Lagu “Nina Bobok”, banyak dipakai oleh ibu-ibu mendendangkan anaknya menuju tidur. Mulai lagu itu dipopulerkan entah tahun berapa, tetapi sejak saya esempe sudah pernah mendengar lagu itu. Lagu ini tidak diketahui siapa penciptanya, tetapi yang jelas ciptaan orang Indonesia. Dimohon kepada pihak pemerintah yang berkenaan dengan soal cipta-mencipta, cepat-cepat amankan bahwa ini lagu punya bangsa Indonesia, kalau lengah ntar di klaim ciptaan encik atau puan dari negara jiran.
Di kampung kelahiranku, kuingat ada kebiasaan baik, ibu-ibu membuai anaknya atau nenek-nenek membuaikan cucunya, yaitu dengan berdendang sambil melambung-lambungkan ayunan si bayi dalam ayunan, gerakan maju, si ayunan mundur sendiri. Bayi berumur bulanan sampai tiga tahunan di komunitas kami dulu ditidurkan siang hari dalam ayunan ada yang dibaringkan ada yang didudukkan.
Ayunan disiapkan dari kain sarung atau kain panjang yang dihubungkan dengan tali digantung di kasau tiang rangka atap. Kalau dibaringkan, setelah perangkat ayunan siap si bayi dibaringkan dan mulailah mendorong ayunan.
Dalam hal didudukkan, bahasa daerah kami “dipukung” si bayi didudukkan dalam ayunan, kain ayunan dibungkuskan ke si bayi, kaki bayi dilunjurkan, bagian badan bayi yang sudah terbungkus kain ayunan tadi diikat dengan stagen melilit tubuh bahu sampai ke dada. Jadi yang terbuka hanya bagian muka. Gerakan melambungkan ayunan juga dengan mendorong maju, kemudian siayunan mundur sendiri. Kelebihan “dipukung”, bila si bayi sudah tertidur ibu atau nenek yang menidurkan dapat meninggalkan bayi dengan aman, tidak dikhawatirkan si bayi jatuh meluncur dari ayunan kalau nanti tiba-tiba ia terbangun, dapat terjadi dengan hanya dibaringan. Biasanya si pemomong bayi setelah bayi tidur pengerjakan pekerjaan lain, seperti memasak di dapur atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya dan bahkan pergi ke ladang.
Mengantarkan si bayi tidur si ibu atau si nenek atau siapa saja yang mengayunkan si bayi dalam buaian berdendang dengan lirik-lirik yang cukup menarik. Saya simak lirik-lirik itu ketika saya masih di kampung dulu, setelah saya ingat sekarang, sungguh lirik tersebut syarat bermuatan pesan moral. Lama saya ingat ingat syair yang didendangkan itu, tapi hanya kudapat pesan-pesannya saja yaitu antara lain:
• Semoga lekas besar, nanti akan diserahkan mengaji
• Mengaji membekali diri dengan iman
• Sebagai manusia nanti harus menguasai ketrampilan bela diri
• Harus jujur dan amanah
• Diharapkan menjadi pemimpin
• Berlaku baik dengan siapa saja
• Mengharumkan nama keluarga berguna bagi nusa bangsa
Memang si bayi belum tau apa-apa selain menangis, ketika mulai didendangkan dalam buaian itu, tetapi sebagai anak manusia, yang otaknya mulai merekam setiap apa yang didengarnya, mengingat apa yang dilihat dan dirasakannya. Tentu pesan-pesan moral ini akan membekas di sanubarinya, dan akan menjadi patrun peri lakunya setelah berangkat menjadi orang dewasa.
Di dalam kesemptan kunjunganku kekampung kelahiranku Juni 2012, kudatangi salah seorang saudaraku, anak dari saudara ibuku yang sudah berumur 80 tahunan lebih dan masih segar. Kuingat saudaraku ini punya anak dan cucu lumayan banyak berjumlah. Kuingat pula saudaraku inilah yang sering mendendangkan anaknya sampai giliran ke cucunya dalam “pukungan”. Kepada saudaraku ini kuminta bait-bait syair yang pernah didendangkannya masa lalu itu. Syukurnya beliau masih ingat beberapa bait syair tersebut dan selanjutnya bersamanya kuselaraskan sehingga selengkapnya sebagai berikut:
Lekaslah besar anakku ini
Akan kuserahkan belajar mengaji
Kelak memimpin dikampung ini
Agar penduduk menjadi berbaik budi
Setelah mengaji terbentuk iman
Ke guru silat kau kan kuserahkan
Bela diri sekaligus menjaga kebugaran
Juga menegakkan keadilan dan kebenaran
Kepada yang tua kau harus hormat
Kepada teman jangan kau berkhianat
Kepada guru hendaklah kau taat
Ke kedua orang tua harus berkhidmat
Bergunalah kau bagi nusa dan bangsa
Penerus cita-cita nenek moyang kita
Agar negeri ini segera makmur sentosa
Kehidupan terhindar dari miskin dan papa
Sikap jujur dan berani modal hidupmu
Kunci pembuka jalan rezeki sejak dahulu
Jangan mudah tercumbu bujuk dan rayu
Untuk curang, ambil hak orang atau menipu
Bila diberi amanah janganlah curang
Agar dirimu dapat dipercaya orang
Walau godaan harta datang merangsang
Hindari anakku itu hal sangat terlarang
Rajin bekerja warisan kita punya leluhur
Semangatmu tinggi janganlah kendur
Menerima tantangan berpantang mundur
Lihatlah semut tak seeokorpun menganggur
Kelak dalam kau hidup berjuang
Ikutilah falsafah pohon pisang
Biar bagaimanapun tak akan tumbang
Kecuali setelah berbuah, lantas ditebang
Modal utama berhandai taulan
Sopan santun dalam pergaulan
Jangan remehkan teman dan kawan
Silang sengketa harus dihindarkan
Kelak setelah engkau dewasa
Jadi apa saja boleh, asal bertaqwa
Mengharumkan nama seluruh keluarga
Semogalah nanda bahagia bunda berdo’a
Bait-bait syair ini didendangkan bukan seperti pantun, tetapi dengan berlagu mendayu-dayu, tapi bukan seperti lantunan lagu dang dut, tidak pula seperti lagu-lagu Indonesia populer. Nadanya agak monotun tekanan pada kata terakhir setiap baris dan berjeda sebentar dilanjutkan baris berikutnya. Namun tidak sama dengan mendendangkan lagu “Nina Bobok”.
Kreasi budaya seperti ini patut dilestarikan, agar tidak punah dalam khasanah budaya kita, tetua kita dulu menciptakan ini bukan tidak dengan pemikiran jauh kedepan untuk generasi penerusnya agar menjadi anak bangsa yang berkualitas. Sejalan dengan pesan Rasulullah Muhammad s.a.w. “Udlubul ilma mahdi ilal lahdi”. “Menuntut ilmu sejak buaian sampai ke liang lahat”. Tetua dulu memberikan motivasi berupa harapan do’a ke bayinya mulai sejak dari buaian. Bagiamana dengan kita sekarang ???
Di kampung kelahiranku, kuingat ada kebiasaan baik, ibu-ibu membuai anaknya atau nenek-nenek membuaikan cucunya, yaitu dengan berdendang sambil melambung-lambungkan ayunan si bayi dalam ayunan, gerakan maju, si ayunan mundur sendiri. Bayi berumur bulanan sampai tiga tahunan di komunitas kami dulu ditidurkan siang hari dalam ayunan ada yang dibaringkan ada yang didudukkan.
Ayunan disiapkan dari kain sarung atau kain panjang yang dihubungkan dengan tali digantung di kasau tiang rangka atap. Kalau dibaringkan, setelah perangkat ayunan siap si bayi dibaringkan dan mulailah mendorong ayunan.
Dalam hal didudukkan, bahasa daerah kami “dipukung” si bayi didudukkan dalam ayunan, kain ayunan dibungkuskan ke si bayi, kaki bayi dilunjurkan, bagian badan bayi yang sudah terbungkus kain ayunan tadi diikat dengan stagen melilit tubuh bahu sampai ke dada. Jadi yang terbuka hanya bagian muka. Gerakan melambungkan ayunan juga dengan mendorong maju, kemudian siayunan mundur sendiri. Kelebihan “dipukung”, bila si bayi sudah tertidur ibu atau nenek yang menidurkan dapat meninggalkan bayi dengan aman, tidak dikhawatirkan si bayi jatuh meluncur dari ayunan kalau nanti tiba-tiba ia terbangun, dapat terjadi dengan hanya dibaringan. Biasanya si pemomong bayi setelah bayi tidur pengerjakan pekerjaan lain, seperti memasak di dapur atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya dan bahkan pergi ke ladang.
Mengantarkan si bayi tidur si ibu atau si nenek atau siapa saja yang mengayunkan si bayi dalam buaian berdendang dengan lirik-lirik yang cukup menarik. Saya simak lirik-lirik itu ketika saya masih di kampung dulu, setelah saya ingat sekarang, sungguh lirik tersebut syarat bermuatan pesan moral. Lama saya ingat ingat syair yang didendangkan itu, tapi hanya kudapat pesan-pesannya saja yaitu antara lain:
• Semoga lekas besar, nanti akan diserahkan mengaji
• Mengaji membekali diri dengan iman
• Sebagai manusia nanti harus menguasai ketrampilan bela diri
• Harus jujur dan amanah
• Diharapkan menjadi pemimpin
• Berlaku baik dengan siapa saja
• Mengharumkan nama keluarga berguna bagi nusa bangsa
Memang si bayi belum tau apa-apa selain menangis, ketika mulai didendangkan dalam buaian itu, tetapi sebagai anak manusia, yang otaknya mulai merekam setiap apa yang didengarnya, mengingat apa yang dilihat dan dirasakannya. Tentu pesan-pesan moral ini akan membekas di sanubarinya, dan akan menjadi patrun peri lakunya setelah berangkat menjadi orang dewasa.
Di dalam kesemptan kunjunganku kekampung kelahiranku Juni 2012, kudatangi salah seorang saudaraku, anak dari saudara ibuku yang sudah berumur 80 tahunan lebih dan masih segar. Kuingat saudaraku ini punya anak dan cucu lumayan banyak berjumlah. Kuingat pula saudaraku inilah yang sering mendendangkan anaknya sampai giliran ke cucunya dalam “pukungan”. Kepada saudaraku ini kuminta bait-bait syair yang pernah didendangkannya masa lalu itu. Syukurnya beliau masih ingat beberapa bait syair tersebut dan selanjutnya bersamanya kuselaraskan sehingga selengkapnya sebagai berikut:
Lekaslah besar anakku ini
Akan kuserahkan belajar mengaji
Kelak memimpin dikampung ini
Agar penduduk menjadi berbaik budi
Setelah mengaji terbentuk iman
Ke guru silat kau kan kuserahkan
Bela diri sekaligus menjaga kebugaran
Juga menegakkan keadilan dan kebenaran
Kepada yang tua kau harus hormat
Kepada teman jangan kau berkhianat
Kepada guru hendaklah kau taat
Ke kedua orang tua harus berkhidmat
Bergunalah kau bagi nusa dan bangsa
Penerus cita-cita nenek moyang kita
Agar negeri ini segera makmur sentosa
Kehidupan terhindar dari miskin dan papa
Sikap jujur dan berani modal hidupmu
Kunci pembuka jalan rezeki sejak dahulu
Jangan mudah tercumbu bujuk dan rayu
Untuk curang, ambil hak orang atau menipu
Bila diberi amanah janganlah curang
Agar dirimu dapat dipercaya orang
Walau godaan harta datang merangsang
Hindari anakku itu hal sangat terlarang
Rajin bekerja warisan kita punya leluhur
Semangatmu tinggi janganlah kendur
Menerima tantangan berpantang mundur
Lihatlah semut tak seeokorpun menganggur
Kelak dalam kau hidup berjuang
Ikutilah falsafah pohon pisang
Biar bagaimanapun tak akan tumbang
Kecuali setelah berbuah, lantas ditebang
Modal utama berhandai taulan
Sopan santun dalam pergaulan
Jangan remehkan teman dan kawan
Silang sengketa harus dihindarkan
Kelak setelah engkau dewasa
Jadi apa saja boleh, asal bertaqwa
Mengharumkan nama seluruh keluarga
Semogalah nanda bahagia bunda berdo’a
Bait-bait syair ini didendangkan bukan seperti pantun, tetapi dengan berlagu mendayu-dayu, tapi bukan seperti lantunan lagu dang dut, tidak pula seperti lagu-lagu Indonesia populer. Nadanya agak monotun tekanan pada kata terakhir setiap baris dan berjeda sebentar dilanjutkan baris berikutnya. Namun tidak sama dengan mendendangkan lagu “Nina Bobok”.
Kreasi budaya seperti ini patut dilestarikan, agar tidak punah dalam khasanah budaya kita, tetua kita dulu menciptakan ini bukan tidak dengan pemikiran jauh kedepan untuk generasi penerusnya agar menjadi anak bangsa yang berkualitas. Sejalan dengan pesan Rasulullah Muhammad s.a.w. “Udlubul ilma mahdi ilal lahdi”. “Menuntut ilmu sejak buaian sampai ke liang lahat”. Tetua dulu memberikan motivasi berupa harapan do’a ke bayinya mulai sejak dari buaian. Bagiamana dengan kita sekarang ???