Friday 24 February 2012

PiLU MENDENGAR KAMPANYE PEMILU

Sebagian bapak penghadir di suatu ceramah, tak tahan membendung air matanya karena terharu. Satu-satu mengeluarkan saputangan menyeka mata mereka masing-masing. Sementara si pembicara tetap saja meneruskan presentasinya, tidak merasa terganggu atas sebagian hadirin “manula” merespon ceramahnya dengan menyeka mata. Bahkan ada juga yang cegugukan menangis pilu menunduk bersembunyi diposisi pojok.
Antara lain isi pidato tamu dari kota itu adalah: “Kita harus dapat memilih wakil-wakil kita yang duduk di lembaga legislatif yang representatif dan mampu membawakan aspirasi konstituennya. Bila wakil-wakil kita mayoritas di lembaga legislatif, akan mampu memberikan dukungan kepada pihak eksekutif sehingga dapat menjalankan roda pemerintahan dengan effektif”.
Tamu dari kota berkunjung di suatu desa sebagai tamu pak lurah itu, rupanya adalah JURKAM salah satu kontestan PEMILU,......yaa....... sudah era reformasi. Pak lurah mengerahkan penduduk kampung untuk mendengarkan kampanye. Dipilihlah waktu sesudah Isya dan dilaksanakan di ruang kelas bangunan SD setempat dengan penerangan lampu petromak. Agar lebih banyak dapat menampung pengunjung, tiga kelas dibuka sekatnya sehingga menjadi satu ruangan. Pengeras suara pakai inventaris kelurahan dengan tenaga Aki, lumayan lantang kedengaran bukan saja di ruangan, juga sampai ke telinga penduduk sekitar sekolahan dikeheningan malam di desa. Lazim sudah, janjipun diucapkan bahwa “kalau partainya menang desa akan terang benderang oleh listrik”.
Biasalah, istiadat penduduk desa kita di mana saja di tanah air Indonesia ini, sangat-sangat memuliakan tamu. Apalagi orang dari kota, ingin melihat dan ingin jabat tangan ingin mendengarkan apa yang akan diomongkannya. Ala kadarnya mesti disiapkan sekedar makanan, paling tidak makanan kecil. Tapi karena itu orang tamu pak lurah dan kebetulan desapun belum lama panen. Maka diacarakan sesudah mendengarkan ceramah akan makan bersama hadirin yang diundang. Pak lurah sungkan juga kalau tidak menyediakan makan malam sekalian, karena si tamu ada juga sedikit ngasih sumbangan buat kas desa (bukan money politik). Jadi itu duit sekalian digunakan untuk konsumsi.
Pak Jurkam diam-diam rupanya terselip juga dihatinya menyaksikan beberapa bapak tua terharu ketika ia bicara tadi. Dia rasa pembicaraannya tidak ada yang menyedihkan, penuh semangat, sesekali dengan mengacung-ngacungkan tangan ke atas dengan telunjuk dan kepalan. Tapi kenapa itu beberapa bapak tua menangis. Soal petromak hanya disinggung janji akan diganti listrik, bukan menyinggung/mencela mengapa kalau hanya mampu pakai petromak. Apakah mereka tau bahwa janji memasangkan listrik buat desa hanya “janji kampanye”, setelah itu tak ada ujungnya.
Selesai ceramah, dan mulai makan malam diatur “empat setalam” *), pak lurah dengan sang pembicara di talam yang sama dengan dua orang lainnya yaitu sekretaris desa dan satu lagi dari rombongan tamu. Talam lain wakil lurah dengan tamu rombongan dan seterusnya tetua masyarakat sesuai ketuaan dan herarkhi desa. Aturan ini sudah otomatis jalan dengan sendirinya ketika makanan dihidangkan.
Keterangan:
*)Talam adalah tempat menghidangkan makanan, di dalamnya sudah lengkap seperangkat nasi serta lauk pauknya. Menyantap makanan tanpa sendok garpu, tersedia “kobokan (tempat air cuci tangan). Dihidangkan di lantai di atas tikar, setiap talam dilingkari oleh empat orang, duduk bersila, makanya diistilahkan “empat setelam”. Talam dikeluarkan oleh tuan rumah ketika acara makan akan dimulai. Jadi ketika ceramah tidak terlihat makanan.

Sambil menyantap makanan pembicara pun berbisik ke pak lurah: “Maaf pak kalau pembicaraan saya tadi menyinggung perasaan sebagian bapak-bapak tadi yang saya lihat menangis”. Pak Lurah: “Memang pak, beberapa Bapak tadi terharu dan pilu mendengar pidato Bapak, mereka bukannya tersinggung”. Tambah penasaran si “agitator” dalam hatinya apa yang membuat terharu, sedang dia bicara berapi-api. Pembicara penasaran bertanya lagi: “Tentang apa pak lurah kalau boleh saya tau mereka terharu”. Pak lurah menjelaskan: Bahwa di desa ini pernah ada seorang “tuan guru” (seorang panutan yang disegani karena pengetahuan yang tinggi di bidang agama), telah lama meninggal kira-kira limabelas tahun yang silam. Si tamu dari kota itu makin penasaran mendesak pak lurah kepingin tau: “Apa pembicaraan saya tadi ada yang menyinggung “tuan guru” tersebut. Kejar si pembicara. Oh ....Tidak........... tidak, kata pak lurah meyakinkan. “Lalu apa pak lurah”, lanjut pembicara. Dengan sabar pak lurah menjelaskan: “Tuan guru yang sangat dihormati itu bernama ABDUL LATIF”, “Lantas apa hubungan dengan kampanye saya tadi pak lurah”. Tanya sang Jurkam. Pak lurah meneruskan ceritanya: “Dikira bapak tua-tua yang pada nangis itu Bapak kenal akrab dengan tuan guru mereka, sebab Bapak menyebut-nyebut =LEGISLATIF, EKSEKUTIF, RESPRESENTATIF dan EFFEKTIF= dalam pidato Bapak. Ingatan mereka tergugah kepada mendiang “tuan guru” mereka “Abdul Latif”. Apalagi ada tambahan Bapak menyebut-nyebut mayoritas, dikira mereka, bapak juga kenal anak “tuan guru”. dulu berpangkat sersan mayor putra daerah sini yang gugur dalam pertempuran zaman konfrontasi.
Oooh begitu,....... sambil mangguk-mangguk sang tamu sebagai Jurkam tadi merespon keterangan pak lurah. Ternyata para bapak tua tadi tidak paham arti legislatif, eksekutif, respresentatif dan effektif.
Malamnya Jurkam masih harus bermalam di rumah pak lurah, sebab besok siang baru ada tumpangan ke kota dengan perahu bermotor. Sebelum tidur si Jurkam mulai memikirkan nanti kalau kampanye lagi di pedesaan lain seperti ini, harus disesuaikan istilah-istilah yang diperkirakan kurang mengerti maksudnya. Misalnya legislatif diganti menjadi “anggota DPR”. Eksekutif mungkin cocok diterjemahkan menjadi pemegang kendali pemerintahan. Respresentatif agaknya mendekati arti dapat dipercaya dan effektif tak akan jauh kalau diterjemahkan menjadi: tepat, mengena, berhasil guna yang lebih tinggi. Mayoritas akan diterjemahkan dalam jumlah yang lebih banyak dari partai lain.
Cuma masalah janji, sulit juga nanti kalau benar benar menang, apa betul-betul listrik akan jadi terang benderang di desa yang penduduknya lugu itu. Oh itu perkara nanti pikirnya yang penting menang dulu, si Jurkam menentramkan dirinya sendiri.






Monday 20 February 2012

SAKSI

Saksi begitu pentingnya dalam menegakkan keadilan. Sebagian Da’i sering menceramahkan tentang seorang Ali bin Abi Thalib sebagai kepala pemerintahan, suatu saat pernah kalah dalam pengadilan yang digelar justru di era kepemerintahannya. Baju besi kepunyaannya berada ditangan seorang Yahudi. Ketika dibawa ke mahkamah lantaran ia tidak mempunyai saksi “kuat”, walau dapat menunjukkan dengan tepat ciri-ciri itu barang, dan mengajukan dua orang saksi yaitu Qunbur (budak beliau) dan anak beliau Hasan bin Ali, namun hakim bernama Syuraih, memutuskan baju besi itu tetap milik pemegang terakhir. Saksi anak sendiri tidak memenuhi syarat dalam perkara seperti itu. Hikmahnya justru dengan kemenangan berperkara itu si Yahudi pemilik terakhir baju besi itu tertarik dengan keadilan yang tegak oleh pengadilan Islam. Si Yahudi mengakui sesudah pengadilan usai, bahwa baju besi itu memang milik sang Khalifah. Kekagumannya dengan sistem pengadilan Islam yang tidak memihak, betul-betul tegak berdasarkan teknik pemutusan perkara, walaupun yang berperkara antara pembesar dengan rakyat yang beda agama pula, akhirnya ybs. masuk agama Islam. Belakangan memang saya ada membaca bahwa riwayat tersebut dinilai bathil Oleh Syaikh Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, setelah beliau menelaah kitab Al-Abathil karya Al-Jauzaqani, di mana beliau menyebutkan kisah ini di dalamnya sebagai kisah yang bathil.
Al-Jauzaqani menyebutkan dalam kitab Al-Abathil (2/197), beliau mengatakan, “Ini adalah riwayat yang bathil (tidak benar). Abu Sumair seorang yang haditsnya mungkar, meriwayatkannya seorang diri… dst”. Ibnu Jauzi menyebutkannya dalam Al-Ilalul Mutanahiah (2/388) di mana beliau menyatakan hal yang senada dengan yang ditulis Al-Jauzaqani. Imam Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam Miizanul I’tidal ketika beliau mengemukakan biografi Abu Sumair Hakim bin Khidzam ini –yang dalam Al-Hilyah dan Al-Abathil disebutkan, Hizam (dan bukan Khidzam)- Beliau juga mengatakan bahwa Abu Hatim berkata, “Sesungguhnya Abu Sumair ditinggalkan haditsnya”. Dengan demikian diketahui bahwa kisah ini sangat dha’if (lemah, tidak kuat) ditinjau dari jalur Abu Sumair Hakim bin Khidzam.
Terlepas dari dha’if atau shahih riwayat tersebut, yang jelas ini bukan terjadi di zaman Rasulullah Muhammad s.a.w. masih hidup, sudah periode khalifah yang ke empat. Filosofi yang dapat diambil dari kisah ini adalah bahwa penerus-penerus risalah Islam sesudah para khalifah berupaya untuk memberikan motivasi kepada penegak hukum, bahwa hukum Islam harus ditegakkan dengan adil, tidak memihak kepada yang berkuasa sekalipun. Mungkin ini latar belakang riwayat ini dirilis, guna diteladani penegak hukum dan saksi. Di riwayat, contoh ekstrim seorang kepala pemerintahan kalah dalam berperkara hanya tidak punya saksi yang sesuai “aturan kesaksian memutuskan perkara dalam Islam”. Untuk perkara seperti di atas harus dua orang saksi laki-laki, saksi perempuan harus empat orang atau seorang lelaki dua orang perempuan, tidak diterima saksi dari anak sendiri. Untuk perkara perzinahan harus empat orang saksi.
Saksi haruslah adil dan berkata sebenarnya bahkan untuk perihal kesaksian Allah s.w.t. mengajarkan langsung dengan ayat Al-qur’an diantaranya di dalam surat Annisa ayat 135.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Pada pengadilan di negeri ini yang dipertontonkan belakangan, sering terlihat bahwa saksi memutar balikkan keadaan yang sebenarnya, tidak sejujurnya bersaksi. Beberapa hakim dan penegak hukum juga dikabarkan oleh media ada oknum yang menyalah gunakan wewenang mereka. Apakah bangsa ini harus impor penegak hukum dari luar negeri, seperti halnya kita impor garam, impor kedele dan bahkan terakhir impor ikan. Dulu pernah ada film seorang penegak hukum di China namanya Judge Bow, mungkin yang macam itu perlu di impor.
Kembali ke soal saksi. Nabi Muhammad s.a.w. pernah berkata: “Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya (yang dusta), maka sesungguhnya Allah mewajibkan baginya masuk neraka dan mengharamkan baginya syurga.” Seseorang bertanya: “Sekalipun terhadap sesuatu yang remeh ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “(Ya), sekalipun sebatang kayu arak (yang digunakan untuk bersiwak).” (HR. Muslim).
Dalam ayat lain Allah s.w.t. memberitahukan di dalam Alqur’an: “Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu diantaramu yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya dan kamu rasakan kemelaratan (didunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan bagimu azab yang besar.” (QS. An-Nahl :94).
Himbauan buat para saksi, bersaksilah dengan benar, sadarilah bahwa hukum di dunia jauh lebih ringan dibanding hukum akhirat. Anda dapat berlindung di dunia ini dengan berbagai teknik termasuk kebohongan, tetapi di akhirat tidak ada yang dapat berbohong lagi sebab yang menjadi saksi adalah seluruh anggota badan sendiri, kita banyak dapatkan informasi tentang hal itu di dalam ayat-ayat kitab suci berbagai agama. Hukuman di dunia terukur relatif singkat, sesingkat hidup ini, sedangkan hukuman akhirat kekal tak berkesudahan. Coba contoh negara lain, seorang Presiden saja mengakui kesalahannya ketika tersiar tentang dirinya berselingkuh. Baru-baru ini Persiden Jerman undur diri karena ditenggarai melakukan sesuatu yang tidak patut menurut norma negara pemeran utama perang dunia kedua itu.
Cobalah renungkan yang agak mendalam, akan kehidupan ini benar-benar hanya sebentar, tidak ada orang yang akan hidup di dunia ini di atas seabad. Kalaulah hidup di atas seabad kondisi sudah tidak lagi menyenangkan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang yang melihat. Diri sendiri sudah serba kepayahan sedang yang melihat (anak cucu kita) merasa iba dan kasihan. Sebab sudah serba salah, banyak makan sakit, sedikit makan sakit, tidak jalan repot kalau jalan-jalan takut tak dapat pulang (karena lupa alamat), ketawa, menangis dan meringis sudah hampir sama. Pokoknya serba sulitlah. Maka nabi Muhammad s.a.w. mengajarkan do’a, mengenai “usia” lafaznya begini: “Allahumma inni audzubika minal azzi, wal kasali wal buhli wal harami” maknanya kurang lebih “Ya Allah hindarkan aku dari malas, dan bahil (kikir) serta usia pikun (tidak berdaya)”. Beberapa waktu lalu (15-06-2011) pernah kutulis dalam blogspot ini dengan judul “Harta Kita Kumpulkan ternyata untuk orang lain”.
Semoga tulisan ini terbaca oleh orang yang sedang menjadi saksi, atau setidaknya orang yang dapat menasihati orang yang sedang jadi saksi perkara korupsi di negeri ini.



Thursday 9 February 2012

Hasad

Entah berapa banyak jumlah jenis penyakit manusia secara phisik, tentu itu ranah para dokter untuk berusaha mencarikan obat penyembuhnya. Walau makin tahun makin banyak saja penyakit baru yang muncul belum diketahui obatnya, sementara banyak jenis penyakit lama yang sampai hari ini belum juga diketahui obatnya.
Manusia tercipta dari phisik dan jiwa, roh dan jasmani. Sebagaimana jasmani, jiwapun adakalanya sakit. Diantara penyakit jiwa yang jelas nampak adalah “hilang ingatan”. Sedangkan sakit jiwa selain “hilang ingatan” itu tadi tidak kalah banyaknya dibandingkan dengan penyakit phisik. Bahkan menurut penelitian di Jerman (Radio Jerman “deutsche welle” bahasa Indonesia pagi 08-02-12) bahwa lebih 50% penyakit phisik bersumber dari jiwa, perasaan dan pikiran.
Pengobatan sakit phisik kebanyakan ke dokter alamatnya, sedangkan penyakit jiwa sebagian terbesar tidak dapat dilimpahkan ke dokter, terutama penyakit jiwa dalam artian rohani penyembuhannya dimungkinkan dengan keyakinan agama.
Salah satu penyakit rohani dalam terminologi agama penyakit hasad, yaitu seseorang yang tidak senang mendengar atau melihat orang lain senang/mendapatkan kebahagiaan. Sangat bahagia/senang bila melihat, mendengar orang lain menderita kerugian, kesusahan.
Untuk menilai apakah diri anda sedang mengidap penyakit hasad silahkan introspeksi apakah diri anda termasuk berperangai dengan kecenderungan:
1. Senang melihat orang lain susah, susah melihat orang senang. Bersyukur kalau orang mendapatkan musibah/kerugian/bencana. Bersedih hati jika orang mendapatkan keberuntungan/kebahagian.
2. Berusaha agar orang lain menjadi susah, berusaha agar kesenangan orang lain menjadi hilang.
3. Berusaha agar orang lain menjadi susah bila perlu mencelakai orang lain itu, merampas kesenangan orang lain agar pindah kesenangan/kebahagiaan itu kepadanya.
4. Berusaha agar orang lain susah, walaupun karena itu ia juga ikut susah dalam bathinnya biar sama-sama susah. Berusaha menghilangkan kesenangan orang lain walaupun dengan hilangnya kesenangan orang lain itu dianya sendiri tidak menjadi senang.

Penyakit ini menghinggapi orang dalam suatu komunitas, orang yang ia hasad kepadanya adalah sesama sekelompok. Hampir tidak perduli dengan komunitas lain, walaupun di komunitas lain itu orang sesukses apapun. Orang sekampung, orang satu perusahaan, orang satu institusi, orang satu profesi, orang yang masih sekeluarga dan hubungan kekeluargaan.

Orang sekampung.
Ia tidak suka menyaksikan orang sekampung dengannya mencapai kesuksesan, dicari cacat celanya, karena dialah katanya yang paling tau mengenai orang yang sukses itu, bagaimana ia dulu. Dari riwayat dan asal usul si sukses itu, seharusnya sangat tidak wajar ia sukses, dulunya begini, dulunya begitu dan lain sebagainya. Pokoknya dia merasa tidak terima atas kesuksesan orang sekampung dengannya.

Orang satu perusahaan/orang satu institusi.
Penyakit hasad sangat mudah hinggap di kalangan orang-orang dalam satu perusahaan. Dalam organisasi perusahaan/insitusi. Promosi dalam karier tidaklah seperti halnya ketika masih sekolah. Siswa /mahasiswa yang satu angkatan naik kelas dan selesai pada umumnya bareng dalam jumlah yang sama, hanya satu dua dalam jumlah yang kecil tidak berhasil. Lain halnya dengan di lapangan pekerjaan. Ada kata-kata bijak diungkapkan untuk mahasiswa ketika selesai kuliah.
“Untuk sukses dan berprestasi ketika kuliah harus jadi mahasiswa yang pandai”
“Untuk sukses dan berprestasi di masyarakat harus jadi orang yang pandai-pandai”

Jadi di masyarakat, di tempat kerja seseorang tidak hanya dituntut “pandai” tetapi rupanya harus dituntut dengan “dua pandai” atau pandai-pandai.
Di masyarakat dan di dunia kerja, orang naik jabatan, meningkat karier tidak lagi sama satu angkatan. Sama-sama masuk dengan pendidikan yang sama, seseorang melejit kariernya, sedangkan yang lain biasa-biasa saja. Orang yang kebetulan bernasib tidak semujur temannya yang melonjak kariernya itu, jika mengidap penyakit hasad, sungguh sangat menderita. Tinggal tergantung tingkat hasad yang bersangkutan pada stadium mana dari 4 (empat) stadium yang tersusun di atas. Makin tinggi stadiumnya makin berat keadaan orang itu, tidak jarang harus mengorbankan apa saja. Di instansi/institusi perusahaan kadang tidak jarang yang bersangkutan, bila juga tidak berhasil mencapai tujuan pemenuhan hasad itu, ia berhenti keluar dari suatu pekerjaan dan pindah ke tempat lain.
Bukan tidak ada setelah yang bersangkutan pindah ke tempat bekerja lain, dapat menyaingi rivalnya di tempat bekerja lama, bahkan lebih berjaya. Tidak pula jarang terjadi, setelah pindah malah terpuruk. Tapi bagi si penyandang hasad walau terpuruk yang penting puas dihati.
Ini yang sering kunasihatkan buat anak-anakku dimeja makan, jangan turutkan perasaan hasad yang ada di hati. Manusia memang berpotensi punya sifat itu dan jika diturutkan akan merusak diri. Jika melihat teman sekerja sukses, syukuri dan ikut berbahagia. Yang penting bekerjalah yang terbaik yang kita bisa, kesuksesan itu, siapa yang bakal melejit kariernya itu adalah sudah dipilih oleh yang menciptakan kita. Kalau kita sudah bekerja yang terbaik yang kita dapat lakukan itu sudah cukup untuk menyelamatkan dunia dan akhirat.

Orang satu profesi.
Hasad sangat mudah hinggap pada kelompok orang seprofesi, sebab dengan profesi yang sama sering terjadi ada yang populer ada yang biasa-biasa saja dan bahkan hampir tidak dikenal. Ambil contoh profesi sebagai seorang ustad. Ada ustad yang bila berceramah, para pendengarnya terkagum kagum, berjam lamanya dia berceramah orang tak ada yang bosan. Kemana mana sering diundang ceramah sampai mendapat julukan penceramah kondang. Sementara itu ada ustad juga yang konon seilmu dan mungkin lebih tinggi ilmunya, tapi memang bakat masing-masing, rupanya cara penyajian beda dan tidak sepopuler si ustad kondang. Tak jarang si ustad ini pun dihinggapi penyakit hasad, tandanya lantas misalnya menyindir “ceramah bukan untuk mendapatkan tepuk tangan seperti sebagian ustad yang memasukkan humor dalam ceramahnya” ujar si ustad dalam suatu ceramahnya. Lanjutnya lagi “Kalau saya tidak, saya sampaikan sesuai apa adanya”. Demikian contoh gaya ustad yang juga terkena penyakit hasad. Jangan dikira penyakit ini hanya diderita oleh orang awam, tak jarang hinggap kepada ustad dan juga imam shalat. Bukan tidak mungkin seorang imam shalat ketika mengimami waktu membaca bacaan shalat dalam hati terbetik perasaan halus “begini membaca yang benar ndak seperti si anu yang sekarang jadi ma’mum kalau dia jadi imam” ini juga karena hasad, sebab si anu rival sesama imam tadi sering ditunjuk jadi imam. “Biar dia mendengar contoh bacaan yang pas”, sambung bathin si imam.
Pedagang sesama pedagang, biasanya pedagang barang sejenis. Tukang cendol biasanya tak akan iri dengan pedagang buah. Menyoal hasad bukan monopoli bangsa kita saja, bukan monopoli bangsa yang agama bukan menjadi dasar/falsafah negara. Tetapi di negara para nabi lebih hebat lagi hasad ini dimunculkan orang. Tahun 2000 saya pernah berkunjung ke Saudi melaksanakan umrah bersama dua anak saya, isteri serta Ibunda dan Adik. Rombongan kami termasuk keluarga saya hanya 17 orang, jadi program ziarah rombongan kami sangat efektif dan santai karena bis besar disediakan untuk kami sungguh leluasa. Di Madinah program tour umrah kami adalah mampir di pasar korma tak jauh dari masjid nabawi. Singkat cerita bis besar yang kami tumpangi itu parkir dilahan parkir diarahkan oleh Mutawwif (pemandu wisata) di depan sebuah toko. Katakanlah misalnya persis di depan toko Blok A4. Namanya rombongan, mereka berkeliaran melihat-lihat korma di beberapa toko dan akhirnya banyak diantaranya yang belanja korma di toko blok A6, A5 dan bahkan ada di A3. Rupanya pemilik toko A4 tidak terima, parkir di depan tokonya belanja di toko lain. Si pemilik dan kerani toko A4 tak segan-segan menyamperi pemilik toko A5, A6 dan A3 marah-marah. Saya baru menyaksikan mereka ribut bertengkar masing-masing seperti kontes urat leher, dada dengan dada sampai bertemu, anehnya kedua tangan mereka di taruh di belakang pinggang. Jadi tidak terjadi saling pukul. Kami tidak paham apa yang mereka pertengkarkan itu, apalagi bertengkar dalam bahasa arab, ngomong perlahan saja sedikit sekali perbendaharaan bahasa arab kami. Yang terpikir buat kami cepat-cepat kembali ke bis dan cabut dari daerah itu, takut juga kalau terjadi apa-apa di negeri orang. Dalam perjalanan Mutawwif kami menjelaskan bahwa yang dipertengkarkan oleh para pemilik toko kurma tadi adalah “parkir di depan tokonya, tapi belanja di toko lain yang jadi sasaran kemarahan pemilik toko tempat belanja, rombongan kami. Dianggap pemilik toko lain menggaet pembeli yang seharusnya belanja ditokonya” Ada satu budaya mereka bahwa berantem hanya pakai mulut dan beradu dada, tangan disimpan dibelakang, sebab kalau sampai memukul hukumannya berat dan yang dipersalahkan siapa yang lebih dulu memukul. Peristiwa ini terjadi karena hasad. Ia kurang yakin bahwa rezeki dari Allah. Hati pembeli tertarik belanja di toko mana yang mereka suka, walau dengan harga, kualitas dan pelayanan yang sama, semuanya hak Allah untuk menggerakkan langkah pembeli. Model hasad di negeri kita belum sampai seperti itu agaknya, kalaupun ada secara halus, lebih ekstrim mungkin tak bertegur sapa.

Orang yang masih sekeluarga
Tetua kami di tanah melayu Kalimantan Barat punya pepatah:
“Kelapa setandan tak sama jatuhnya”.
“Ada yang hanya sampai beluluk”
“Ada yang jadi santan di belanga”
“Ada yang cengkir airnya diteguk”
Kelapa menjadi buah, melalui proses mayang terbungkus mancung kelapa (bungkus bunga kelapa), kemudian mayang terurai terjadi penyerbukan oleh serangga dan angin, jadilah beluluk (pentil calon buah kelapa). Tidak semua mayang menjadi beluluk, tidak semua beluluk menjadi buah kelapa, lebih dulu dimakan tupai. Setelah jadi buah kelapa, tak jarang baru saja ada air di dalamnya belum ada daging kelapa, masih cengkir, sudah dilobangi tupai, atau ada pula orang ngidam ingin minum air kelapa cengkir, diambilkan beberapa buah kelapa cengkir dari tandannya. Setelah buah agak berdaging, ada pula orang yang suka kelapa muda yang baru berdaging sedikit, ada juga yang ingin kalau dagingnya sudah agak tebal (dogan kalai) tapi belum keras. Ada pula kelapa sudah tua baru dipetik untuk diambil santannya dimasak dalam belanga atau dijadikan kelapa kopra. Ada juga yang sampai tua jatuh sendiri, kemudian menjadi bibit. Begitu falsafah setandan buah kelapa.
Tapi tak banyak orang yang menyadari bertamsil kepada alam ciptaan Allah. Kakak adik sekeluarga saling hasad dan iri hati, tidak senang kalau saudaranya sukses, malah berupaya untuk menjatuhkannya dengan tingkatan-tingkatan stadium saya kemukakan di atas. Belum lagi berhasad dengki mengenai pembagian waris. Satunya menganggap pihak dia yang lebih berhak atas warisan yang itu, sedang dia (saudaranya) dulu masih orang tua hidup sudah dapat lebih banyak, disekolahkan sampai keluar negeri, “tidak seharusnya ia dapat juga, karena sudah banyak menghabiskan uang almarhum Papah”. Kata saudara yang ingin pembagian lebih banyak. Banyaklah problem yang membuat kadang adik beradik menjadi tidak akur. Pangkalnya adalah penyakit hasad. Belum lagi bila ada campur tangan suami atau isteri dari mereka yang bersaudara yang menghimbau/ngompori dari belakang, perhasadan semakin seru. Banyak kita dengar kakak adik sampai kemeja hijau lantaran soal warisan, itu masih jauh lebih baik, ada yang saling bermusuhan sampai tua. Naudzubillahi min dzalik.

Hubungan kekeluargaan.
Masyarakat kita di Indonesia, adalah model masyarakat yang masih kental hubungan kekeluargaan. Keluarga dekat adalah anak-anak paman dan tante bahkan sampai garis keturunan keempat kelima, masih dianggap keluarga. Banyak segi positipnya memang, tetapi tak kurang pula sisi negatipnya. Misalkan salah seorang atau sekelompok dari yang masih dianggap keluarga itu kebetulan berada di posisi atas dalam strata sosial, katakanlah jadi pejabat terpandang dan banyak harta. Sanak famili kadang diantaranya ada yang malah menjauh karena menganggap si sukses tadi sombong, tidak perdulian dengan sanak famili. Sebaliknya si sukses disebabkan banyak teman dan handai serta relasi sudah tidak sempat mengambil perhatian untuk sanak famili sendiri. Penyakit hasad yang melekat di hati keluarga yang kurang sukses, kadang sampai mendo’akan “yang kurang baik” kepada si sukses. Kalau kebetulan suatu saat si sukses benar-benar jatuh, maka sanak famili yang merasa dianggap sepi sewaktu si sukses berjaya, sangat bersyukur. Ini bentuk penyakit hasad yag seyogyanya dijauhi. Kalau bukan ada hubungan kekeluargaan dengan mereka, orang lain sukses malah mereka tidak ambil perduli, kalau keluarga sendiri yang sukses justru hasad/irinya setengah mati.

Adalah ikhtiar untuk mengobati penyakit hasad yang berpotensi di dalam diri kita mungkin ada baiknya kita renungkan sejenak peristiwa pada jaman Rasulullah Muhammad s.a.w. masih hidup tentang soal per hasad an ini yaitu:

Dalam suatu majelis Nabi bersama sejumlah sahabatnya, tiba-tiba beliau mengatakan: “Sebentar lagi akan datang ke majelis ini seorang ahli surga”. Tidak lama kemudian seorang lelaki datang masuk ke dalam majelis dan ikut berkumpul dalam majelis Nabi. Kejadian tersebut terulang sampai kali yang ketiga dilain kesempatan diucapkan Nabi, lelaki yang datang juga orang yang sama. Al hasil para sahabat lainnya yang semuanya tentu menginginkan menjadi ahli surga, ingin berguru atau memantau apa gerangan yang diamalkan oleh salah seorang sahabat yang diketahui bernama “Saat bin Abi Waqash” itu.
Disetujui oleh sekumpulan sahabat lainnya mengutus “Ibnu Ummar” menjadi “mata-mata”. Diaturlah situasi sedemikian rupa sehingga Ibnu Umar bermalam di kediaman “Saat bin Abi Waqash”.
Selama tiga malam sampai sengaja malam hari sang mata-mata tidak tidur, untuk mengamati amalan si empunya rumah, tatapi tidak didapatkannya perbuatan istimewa yang dilakukan sahibul bait. Pagi hari ke empat, tamu menyatakan pamit mohon diri. Di dalam pamit itu terus terang dikemukakan maksud dan tujuan sampai bermalam tiga malam, untuk memikul tugas dari sekelompok sahabat yang mendengar sabda Rasulullah dikemukakan di atas. Sahibul bait menyatakan bahwa ia tidak punya amalan istimewa, dan memang kenyataannya seperti yang disaksikan selama tiga malam oleh si tamu. Salah satu yang diamalkannya, adalah tidak pernah merasa hasad atas karunia Allah yang diperoleh orang lain. Itu hanya pelajaran diperoleh Ibnu Umar dari bermalam tiga malam di rumah orang yang dinyatakan Rasulullah sebagai ahli surga. Demikian khutbah Jum’at seorang khatib di salah satu Masjid di bilangan Jakarta Pusat.

Mengambil i’tibar dari peristiwa itu, Insya Allah bila kita jauhkan hasad, di dunia ini hidup akan tenang tentram dan bahagia, terbebas dari beban penyakit jiwa yang cukup mendera, sedangkan di akhirat dijanjikan surga.