Saturday 21 July 2012

TRIK VISA DAN MUHRIM


Visa adalah dokumen yang dikeluarkan oleh suatu negara memberikan seseorang izin untuk masuk ke negara tersebut dalam suatu periode waktu tertentu. Ada memang negara tertentu atas kesepakatan bilateral atau regional membebaskan warga negara mereka masuk ke negaranya yang terikat kesepakatan tanpa visa.
Demikian juga orang Indonesia yang akan masuk ke negara Arab Saudi dalam rangka melaksanakan haji atau umrah, harus mendapatkan visa. Pengurusan visa tersebut di kedutaan Arab Saudi yang ada di Indonesia.
Syarat untuk mendapatkan visa khususnya UMRAH ke Arab Saudi antara lain:
1.    Pemohon visa memiliki paspor yang masih berlaku dan masa berlaku sekurangnya lebih lama dari berapa lama yang bersangkutan  akan tinggal di Arab Saudi dalam rangka Umrah.
2.    Pemohon visa harus sudah mempunyai hotel atau pemondokan yang akan dituju di kota tujuan di Arab Saudi, Madinah dan Makkah.
3.    Pemohon visa harus sudah memiliki tiket pesawat terbang untuk keberangkatan dan tiket pesawat terbang untuk pulang.
Konon menurut salah satu pihak yang biasa ngurus Visa terkait umrah, persoalannya bila tiket PP sudah dikantongi benaran, jika visa tidak keluar maka akan berakibat tiket hangus atau setidaknya dibatalkan dengan pembebanan biaya. Begitu juga dengan pemondokan di Saudi, bila batal maka perskot booking akan hilang. Menyikapi hal ini sepertinya sudah ada kesepahaman “akal-akalan” antara usaha ngurus perjalanan umrah dengan maskapai penerbangan dan hotel. trik tersebut adalah dengan menerbitkan “Tiket bayangan”  dan “tanda booking hotel ecek-ecek” . kalau ternyata gagal mendapatkan visa pihak pengatur perjalanan hanya mengeluarkan biaya sedikit ke petugas maskapai penerbangan. Sementara dalam hal pemondokan batal, juga kepada petugas hotel hanya keluar sedikit uang terimakasih.
Jika visa benar-benar keluar dengan :tiket bayangan dan booking hotel ecek-ecek itu, maka si pelaksana perjalanan umrah segera mencari penerbangan lain yang membawa rombongan mereka. Itulah sebabnya mungkin diantara pembaca yang ingin melaksanakan umrah, semula direncanakan menggunakan penerbangan “A”, kemudian terlaksana dengan menggunakan penerbangan “B”. Kalau hotel biasanya sedikit agak lebih dapat ditepati, karena begitu visa keluar segera diinformasikan ke hotel, walau tidak jarang terjadi juga berubah. Pernah saudara saya berangkat umrah dengan janji akan diinapkan di hotel bintang 5, ternyata terealisasi di kamar hotel dengan tempat tidur susun 5 buah masing bersusun 2.
Trik untuk menjalankan umrah ini rupanya dilakukan orang juga bab MUHRIM. Pelaksana perjalan umrah, demi membantu calon rombongannya wanita yang belum bersuami tetapi dalam usia di bawah 45 tahun. Dipasangkan muhrim dengan rombongan lain yang berangkat membawa isteri atau kebetulan jamaah lelaki yang berangkat tidak membawa isteri. Di dalam paspor tercantumlah siapa yang menjadi muhrim dan siapa yang dimuhrimkannya.
Tahun 2007 ketika saya berangkat dengan rombongan 2 adik saya lelaki,  isteri saya dan ibu mertua. Adik saya lelaki kebagian memuhrimkan masing-masing satu orang, sedangkan saya juga kebagian seorang. Pada detik-detik akan masuk keruang tunggu pemberangkatan, salah saorang anggota rombongan, dianya wanita terpaksa membatalkan keberangkatan karena mendapat kabar bahwa orang tuanya sakit berat mendadak, atas pertimbangan keluarga keberangkatan dibatalkan.
Rombongan kami berangkat dengan kurang seorang wanita yang dimuhrimkan salah seorang adik saya. Di pesawat kami duduk berjauhan, sehingga tidak dapat mewanti wanti adik saya untuk mengisi pass masuk Saudi yang dibagikan di dalam pesawat. Oleh adik saya rupanya formulir itu disepelekannya bahkan tidak mengetahui lagi entah kemana. Ketika sampai di imigrasi Saudi, semua anggota rombongan mengunjukkan paspor dan pass masuk yang sudah terisi, sedangkan adik saya passnya saja tidak ada. Oleh karena itu ia sampai empat kali keluar masuk antrian tetap tidak dapat masuk. Pemimpin rombongan mengetahui hal itu segera mancarikan formulir pass masuk dan membantu mengisikan. Setelah antri yang kelima kalinya dengan menyerahkan pass masuk tersebut, petugas imigrasi langsung menyuruh adik saya ini segera masuk tanpa banyak periksa termasuklah tidak memeriksa siapa yang dimuhrimkannya.
Persoalan timbul ketika akan pulang ke tanah air, seluruh rombongan sudah selesai chek in, sementara adik saya ditahan dan akhirnya diserahkan ke keamanan karena seorang wanita dalam paspornya tidak ikut pulang, dia dituduh meninggalkan seorang wanita di Arab Saudi. Begitu lama persoalan ini mengurusnya, untung diantara rombongan kami ada Anggota DPR RI yang punya akses ke kedutaan Indonesia, entah bagaimana prosedurnya/caranya, kemudian kedutaan mengirimkan petugas ke bandara menanda tangani semacam surat, kami tidak mengerti akhirnya adik saya dan kami dalam detik-detik terakhir dapat masuk ke ruang tunggu. Persoalan belum berhenti sampai disitu, ketika akan masuk ke pintu keluar ruang tunggu menuju ke bis yang akan mengantar ke pesawat, kembali adik saya tertahan, setelah semua rombongan selesai barulah akhirnya adik saya ini muncul dengan bis lain. Petugas pintu keluar itu juga mempertanyakan ke kantor depan mengenai kelainan cacatan dari paspor adik saya ini. Alhamdulillah kami sampai juga ke tanah air dengan mendebarkan, adik saya nyaris ditahan di penjara Arab Saudi.
Ini model akal-akalan yang kurang berakal yang membahayakan. Tapi jika tidak dengan akal-akalan persoalannya menjadi sulit. Mengenai pengurusan Visa harus juga dengan trik akal-akalan. Muhrim juga dengan akal-akalan. Ibadah saja di dunia ini harus dengan akal-akalan. Jadi tidaklah terlalu heran kalau soal selain ibadah ditempuh orang dengan jalan akal-akalan.
Oh dunia mengapa penuh dengan akal-akalan, apakah akal-akalan ini sudah termasuk jurus korupsi, entahlah .................
Begitulah rupanya dunia ini. Kalau semuanya baik, semuanya tidak ada korupsi, semua tertib, semuanya enak, semuanya kenikmatan, tidak ada akal-akalan mungkin itulah surga namanya.  Kalau semuanya sulit, semua susah semuanya tersiksa itupun bukan pula dunia mungkin itu kehidupan neraka.
Jadi kehidupan dunia itu ada yang mudah, gampang, nikmat, enak, lancar tetapi bercampur juga ketidak nyamanan, ada akal-akalan, ada yang korupsi ada kemacetan dan serbaneka ketidak teraturan.

Friday 20 July 2012

KUNJUNGAN BALASAN

Hampir setiap orang, sudah berkeluarga maupun masih belum menikah, sering bepergian atau traveling. Memang jendela hidup ini akan terbuka bila seseorang sekurangnya dapat melakukan 3 hal yaitu “Reading”, “Meeting” dan “Traveling”. Reading menambah wawasan, sehingga banyak hal dapat diketahui, termasuk pengetahuan dan pengalaman orang lain dapat diserap melalui reading. Wawasan dan pengetahuan adalah senjata utama dalam menjalani kehidupan. Meeting berkomunikasinya seseorang dengan orang lain, dengan banyak orang, dengan meeting dapat tukar menukar informasi, semula sesuatu tidak diketahui menjadi diketahui dan semuanya bermuara untuk melancarkan aktivitas hidup. Traveling menambah pengalaman, dapat melihat segala macam peluang dari tempat yang dikunjungi.
Keluarga negeri Belanda suami isteri bertamu ke kampung teman saya dibilangan Nusatenggara Barat biasa dikenal sebutan dengan NTB. Tamu dari negeri Belanda tersebut ada kaitan kekerabatan jauh, dengan teman saya tadi dari pihak yang perempuan. Keramah tamahan Indonesia di mana saja di nusantara ini, bila kedatangan tamu, dilayani demikian baik. Kamar di rumah disediakan dengan rapi, sejak dari tempat tidur sampai perlengkapannya walau seadanya diusahakan serapi mungkin. Begitu sampai waktu sarapan, makan siang dan makan malam, sahibul bait berusaha semampunya menyediakan makanan yang terbaik, perabot makan yang tebaik, termasuk serbet makan terbaru. Walaupun nanti setelah tamu pulang gombal datang, serbet barupun hilang. Seminggu suami isteri itu bertamu di NTB, hampir semua lokasi wisata dapat dikunjungi dengan panduan pihak keluarga ketamuan. Seperti ketika tiba, waktu pulang juga tuan rumah memfasilitasi mengantar sampai bandara.
Waktupun berjalan, sampai ketika dua tahun kemudian si keluarga dari NTB ini ada keperluan ke negeri Belanda dengan rencana kurang lebih seminggu. Tentu saja teman ini karena sudah pernah merasa melayani tamu negeri Belanda ketika berkunjung ke daerahnya, rasa percaya diri agak besar. Dibayangkan nanti di negeri Belanda akan dijemput di bandara sebagaimana ia pernah lakukan. Akan ditampung di kediaman kerabat tadi di rumahnya sebagaimana ia pernah laksanakan. Soal makanpun demikian dibayangkan sekurangnya sarapan pagi, mungkin disediakan tuan rumah nanti. Singkatnya teman inipun dengan isteri berkunjung ke negeri Belanda. Sebelum berangkat sudah komunikasi melalui telepon rencana keberangakatan kunjungan balasan itu seminggu sebelumnya. Pihak di negeri kincir angin itupun menerima pesan melalui seluler dengan baik. Pokoknya welcome deh bahasa orang kini.
Pesawat tiba di bandara negeri Belanda dini hari. Rasa sungkan Asia setidaknya orang Indonesia, tidak langsung memberi tahukan kedatangan mereka, dikhawatirkan keluarga yang akan menerima kunjungan balasan sedang lelap tertidur. Sekitar pukul 5 pagi waktu setempat barulah ditelepon perihal mereka sudah berada di bandara kedatangan. Sedikit agak kaget teman ini menerima jawaban dari kerabat yang pernah bertamu di NTB itu. Si nyonya bule menyahut melalui telepon dengan memberikan arahan alamat kekediaman mereka, artinya mereka tidak akan menjemput ke bandara seperti yang pernah dibuat teman saya di bandara NTB. Berpikir positif teman saya ini memberitahukan isterinya bahwa si kerabat mereka itu rupanya sedang sibuk, sehinga tidak dapat datang ke bandara menjemput. Segera diputuskan naik taksi menuju kediaman kerabat mereka itu. Kangen juga rasanya sudah dua tahunan tidak ketemu sejak kunjungan mereka dua tahun lalu ke NTB. Tak lupa oleh-oleh dari tanah air khas Mataram ikut dibawa yaitu “Telor Asin”, beberapa butir “mutiara” dan tak lupa “ayam taliwang” walau lama dalam perjalanan  ketika akan dimakan dipanaskan dulu pasti masih enak.
Taksipun meluncur kekediaman kerabat Belanda itu, rupanya tidak sulit mencari alamat, dengan mudah sampai. Setibanya di rumah, setelah pintu dibuka langsung kopor suami isteri diturunkan dari taksi ditenteng sendiri masing-masing, dibawa masuk rumah. Tuan rumah mempersilahkan duduk diruang tamu, sementara kopor dan tas tenteng masing-masing diletakkan dekat kursi tamu dimana mereka duduk. Sudah kurang lebih 15 menit ngobrol dan oleh-oleh sudah diserahkan, namun tidak ada sapaan si tuan rumah untuk membawa kopor masuk kamar. Kurang lebih duapuluh menit kemudian akhirnya tuan rumah mengatakan bahwa pagi ini mereka masuk kantor dan mempersilahkan teman saya tadi untuk menginap di hotel dan mereka mereferensikan beberapa hotel sebagai pilihan. Kedua suami isteri dirantau orang ini tinggal beradu pandang sejenak. Benar-benar tidak sesuai dengan bayangan mereka. Dari tanah air ia sudah membayangkan nanti di negeri Belanda tidak akan menemukan kesulitan, sebab ada kerabat. Bukan saja kerabat yang sudah lama tidak ketemu tapi dua tahun barusan ia pernah ke NTB dan nginap di rumah mereka, mereka layani dengan baik, mereka antar kemana pergi , mereka jemput dari bandara, mereka antar sampai pulang, mereka bekali lagi “buah tangan” waktu pulang. Tentu nanti kalau mereka melakukan kunjungan balasan, setidaknya mendapat perlakuan yang sama. Kata pepatah orang Indonesia “Asalnya padi menjadi beras. Asal menanam budi pasti berbalas”.
Jadi ingat cerita kami orang Dayak Kalimantan, dulu waktu transportasi belum lancar seperti sekarang, dari “tanah ulu” (kampung-kampung dihulu sungai) untuk mencapai ibu kota Kabupaten milir mengikuti arus sungai, semalam sampai dua malam perjalanan dengan menggunakan sampan lumayan besar yang diberi beratap. Di dalam sampan dibawalah segala hasil bumi antara lain “Terong masam”, “Mentimun mansam”, “Labu Perenggi”, kadang “Gaharu” dan “Madu”. Seorang setengah baya milir dari “tanah ulu” dengan muatan tersebut di atas bernama “CALI’”.
Sampai di ibu kota kabupaten sebelum membongkar muatan di pasar untuk diperdagangkan, si CALI’ jalan jalan ke toko-toko yang berderet di sepanjang sungai di ibu kota kabupaten. Toko-toko banyak milik orang China yang buka dagangan macam-macam, dari mulai barang kelontong, sampai sembako dan juga ada warung kopi yang menjual “Roti kaye” dan “Blodar” serta menyediakan “kopi pancong”. Setiap dia mampir ke toko China untuk sekedar liat-liat, selalu di sapa china yang punya toko: “Ape Cali’” maksudnya dalam bahasa Indonesia “apa yang anda cari”  karena orang china dulu menuturkan “Cari” tidak bisa mengucapkan “R” jadi keluarnya Cari menjadi “Cali’”. Sedang “Cali’ “ adalah nama diri tokoh dalam kisah kita ini yang membawa hasil bumi dari “tanah ulu”.
Pikir si “Cali’ “ aneh semua china di kota kabupaten ini kenal dengan dia maka setiap disapa dengan “Ape Cali’ “, diapun menyahut “Tang konal jaam Tokai”. Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesianya “Oh bos mengenal saya rupanya”.  Suatu kebiasaan yang tidak tertulis di wilayah kami orang Dayak jika saling kenal, urusan niaga tidak lagi menjadi penting. Suasana kekeluargaan harus dibina dengan saling beri memberi. Langsung dia pulang ke perahunya diambilnya beberapa buah “Terong masam”, beberapa buah “Mentimun mansam”, “Labu Perenggi”,  diantarnya ke toko China yang diduganya kenal dengan dia tersebut. Kecuali barang yang nilainya tinggi seperti “Gaharu dan Madu”. Saking banyaknya toko yang “kenal dengannya” dalam tanda kutip, sampai seluruh hasil bumi yang dibawanya itu habis untuk diberikan cuma-cuma di toko-toko. Tentu senang si empunya toko menerima pemberian tersebut, kebetulan jenis buah ini, buah musiman yang di ibu kota kabupaten tidak ditanam orang lantaran hasil ikutan tanaman padi di lahan tadah hujan yang di kota tidak ada.
Setelah penjualan “Gaharu” dan “madu” selesai, pak Cali’ menyiapkan belanja untuk dibawa pulang ke tanah ulu. Setiap toko yang pernah diantarinya hasil bumi ia sempatkan mampir dan berpamit akan mudik ke tanah hulu disebut harinya. Si toke yang punya toko menanggapi pamit si Cali’ dengan biasa-biasa saja tanpa memberikan sesuatu sebagai balasan. Padahal sampai babis “Mentimun Mansam, Terong masam dan Labu perenggi”  satu perahu tanpa dijual, ternyata tidak mendapatkan pembalasan dari toke china yang punya toko. Pulanglah si Cali’ dengan penuh keheranan. Kerena kelazimannya bila memberikan sesuatu ketika datang,  waktu pulang sebaliknya yang diberi punya pengertian untuk membekali pulang barang sesuatu sebagai balasan. Nyangoni kata orang jawa, biasanya balasannyapun berwujut barang juga.
Mungkin pembaca mengalami yang seperti dialami teman saya dari NTB dan pak Cali’ zaman doeloe di bawah tahun enam puluhan. Zaman itu hubungan antar manusia belum teramat materialistis. Kini ketika hubungan manusia sudah semakin terjalin atas kepentingan. Namun mungkin anda masih termasuk orang yang tetap mengedepankan pelayanan teman berkunjung ke kota anda, nginap dirumah anda, anda layani dengan se baik-baiknya, namun ketika anda berkunjung ke kota mereka anda dilayani dengan “hambar”.
Guna menghindari kekecewaan anda bila menemukan hal seperti itu, maka ketika meladeni tamu yang berkunjung bahkan sampai menginap dirumah anda niatkanlah sebagai ibadah karena menghormati tamu adalah sebagian dari tanda orang beriman. Patut disimak hadits berikut ini:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يومن بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. H.R Bukhari no. 6018, Muslim no. 47
Niatkan bahwa memberikan layanan kepada tamu untuk mencari keredhaan Allah semata, tidak mengharapkan balasan dari tamu yang kita layani itu. Karena jika kebaikan kita itu landasannya ingin pembalasan dari manusia, percayalah bahwa berujung kita akan kecewa. Tapi kalau dengan keyakinan pembalasan datang dari Allah, kalau tidak di dunia pasti nanti di akhirat, maka kita tidak akan pernah kecewa bila kebetulan tamu yang pernah kita layani dalam kondisi yang dapat melayani kita, tetapi dia tidak membalas kebaikan kita. Syaratnya jangan pula kita mengumpat dan menyebut-nyebut kebaikan yang pernah kita lakukan, sementara ketika kita berkunjung dia tidak membalas. Terimalah keadaan itu dan berdo’alah agar Allah tidak menjadikan didalam hati kita perasaan kecewa atas balasan yang tidak baik dari tamu yang kita pernah layani dengan baik. Semoga Allah memberikan pembalasan yang berlipat ganda. Amien.



Friday 6 July 2012

PENCURI, PEJABAT DAN KORUPTOR VS ALQUR’AN

Entah dari mana asal usulnya, sejak kapan dimulainya seseorang (beragama Islam) bila diangkat menjadi pejabat disumpah dengan menjunjung Al-Qur’an. Termasuk Presiden Soekarno ketika diangkat menjadi presiden pertama R.I. disumpah dengan di atas kepala beliau seseorang pemuka agama Islam memegang Al-qur’an. Itu barangkali sebabnya seluruh pejabat negeri ini bila diangkat jadi pejabat disumpah, dikepalanya dinaungkan Al-Qur’an. Mungkin saking banyaknya pejabat dinegeri ini yang disumpah untuk menyandang jabatannya, sehingga Al-Qur’an begitu banyak dicetak dan itu rupanya jadi proyek buat kalangan pejabat terkait sebagai lahan korupsi penggandaan Al-Qur’an.
Telah kucari beberapa referensi, belum kuperoleh hadist apalagi ayat Al-Qur’an bahwa bersumpah dalam agama Islam dengan menjunjung Al-Qur’an. Sejauh ini sepanjang yang kuketahui bahwa agama Islam tidak mengajarkan untuk bersumpah menyandang jabatan dengan menjunjung atau di atas kepala dinaungi Al-Qur’an. Mungkin lantaran belum mendalamnya aku masuk di samudera ilmu agama Islam yang begitu luas.
Ada kemungkinan penggagas sumpah jabatan dikepala dinaungi Al-Qur’an mengambil tamsil, bahwa dengan menjunjung Al-Qur’an, si tersumpah akan menepati redaksi sumpahnya, agar si tersumpah mematuhi hukum-hukum yang diatur di dalam Al-Qur’an. Si tersumpah agar tidak berani melanggar sumpah sebab akan mendapat laknat Allah pemilik Al-Qur’an.
Saking tak berani kalau-kalau kewalat Al-Qur’an kerena yakin bahwa bagaimanapun di Republik ini seseorang hampir pasti tidak akan sanggup untuk memenuhi sumpah, pasti akan dilanggar redaksi sumpah itu. Pernah terjadi seorang pejabat yang cukup kreatif,  berihtiar menurut pemahamannya. Beberapa hari sebelum sumpah jabatan diupacarakan, dia mencari tau dan menghubungi petugas yang akan bertugas memegang Al-Qur’an di atas kepalanya nanti pada saat disumpah. Usahanya berhasil, dia ketahui pertugas tersebut, selanjutnya mengirim utusan ke petugas dengan diberikan imbalan.  Diminta kepada petugas untuk membungkus Al-Qur’an yang akan digunakan untuk upacara sumpah dengan bungkus “aluminium foil”. Si tersumpah dengan tenang mengucapkan sumpahnya, sebab tidak hawatir lagi kewalat, sebab bahasa sumpahnya diyakininya tidak menyentuh Al-Qur’an yang sudah terisolasi dengan bungkus “aluminium foil”.
Memang di negeri ini begitu hormatnya kita orang muslim terhadap “kitab Al-Qur’an”, tingkat penghomatan kita terhadap “kitab Al-Qur’an” melebihi saudara kita sesama muslim di tanah suci. Saya pernah menyaksikan sendiri di tempat percetakan kitab Al-Qur’an di tanah suci. Ketika seseorang memesan sebuah Al-Qur’an petugas yang memakai gamis itu menyerahkan ‘Kitab Al-Qur’an dengan meluncurkannya di atas etalase kaca tempat mamajang Al-Qur’an di lokasi pencetakan tersbut. Bangsa kita tidak terbiasa memperlakukan Al-Qur’an seperti itu, sedari kecil kita bila selesai bejar mengaji, menyimpan kitab Al-Qur’an dengan menjunjungnya, membawanya dengan penuh hormat dan sebelum diletakkan ditempat penyimpanan, kitab Al-Quran dicium.
Dulu dikampungku masih banyak pemandangan di rumah-rumah orang, tergantung kitab Al-Qur’an di atas kusen pintu utama. Belakangan ini sudah tidak nampak lagi, berkat da’wah para Da’i. Masyarakat awam waktu itu memperlakukan “kitab Al-Qur’an”, sebagai penangkal bahaya, penolak bala, menjauhkan kediaman dari pengaruh roh jahat dan mahluk halus. Ketika itu belum banyak penyuluhan para ustadz seperti sekarang ini, bahwa yang penting pada Al-Qur’an bukan bukunya, tetapi petunjuk yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu Al-Qur’an saharusnya dibaca, dikaji maknanya, direalisasikan dalam kehidupan petunjuk yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an jangan diperlakukan layaknya seperti azimat di kepercayaan sebelum datang agama tauhid.
Pernah dikisahkan guruku mengaji, tentang bagaimana masyarakat dulu menghormati Al-Qur’an. Di sautu malam yang pekat di sebuah dusun, tengah beroperasi dua orang anak manusia yang kerjanya menajadi maling. Seorang diantaranya bertugas menyunggi*) kawannya untuk naik ke jendela orang yang rumahnya akan disatroni. Rumah didusun itu rumah panggung, untuk sampai ke jendela, seorang tidak dapat langsung, harus pakai tangga atau di sunggi*)  oleh orang lain. Singkat cerita maling tersunggi* berhasil menemukan jendela dan karena memang profesional langsung dapat membuka grendel daun jendela. Dengan cermat diapun masuk, ditemukannya persis didepan jendela sebuah rak dan langsung dirabanya dengan hati-hati agar tidak menerbitkan bunyi. Betapa kagetnya dia bahwa tangannya langsung terpegang ke sebuah kitab dan ternyata di keremangan lampu templok  yang nempel disisi kusen jendela diketahuinya bahwa kitab tersebut adalah “kitab Al-Qur’an. Seperti ada kekuatan dari dalam yang menciutkan hatinya, membuatnya gemetar dan langsung memberi kode temannya untuk siap memasang badan untuk menyungginya* buat turun dari rumah itu. Temannya ditanahpun langsung siap dan akhirnya ia turun. “Mengapa turun cepat, sudah berhasil”, desis temannya. “Oke kita pergi saja dari sini cepat nanti kuceritakan”, jawab maling bertugas sebagai ujung tombak tersebut. Sesampai di tempat aman diceritakannya bahwa ia masuk rumah tersebut terpegang ke “kitab Al-Qur’an” kalau kita teruskan akan berbahaya gumamnya. Temannyapun diam tidak berkomentar lagi.
Dari kisah guru ngajiku ini, aku teringat dengan peristiwa belakangan ini, di mana orang sekarang lebih berani dari orang zamanku masih kecil belum berkhitan. Karena istiadat dikampungku, kalau belum hatam mengaji kami tidak dikhitan orang tua, mungkin untuk memotivasi. Jadi usia waktu itu masih belum tamat SR (Sekolah Rakyat). Orang di zaman itu takut dengan Al-Qur’an, jangankan orang biasa, maling saja takut dengan Al-Qur’an. Kini orang berdasi, berpendidikan tinggi, mengerti agama dan konon di Kementerian agama serta di parlemen yang membidangi agama, benar-benar tidak takut lagi dengan Al-Qur’an. Berani korupsi dengan media/sarana Al-Qur’an. Masih kita hargai maling yang takut Al-Qur’an ketimbang anggota parlemen dan uknum kementeraian agama yang sudah tidak takut lagi dengan Al-Qur’an. Masih kita hargakan pejabat yang minta isolasikan Al-Quran untuk sumpah, tandanya ia masih takut dengan Al-Qur’an daripada koruptor Al-Qur’an. Bagaimana hukuman Allah untuk mereka yang terlibat korupsi Al-Qur’an Allah lah yang lebih mengetahuinya.
*keterangan: Sunggi (seseorang menyediakan bahunya untuk tempat berpijak seseorang yang lain guna mencapai ketinggian seperti adegan dalam panjat pinang di acara memeriahkan hari proklamasi)