga atau terlihat di dalam mimpi.
Berita ini pelan-pekan tersiar juga dikalangan para penombok nomor yang ketika itu kalau tidak salah diistilahkan “buntut”.  Semakin dalam tanda petik  saya dianggap “sakti”.  Komunitas ini bukan saja terdiri dari orang sekantor saya, meluas kemana-kamana dan berita itupun sampai juga  ke para “penombok buntut” di intansi lain.
Tahun 1981 saya pindah ke Kamal Madura ikut menghuni rumah BTN type 70 yang waktu itu cicilannya Rp 26.680,- (dua puluh enam ribu enam ratus delapan puluh rupiah), selama 15 tahun. Rumah bertingkat dua di atas tanah 6 x 18 m. Setelah pindah rumah, beberapa waktu keterusikkan saya oleh rekan-rekan yang datang ke rumah malam hari jadi tidak ada, sebab lumayan perjuangan mereka kalau teman-teman dari Surabaya ingin datang ke rumahku,  cukup repot harus menyebrang dengan kapal “Joko Tole”,  kapal “Maduratna” yang beroperasi hanya sampai pukul 10 malam dan kalau lebih dari itu harus naik kapal kecil RORO yang cukup kurang nyaman. 
Hingga suatu hari sesudah shalat magrib ada suara lembut dan perlahan menotok-notok pagar rumah saya di Jl. Durian No. 8,  Perumnas Kamal Madura. Kami belum lama menikah dengan isteri saya, mungkin belum tiga bulan. Dari jendela kamar atas bangunan rumah kami yang bertumpuk dua itu terlihat di bawah, di depan pagar rumah kami di keremangan lampu jalan, seorang lelaki yang tidak saya atau isteri saya kenal. Mengingat belum terlalu malam dan tetangga kiri kanan dan depan rumah juga masih terjaga, saya beranikan diri untuk menghampirinya di pagar rumah. Ia dengan sopan memberi salam, ingin masuk rumah dan berkenalan.
Dalam dialog yang cukup panjang, Bapak ini menceritakan bahwa dirinya adalah seorang bendaharawan dari suatu intansi (tidak saya sebut nama intansi itu di tulisan ini) telah terlanjur terpakai uang kantor, sementara mendengar informasi dalam waktu dekat akan ada pemeriksaan dari kantor pusat.  Sungguh tidak ada relevansinya masalah Bapak ini dengan profesi saya waktu itu sebagai pegawai bank. Sebetulnya kalau mau kasar-kasaran saya cukup potong pembicaraan itu misalnya:  “Bapak salah alamat curhat kepada saya problema bapak”. Tapi karena baru kenal, dan ia mengaku juga penghuni komplek Perumnas Kamal juga,  beberapa blok dari kediaman kami, hitung-hitung  adalah tetangga, maka cerita yang bersangkutan saya dengarkan dengan sabar, sementara isteri menyedukan minuman, kemudian mengantarkannya dan kembali ke kamar di lantai atas.
Rupanya di akhir percakapan ia minta tolong nomor yang akan keluar  besok atau lusa, untuk di pasang/ditebak  guna menutupi uang dinas yang kadung terpakai.  “Alamaak”, kataku, “dari mana pula bapak tau bahwa saya ini dukun nomor”. “Saya mendengar dari kawan-kawan” katanya dengan tegas. Berkali-kali saya katakan tidak bisa, saya tidak tau dan macam-macam istilah lengkap dengan alasan berbau agama, ini orang tetap tidak mau mengangkat pantatnya dari kursi tamu kami. Saya takut juga ngusirnya kalau menimbulkan masalah, maklum baru kenal dan dari penampilan orangnya, dia memang orang kantoran. Cuma ngotot benar minta nomor, nampaknya sebelum diberikan belum mau pulang. Orang akan benar-benar hilang malu, hilang sopan, bahkan hilang harga diri kalau sudah diperhamba judi. Ayahku dulu pernah memberikan perumpamaan penyakit yang harus dihindari adalah judi sebab kata beliau:
“Kalau seseorang gila perempuan, dia akan selalu tampil perlente. Jika orang tukang minum begitu mabuk berhenti.  Bila penjudi, walau harta habis juga tidak perduli”.
Saking kesalnya saya naik ke lantai atas minta kepada isteri saya uang logam. Kebetulan isteri ada uang logam limapuluhan. “Untak apa” tanya isteri saya. “Sudahlah sini saja untuk bapak itu”, setengah kaget isteri yang baru saya nikahi tiga bulan itu memberikan uang logam 50 edisi tahun berapa waktu itu agak besar.  Harganyapun masih nendang,  sebab masih dapat naik ferry  Kamal-Tanjung  Perak bagi pejalan kaki untuk satu trip.  Saya berikan uang itu, dengan pesan bahwa kalaulah ini dianggap membantu, maka bantuan saya hanya sekali ini saja, lain kali apapun alasannya saya tidak bersedia memberikan apa-apa. Kontan tamu saya ini berdiri dan pamit serta menerima uang logam Rp 50 tersebut. Kamipun melanjutkan nonton acara TV bersama isteri setelah mengantarkan tamu keluar  dan mengunci pagar.
Keesokan harinya dalam waktu yang sama sesudah magrib, ada lagi yang mengetuk pagar rumah kami, ternyata bapak yang kemarin datang lagi, semula saya enggan membukakan pintu, tapi kasihan juga kelihatannya dia sangat butuh untuk masuk ke rumah dan memberikan penjelasan. Begitu masuk yang bersangkutan menyesali dirinya, salah menebak, nomor yang keluar untuk dua agka adalah persis “50” sedangkan tiga angka “750”. Sementara si Bapak nombok nomor-nomor lain dengan memagarinya dari terjemahan atas gambar dari buku sinji perbuntutan. Dia terjemahkan burung cendrawasih,  burung garuda, padi dan kapas yang tergambar pada koin Rp 50. Padahal lanjutnya “Bapak berikan koin itu pukul 7 malam  tinggal tambahkan angka 7 dengan 50.  “Atau setidaknya pasang nomor 50 sudah jelas kena. Ini saya betul-betul  tidak memperoleh apa-apa, karena kebodohan saya”  katanya.
Sesuai dengan janji saya kemarin bahwa saya hanya dapat mencoba membantu  sekali saja. Apapun yang diutarakan bapak itu untuk kesempatan kedua tidak saya penuhi, selain saya tidak mengetahui apa-apa  juga jadinya akan merepoti, kalau kebetulan apa yang diberikan itu mengena, kalau tidak malah bermasalah. Sebab jujur saya benar-benar tidak mengetahui ramalan itu, tidak seperti yang mereka anggapkan.
Selanjutnya di kantor ada juga seorang penggemar menurut penilaianku alasannya dibuat-buat. Saya bertahan tidak memberikan angka permintaannya, tetapi karena yang satu ini mendesak sekali saya ajukan syarat, kalau mau akan saya usahakan. Syarat tersebut yang bersangkutan ternyata tidak bersedia menurutinya terlalu berat.  Adapun syaratnya ialah begitu tebakan mengena, anda tidak dapat kencing selama seminggu. Teman yang satu ini tidak mengulangi lagi permintaannya. Rupanya kenormalan buang air kecil jauh lebih berharga dari sejumlah uang, walau didapatnya dengan mudah sekalipun, atau rezeki nomplok.
Teringat  aku dengan peristiwa Sultan Harun Al-Rasyid kubaca pada Tafsir Al Azhar Prof DR. Hamka, bahwa harta si sultan  hanya bernilai segelas air. Ketika sedang dalam majelis ceramah sultan meminta segelas air. Penceramah bertanya kepada Sultan, bilamana air yang tuanku hajatkan tidak didapat apa tindakan tuan. Sang Sultan menjawab, akan kukerahkan seluruh hadamku seluruh pembantuku, seluruh prajuritku untuk mencarinya walau untuk itu aku harus mengeluarkan biaya separo dari kekayaanku.  Penceramah lanjut bertanya, andaikan air segelas yang tuanku minum tidak dapat dikeluarkan  menjadi kencing, apa pula yang akan anda lakukan. Sultan menjawab akan kucari tabib kemanapun dan berapapun upahnya untuk mengobatiku agar dapat dan lancar kencing. Ustadz menyimpulkan, “kalau begitu harta sultan hanya benilai segelas air”.
Setelah aku pindah ke Pontianak tahun 1985  masih banyak pos kilat khusus untuk minta “nomor jitu” dengan berbagai alasan antara lain; karena bangkrut peternakan ayamnya terserang penyakit. Untuk memulihkannya ia minta jalan pintas dengan minta nomor jitu. Tentu tidak saya layani sebab memang benar-benar tidak megetahui. 
Bagi rekan-rekan sekantorku utamanya yang semasa mudanya penggemar “buntut”, jika terbaca artikelku ini mungkin masih ingat dan tau siapa-siapa diantara  orangnya yang dimaksud tulisanku di atas. Ku yakin semuanya sudah jadi pensiunan dan kuyakin pula sudah tobat semua dan sudah menjadi ahli sholat.  Bagi rekan-rekan yang sudah “berangkat lebih duluan”, semoga Allah mengampuni dosa kita dan menerima amal ibadah kita. Amien.

Friday 21 September 2012

Seri Umrah: TRANSPORTASI UMUM MAKKAH-MADINAH

Senen-Kampung Rambutan, Senen-Bekasi, Senen-Blok M, Bandara Soekarno-Hatta Gambir, ini sering kita lihat tulisan di depan atas bis di Jakarta. Berbeda dengan di Makkah, Madinah, untuk mengetahui jurusan angkutan umum dari informasi kernet atau kita bertanya ke jurusan mana bis akan menuju. Selain itu bis-bis kedua kota suci ini melayani carteran tergantung negosiasi ke mana akan menuju. Jurusan dari Madinah untuk jamaah umrah umumnya ke Makkah atau ke Jeddah. Sementara itu bis dari Jeddah rutenya menuju ke Madinah atau ke Makkah. Sedangkan jurusan dari Makkah, rute bagi jamaah umrah adalah ke Madinah, ke Jeddah atau ke Tan’em dan Ji’rana tempat miqat bagi yang ingin mengulang umrah.
Dua photo yang saya publikasikan berikut adalah bis yang melayani rute-rute dimaksud. Tertulis didepan atas bis dengan jelas bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bis tersebut milik perusahaan otobis SAPTCO di Arab Saudi.





Entah kenapa mereka menulis bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, belum saya dapatkan alasannya, tetapi  yang jelas bahwa orang Indonesia cukup di kenal di Makkah dan Madinah, lantaran jamaah Indonesia termasuk banyak jumlahnya di Makkah dan Madinah, sampai perlu ditarik minatnya dengan mengabadikan tulisan di depan bis.
Foto di ambil di lapangan “Gazza” sebagai terminal sejak kami datang awal Ramadhan sampai dengan tanggal 20 Ramadhan. Mulai tanggal 21 Ramadhan untuk menampung jamaah yang sudah semakin melimpah untuk shalat tarawih sesudah isya, dan shalat tahajud, maka terminal dipindahkan ke dekat masjid “Jin” (kurang lebih 700 meter dari tempat semula).  Tanggal 21 Ramadhan dimulainya shalat tahajud berjamaah sampai akhir Ramadhan. Waktu shalat tahajud pukul 1 dinihari sampai pukul 3. Sedang shalat tarawih sesudah isya berakhir pukul 11 malam. Adzan subuh pukul 04.30 shalat subuh rata-rata dimulai 15 menit kemudian. Mulai tanggal 21 Ramadhan itu banyak jamaah harus shalat di lapangan Gazza, sebab masjid sudah tidak dapat menampung jamaah. Jika hendak shalat isya dan tarawih masuk masjid mulai tanggal 21 Ramadhan, harus mulai berada di dalam masjid sekurangnya sesudah ashar. Pada 10 paro terakhir Ramadhan itu, banyak sekali jamaah dari Arab dan sekitarnya mukim di Masjidil Haram sepanjang hari dan sepanjang malam dikenal dengn i’tiqaf. Lantai Masjidil Haram bagaikan sudah dikavling oleh mereka, sehingga jamaah yang tidak i’tiqaf akan sulit masuk ke kaveling mereka itu.
Harga BBM setara premium di Saudi per liter adalah SR 0,61  sekitar Rp 1,708,--, itu mungkin sebabnya jarak tempuh antara Jeddah-Madinah, lebih kurang  450 Km dipatok tarif bis umum SR 50, per orang atau setara dengan Rp 140.000,- Rombongan kami berlima memilih naik mobil bukan bis yaitu mobil “Prado” dengan ongkos ditawarkan oleh pemilik mobil semula SR 500 akhirnya dapat dinego jadi SR 450,-  . Lebih mahal dari jika kalau naik bis, tapi pertimbangan kami kalau naik bis turun di terminal, sampai di Madinah harus membawa barang  ke hotel. Sedangkan bila  mobil carteran, diantar sampai ke hotel. Betul juga ketika sampai di Madinah, untuk mendapatkan alamat hotel “DAR Al FAHAD” tempat kami menginap 3 hari, cukup lama mengitari kota. Perjalanan ditempuh kurang lebih  4 jam itu, cukup mengasyikkan sekaligus sedikit mengerikan. Mengasyikkan karena jalan mulus hampir tidak ada saingan atau berpapasan berlawanan arah, sementara kiri kanan hanya gunung-gunung batu dan hamparan jalan dan jembatan. Mengerikan karena Jarak 450 KM ditempuh hanya 4 jam, sebab menurut speedo meter kecepatan sering menunjukkan  angka 170.  Sementara itu si pengemudi tidak henti-hentinya berbicara melelaui HP, kadang dia yang menghubungi lawan bicaranya,  kadang HP nya yang berbunyi, agaknya si sopir banyak relasi. Kengerian tambahan ketika ngomong dengan HP yang bersangkutan sambil menggerakkan tangan dan bahunya layaknya orang sedang bicara berhadapan, itu nampaknya sudah menjadi pembawaan orang Arab kalau bicara tangannya, bahunya ikut bergerak, dalam hal kita bertatap muka matanyapun ikut menegaskan isi pembicaraan. Alhamdulillah kami sampai dengan selamat di kota Madinah dan langsung masuk hotel diantar mobil sampai halaman hotel.
Perlu ditambahkan informasi bahwa, biaya di atas belum termasuk biaya keluar dari area bandara, rupanya bis-bis atau mobil carteran (setidaknya peraturan ketika kami umrah Ramadhan 1433), tidak diperkenankan mengambil penumpang dari bandara. Jadi harus naik mobil khusus (mungkin punya ijin trayek bandara) mengantar keluar bandara atau sampai ke terminal bis di kota Jeddah. Tarifnya lumayan tinggi dan tawar-menawar,  rombongan kami untuk mengeluarkan dari area bandara beberapa km, sebab penjemput tidak boleh masuk, membayar SR 150.
Bicara soal pengemudi, ternyata ngebut bukan hanya perangai supir metro mini Jakarta ngajar setoran saja. Pengemudi Arab juga luar biasa, seperti yang saya sebut di atas sambil bicara dengan HP dan tangan satu pegang kemudi tangan satu bergerak seirama dengan pembicaraan. Terjadi juga kami ke celakaan sepulang dari “Jabal Rahmah”. Dari pemondokan sekitar pukul 10 waktu setempat kami mencarter bis kecil berpenumpang  12 orang termasuk supir. Acara,  mengunjungi  melihat dari jauh jabal Tsur,  jabal Nur dan berhenti 30 menit jabal Rahmah, melintasi Arafah, Musdalifah, Jamarat (tempat melempar jumrah). Cukup mahal tarifnya, karena hitungan dalam kota, untuk itu kami harus membayar masing-masing  SR 15 jadi pemilik mobil mengantongi SR 165. Tarif dalam kota agak mahal seperti halnya Makkah Tan’em yang hanya kurang lebih 15 menit  tarifnya SR 5,- setara Rp 14.000,-
Kecelakaan  terjadi mobil yang kami tumpangi pintu tengahnya sebelah kanan penyok berat berbenturan dengan sebuah bis besar. Pasalnya adalah si pengemudi kami memotong jalan untuk belok ke kanan, sementara seharusnya dia melihat bahwa ada bis besar disebelah kanannya sedang bergerak perlahan mengambil jalan lurus. Kontan saja tak dapat dihindari, bis besar tak sempat ngerem secepat itu, maka pintu tengah mobil yang kami tumpangi rengsek dicium bemper kiri bis besar. Langsung si sopir yang duduk di sebelah kiri (karena stir kiri) turun dan kelihatannya memaki-maki supir bis agaknya orang  Timur Tengah juga tapi bukan asli orang Saudi. Setelah bersitegang kelihatannya terjadi perdamaian dan menurut informasi dari rombongan yang paham bahasa Arab, justru si bis besar dalam posisi harus ganti  kerugian. Kami penumpang mobil kecil tadi semuanya sependapat kalau di Indonesia, justru sopir kamilah yang salah, motong  jalan. Namun kami tak ada yang berani komentar untung saja istri saya yang duduk persis disebelah pintu yang ke seruduk tidak apa-apa, kalaulah bis tersebut betul-betul sedang melaju mungkin saya yang duduk disamping isteri sayapun bukan mustahil ikut cedera. Kejadian ini disebabkan kurang konsentrasi mengemudi, lantaran terus menerus bicara dengan HP sementara menyetir di tempat ramai dengan akselerasi yang mendadak dan dalam keadaan jalan normal kecepatan tinggi. Adalah bijaksana, jika mencari bis atau mobil carteran dalam negosiasi harus dimasukkan persyaratan pengemudi tidak ngebut. Kalau mungkin sopir tidak bicara dengan HP kecuali sangat perlu misalnya menanyakan alamat yang akan dituju, setelah masuk kota.