Friday 30 December 2011

CARI MUKA

Dasa muka, adalah tokoh pewayangan, dianya punya sepuluh muka. Tentu tokoh ini tidak ingin mencari muka satu lagi untuk muka yang kesebelas. Entah kenapa, manusia yang sudah punya satu muka masih ada yang merasa kurang cukup, masih perlu mencari muka lagi.

Rupanya itu hanya kata kiasan untuk orang yang berbuat sesuatu ingin dianggap baik oleh orang lain, biasanya orang lain tersebut atasan yang bersangkutan atau orang yang dianggapnya penting yang dapat menentukan nasib pencari muka. Banyak kata yang bila ditautkan dengan kata “muka” punya arti yang mengesankan, antaralain:

Bersemuka, artinya dikonfrontir, dua orang sama-sama dihadapkan untuk dimintai keterangan agar saling tidak dapat mengelak. Biasanya digunakan untuk menjernihkan atau menjelaskan suatu perkara, bilamana ada dua orang atau lebih, ketika diminta keterangan tentang sesuatu, masing-masing orang memberikan keterangan yang berbeda.

Bermuka dua, artinya seseorang yang berada di dua pihak yang bermusuhan, si bermuka dua memainkan peranan ganda, di satu pihak seolah-olah ia berpihak demikian juga dipihak yang lain juga seolah-olah dia berpihak.

Kehilangan muka, untuk menggambarkan keadaan seorang bahkan sebuah keluarga besar mengalami malu yang teramat sangat. Misalnya diungkapkan “keluarga kami kehilangan muka”. Contoh ekstrim, undangan sudah pada datang, penghulu sudah siap, ternyata pengantin pria yang ditunggu-tunggu tidak hadir. Betapa keluarga mempelai wanita kehilangan muka mendapat malu dihadapan banyak orang.

Dikemukakan. Sesuatu yang diutamakan untuk dibicarakan. Dapat juga berarti menyampaikan seperti dalam kontek kalimat “Seperti pendapat yang dikemukakan oleh si fulan”.

Terkemuka. Orang terpandang dalam artian terpandang yang baik, karena jabatan, karena kemampuan yang bersangkutan yang bermanfaat untuk orang banyak. Dalam hal terkenal untuk hal yang tidak baik, misalnya koruptor kakap triliunan rupiah, mereka tidak dapat disebut “koruptor terkemuka”.

Tidak punya muka. Diungkapkan untuk orang yang tak tau malu, mirip dengan “Tebal muka”. Kini sudah banyak orang “terkemuka” yang “tidak bermuka” atau “tebal muka”.

Membuang muka. Digunakan untuk orang yang bila ketemu dengan seseorang, tidak bersedia melihat wajah orang tersebut, walau berpapasan di jalan. Mukanya dipalingkan ke lain arah, tidak dihadapkan kepada orang yang bertemu ketika berpapasan. Kedua orang tadi semula adalah kenal dekat, tetapi karena sesuatu perselisihan tak terselesaikan jadi berseteru.

Setor muka, artinya hadir. Biasanya untuk suatu acara yang dilaksanakan oleh seseorang yang dianggap penting, agar yang bersangkutan (orang penting itu) mengetahui bahwa si penyetor muka telah datang. Biasanya penyetor muka, setelah terlihat oleh pengundang langsung pulang.

Setor muka dengan cari muka maknanya hampir sama, mungkin kalau dicari batas pemisah perbedaannya, “cari muka” punya konotasi mengharapkan penilaian baik dan punya interes yang sangat kuat. Sedangkan setor muka hanya melepaskan kewajiban atau kewajaran tidak terlalu berharap sesuatu penilaian baik, pokoknya dia sudah lihat saya hadir; “ndak enak waktu pesta anak kita menikah mereka datang ”, demikian alasan penyetor muka.

Agama Islam mengajarkan:

عن أبى هريرة قال قال رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه والسلام حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيْلَ مَاهُنَّ يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ إِذَالَقَيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَادَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَااسْنَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَاللهَ فَشَمِّتْهُ وَإِذَامَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ

Hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah SAW bersabda :

“Kewajiban seorang muslim atas sesama muslim ada enam.” Ditanyakan: “Apakah yang enam itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Apabila engkau bertemu dengan dia, hendaklah engkau memberi salam kepadanya. Apabila dia memanggil (mengundang) engkau, hendaklah engkau penuhi panggilannya. Apabila dia meminta nasehat, maka berilah nasehat. Apabila dia bersin dan memuji Allah, hendaklah engkau do’akan. Apabila dia sakit, hendaklah engkau jenguk. Apabila dia meninggal dunia, hendaklah engkau iringkan jenazahnya (ke kubur).”

Tentu lah yang dimaksud si sakit dan penjenguk saling mengenal dan kerabat/kolega, boleh jadi atasan mungkin juga anak buah atau teman sejawat. Kalau tidak saling mengenal, barangkali akan mengherankan orang/keluarga si sakit yang di jenguk.

Semuanya mungkin terpulang pada niat, apakah si sakit kerabat atau kolega, kenalan atau teman sejawat yang seharusnya dijenguk. Sebagai si ter-rawat memang ada keinginan untuk ditemui oleh teman. Itulah bentuk silaturahim yang diajarkan agama Islam. Menjenguk orang sakit disamping kadang dapat meringankan penderitaan si sakit dan menghibur, juga bermanfaat untuk si penjenguk, agar bersyukur, karena masih diberikan kesehatan. Begitu juga mengantar jenazah ke kubur, disamping mungkin dapat membantu melancarkan upacara pemakaman, jika diperlukan ikut bersama menggotong jenazah, juga mengamankan perjalanan jenazah. Bermanfaat buat pengantar untuk dapat merenungkan bahwa dirinya sendiripun pasti akan menjadi jenazah lambat atau lekas, oleh karena itu mumpung masih bernapas dan sehat berbuatlah kebaikan dan segera mengoreksi segala dosa dengan mohon ampun kepada Allah.

Wednesday 28 December 2011

ASU’ DI KETITIAN

Ketitian, adalah alat menghubungkan dua pinggir daratan yang terputus. Dapat berupa balok kayu, atau batang pohon kayu, atau bambu yang digandengkan, atau bahan apa saja yang kuat dilalui orang. Disebut “Ketitian”, apabila lebarnya terbatas hanya dapat dilewati oleh orang seorang. Kalau sudah dapat dilewati dengan berjalan berdampingan/seiring dua orang itu sudah berubah nama jadi jembatan kecil. Apalagi bila sudah dapat dilalui kendaraan roda dua itu sudah disebut “Geretak” (bukan berarti menakut-nakuti atau mengancam, pinjam bahasa daerah penutur sebagian penduduk Kalimantan bagian Barat). Dua daratan yang terputus yang mungkin dihubungkan dengan “Ketitian”, tidaklah terlalu lebar, misalnya sebesar parit, paling banter sekitar 3 sampai 5 meter. Atau tadinya ada jalan raya, terputus oleh bencana alam, tergerus erosi banjir, dibuat “Ketitian” untuk dapat dilewati orang berjalan kaki.

Asu, kata ganti untuk hewan yang oleh bahasa Indonesia juga disebut Anjing. Hewan ini adalah hewan yang sering dipelihara orang, dianya sangat setia kepada orang yang memeliharanya, memberi makan dan memberikan tempat tinggal padanya. Pengingatannya kepada tuannya sangat kuat ia mengenal suara tuannya, aroma tuannya tidak akan ketukar dengan orang lain. Asu bahkan mengerti bahasa tuannya, sehingga patuh menuruti perintah tuannya.

Di daerah-daerah, populasi Asu ini kadang melebihi dari banyaknya jumlah rumah penduduk. Rupanya si Asu betina kalau beranak kadang sesuai jumlah puting susunya yaitu delapan. Ingat saya masih kecil dulu, ada tukang obat sambil bersulap berkata begini:

“Sulap sulip susu anjing ada delapan.

Sekali mata berkedip, tukang sulap tidak kelihatan”.

Karena banyaknya Asu/Anjing, akhirnya banyak juga yang dibuang orang ke jalan, tidak ada yang memelihara, jadilah mereka Asu tunawisma, Asu tak bertuan (tunatuan), berkeliaran di jalan dan untuk mencari makan ia juga masuk ke hutan-hutan kecil dipinggir perkampungan.

Masuk kampung keluar kampung, masuk hutan keluar hutan, Asu sering melalui “Ketitian” untuk meneruskan pengembaraannya. Jika kebetulan dua anjing berlawan arah, dimana mereka ketemu di “Ketitian”, bukan main serunya. Salah satu anjing tidak mau mengalah, keduanya sama-sama adu galak menyalak/menggonggong. Dari kejadian inilah timbul pepatah “Bagaikan Asu di Ketitian”. Sebab mereka sama-sama ingin maju, sedangkan berpapasan tidak mungkin, sebab “Ketitian” kecil, berputar arah juga tidak dapat dilakukan, karena kalau berputar arah, jatuh ke bawah “Ketitian”. Biasanya di bawah “Ketitian” ada parit atau cekungan daratan yang tak nyaman dilalui. Itulah sebabnya tak ada penyelesaian yang baik kecuali adu gertak dengan menyalak/menggonggong.

Tamsil pepatah ini disindirkan kepada suami isteri yang kurang harmonis, hari-hari bawaannya tidak cocok melulu, sering cekcok, sering bertengkar. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi terus menerus bertengkar. Ada saja bahan pertengkaran mereka. Kok dapat bertahan rumah tangga kaya’ begitu?. Buktinya banyak kita dapatkan, mereka baru berpisah setelah umur salah seorang diantara mereka sampai habis, dan ternyata punya anak pinak cucu dan bahkan cicit.

Orang tua dulu dalam menerima lamaran atau mau melamar sering mempertimbangkan Bibit, Bebet dan Bobot. Faktor tersebut untuk menganalisis:

1. Apakah calon pasangan anaknya itu berasal dari keturunan orang suka bertengkar, kalau ngomong tak mau kalah.

2. Apakah calon pasangan anaknya orang yang terpandang dalam masyarakat, kalau orang terlalu amat terpandang sedangkan pihak anaknya kurang terpandang, dikhawatirkan akan disepelekan.

3. Apakah calon pasangan anaknya keturunan orang baik-baik tingkah lakunya, apakah punya masa lalu yang suram dalam ihwal tindakan tidak terpuji.

Urusan ketidak sepahaman yang sering membuat pertengkaran tak berujung itu, kadang sulit juga diserasikan, mungkin juga sulit dilogikakan. Sebab dapat terjadi kalau si “A” dengan si “B” sering tak sepaham, belum tentu salah di salah satu pihak. Banyak kasus “A” dan “B” selalu bertengkar. Bila berhubungan dengan “C” baik si “A” maupun si “B” akur-akur saja. Jadi bukan berarti “A” atau “B” pemicunya pertengkaran.

Pernah ada keluarga yang curhat mengenai kondisi “Bagaikan Asu di Ketitian”, ternyata ingin juga ia berbagi rasa dan kalau boleh keluar dari keadaan itu. Telah dicobanya untuk mengalah ketika mulai diacarakan pasangannya untuk bertengkar, tetapi lama kelamaan juga ia tidak dapat menahan gejolak hatinya ingin menangkis, terutama bila diri disalahkan. Al hasil pertengkaran terjadi lagi, kalau sudah begitu bagaikan api kesiram bensin, terus berkobar menyala-nyala. Baru selesai kalau salah satu undur dari gelanggang, ibarat terjatuh ke bawah “Ketitian”, istilah pepatah di atas.

Apa boleh buat kalau sudah begitu, rupanya pasangan anda dari sananya sudah terancang untuk suka bertengkar, sudah peruntungan anda “Bagaikan Asu di ketitian”. Apakah keluarga anda termasuk golongan ini?. Mudah-mudahan tidak. Kalaupun termasuk, sudahlah nikmati saja.

Sebagai pengobat hati mungkin perlu direnung nasihat Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 216,

“.................................................................................... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Sunday 25 December 2011

NASIB RAKYAT SEJAK DAHULU

Belum lama ini di tahun 2011, tergulinglah presiden Mesir Husni Mubarrak setelah puluhan tahun menjadi penguasa mesir. Untuk menggulingkan presiden Mesir itu bukan sedikit pengorbanan rakyat, banyak yang mati dan luka berat, tidak mustahil mati menjadi korban ketika berdemonstrasi. Setelah Husni Mubarrak jatuh, kembali rakyat menjadi korban lagi oleh penguasa yang menggantikannya. Berbagai media mewartakan sampai tulisan ini diturunkan sudah belasan orang yang kehilangan nyawa. Begitulah nasib rakyat tetap saja tidak enak.

Di zaman silam, rakyat Mesir juga bukannya hidup enak, karena merekalah yang menjadi pekerja, diperas keringatnya untuk kesejahteraan para penguasa mereka yaitu para raja. Bahkan sampai rajanya mati juga rakyat mesir harus banyak yang ikut mati dengan menderita, membuatkan pemakaman raja yang mati itu berupa piramida. Membangun sebuah piramida bukan hal yang ringan, tenaga rakyatlah yang dikerahkan untuk mengangkut bebatuan, tidak sedikit harus menemui ajalnya, dana rakyatlah yang dihimpun untuk biaya pembangunan.

Di negeri ini, rakyat di zaman penjajahan ditindas habis-habisan oleh penjajah. Sebelumnyapun bukan sepenuhnya enak, harus hidup miskin dan membayar upeti kepada raja-raja. Sementara di zaman penjajahan sebagian besar raja-raja bahkan hidup enak menjadi perpanjangan tangan penjajah, atau sengaja dikondisikan oleh penjajah hidup mewah supaya tidak menentang penjajah.

Sebagai puncak penderitaan, rakyat rebut kemerdekaan dengan mengorbankan jiwa dan seluruh kemampuan yang ada, banyak rakyat menderita dan menjadi korban untuk memerdekakan bangsa ini. Setelah merdeka yang namanya rakyat tetap saja kembali menderita. Cotoh terlihat jelas dengan mata dan terdengar keras di telinga misalkan saja kasus perkebunan dan pertambangan. Pemerintah lebih berpihak kepada perusahaan, ketimbang kepada rakyat jelata.

Lahan yang didiami di kelola rakyat sejak turun temurun, kalah oleh izin yang datangnya dari Pusat. Dari Provinsi dan Kabupaten. Apakah benar atau tidak, katanya konon tanah/hutan negeri ini dibagi dari “ATAS”. Pada hal, sudah berabad lamanya tanah di hutan Kalimantan, Sumatera dan Papua dan pulau seluruh nusantara itu dikuasai bersama oleh nenek moyang, untuk memberi hidup turun temurun. Memang sebagian besar mereka tidak punya secarik kertas tanda kepemilikan sesuai aturan administrasi pemerintahan, tapi mereka punya bukti telah pernah menjamah tanah tersebut, telah pernah berladang huma di tanah itu, bahkan ada tumbuhan yang ditanam oleh mereka, pohon nangka, durian cempedak dan aneka tanaman keras lainnya. Bahkan ada pula yang bertanam karet telah disadap untuk mengasapi dapur selama ini. Ada memang hutan yang tidak ditanami dan dihuni, dihutan ini tempat mereka mencari rezeki untuk memenuhi gizi hewani, banyak dapat diburu kijang dan rusa. Kini kawasan itu telah tiada, tak lagi kita mendengar kicauwan burung sedang bercanda, orang hutan bergelantungan melompat dari pohon ke pohon, habitat mereka sudah porak poranda.

Rakyat di desa pada dasarnya patuh, sayangnya mereka kurang punya akses administrasi. Seharusnya sebelum izin diberikan harusnya proses dari bawah, didata dari dusun dan kampung, terus ke kelurahan dan kecamatan baru ke kabupaten dan ke provinsi selanjutnya ke pusat, agar izin untuk perusahaan tidak menyentuh milik warga. Pendataan hendaklah secara jujur jangan berbumbu rekayasa, misalnya secara formal telah didapat persetujuan penduduk desa, tak kurang tanda tangan dan cap jempol, tertera di atas kertas. Mungkin sudah waktunya pendataan dari bawah tersebut (jika hendak dilakukan) melibatkan pihak yang netral tak punya interest, semisalnya pihak mahasiswa melalui kerja sama dengan perguruan tinggi.

Jika pendataan “kepemilikan fakta” tanah dan hutan dilakukan dari bawah dan dilakukan dengan jujur tanpa rekayasa disaksikan pihak yang netral, tentu tidak akan terjadi lagi tempat jemuran di pekarangan rumah warga yang sudah turun temurun berdiam di tanah leluhurnya itu, jadi masuk lahannya perusahaan. Bila sudah sampai begitu, yang dibawa adalah surat izin, rakyat yang nota bene tidak punya surat bukti kepemilikan itu harus dikalahkan. Pihak penguasa membela kepentingan pengusaha dengan alasan investasi. Dengan alasan sesuai ketentuan yang berlaku. Kembali rakyat menderita termiskinkan atau dimiskinkan dengan sebab perusahaan. Sejak sekolah dasar oleh guru kita diingatkan V.O.C. yang akhirnya menjajah, bermula berusaha di Nusantara ini. Kenapa negeri ini kita jual pada perusahaan. Kenapa negeri yang sudah merdeka ini dibiarkan dijajah lagi oleh perusahaan. Kalau perusahaan adalah perusahaan negara, masih mending rakyat yang masih punya nasionalisme tinggi tidaklah terlalu mengurut dada. Yang terjadi perusahaan asing pula yang mengusainya, atau perusahaan yang dikelola bukan penduduk asli bernenek moyang di negeri ini. Sementara negara hanya dapat remah-remahnya saja. Penduduk setempat hanya menjadi penonton menyaksikan tanah leluhur mereka dibangun kebun, hutan mereka dimusnahkan “raksasa besi”.

Terpulang kita menyerah, memang beginilah nasib rakyat dari zaman ke zaman tetap harus susah, harus miskin. Rakyat tidak dapat mencari nafkah di tanah nenek moyangnya sendiri. Untuk mengobat hati yang lara, kita hanya menghibur diri bahwa kita sebagai rakyat tidak sendiri. Rakyat di belahan dunia lainpun, juga selama menjadi rakyat tetap menderita, salah satu contoh rakyat Mesir, seperti terungkap di awal tulisan ini.

Pinjam istilah orang yang asal ngomongKalau ndak mau susah jangan jadi rakyat”. “Kalau takut ombak jangan berumah di tepi pantai”. Si pengomong lupa bahwa jadi rakyat bukan pilihan, sejak lahir langsung jadi rakyat. Kalau jadi pejabat, adalah pilihan. Satu untungnya jadi rakyat ndak pernah dipecat, bila karena sesuatu pejabat dipecat dari jabatannya bisa kembali lagi menjadi rakyat, sedangkan rakyat kalau dipecat dari rakyat lalu jadi apa. Juga pepatah “Kalau takut ombak jangan berumah ditepi pantai”, benar ada pepatah itu, orang tua dulu mem publish itu pepatah sebagai peringatan tentang risiko. Pepatah tak sesuai buat orang pantai yang sedang dilanda musibah. Berumah ditepi pantai juga bukan pilihan utama mereka, sejak lahir nenek moyang sudah di tepi pantai. Begitu juga sudah dari nenek moyang tinggal di pedalaman di dekat hutan, kenapa hutan yang tempat nenek moyang menyimpan sumber penghidupan itu harus dirampas oleh perusahaan.

Monday 19 December 2011

BERBUAT BAIK BELUM TENTU DINILAI BAIK

Yakin saya, bahwa bagaimanapun jelek seseorang pasti di dalam hidup ini pernah berbuat baik. Perbuatan baik itu diantaranya termotivasi oleh keinginan dinilai baik, ada juga ingin mendapatkan pembalasan lebih baik, atau setidaknya setara dengan kebaikan itu. Dari bahasa agama, sering ustadz berpesan “Berbuat baik dengan ikhlas tanpa mengharapkan balasan”. Inipun sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, sebab juga mengharapkan balasan yaitu keridhaan Allah atas amal kebaikan itu, dengan demikian mengharapkan juga ganjaran dari Allah. Justru disitu letaknya penting niat, yaitu beramal kebaikan karena Allah semata dan mengharapkan pembalasan dari Allah.

Perbuatan baik yang diiringi ingin balasan sesama, atau orang lain di atas kita maupun di bawah kita sering berujung pada kekecewaan. Sebab pembalasan itu kadang tidak sepadan dengan kebaikan, bahkan mungkin tidak mendapatkan pembalasan kebaikan, tak jarang dapat pembalasan yang tidak menyenangkan. Kenyataan ini membuktikan benar tuntunan agama yang disampaikan ustadz bahwa beramal kebaikan dengan ikhlas hanya mengharapkan balasan dari Allah, mesti tidak akan kecewa, setidaknya tidak kecewa selama masih hidup. Di akhirat kita ndak tau apakah amal baik itu dicatat dan diberi pahala, tergantung kadar keikhlasnnya, tetapi paling tidak jika landasan perbuatan baik itu dengan niat mengharapkan balasan Allah semata, didunia ini tidak akan kecewa, misalnya tidak berbalas atau lebih ekstrim lagi bagaikan memberikan air susu tidak akan kecewa kendati dibalas dengan air tuba.

Contoh-contoh perbuatan baik yang mendapat pembalasan ekstrim seperti misalnya:

Seorang pemuda sedang berjalan kaki, lewat dipinggir jalan dilihatnya sebuah sepeda motor tumbang. Tergerak hatinya ingin berbuat kebaikan. Dihampiri motor tumbang tersebut kemudian diberdirikannya. Yang terjadi adalah, justru dia dituduh pemilik yang kebetulan keluar dari gedung atau bangunan, menunju motornya, bahwa si pemuda tadilah yang menumbangkan motornya. Lebih ekstrim lagi bisa saja malah dituduh sipemuda tadi justru akan mencuri motor. Makanya kalau di kota besar orang sering cuek; itu sebabnya. Misalnya melihat seseorang kena copet, kemudian memberitahukan kepada pihak kecopetan bahwa tadi ada copet, ada dua kemungkinan: Pertama; sipemberi tahu disesali kenapa ketika tadi sedang copet beraksi tidak memberitahukan. Padahal risikonya ia akan ditandai oleh group copet, karena belum ada lembaga perlindungan saksi untuk kasus seperti ini, keamanan diri akan terancam. Kedua; bisa-bisa ia malah dituduh kawanan pencopet. Akhirnya, orang melihat kejahatan memilih diam, dari pada timbul risiko. Di suatu sudut kampung di dalam kota Jakarta, masjid di sekitar lokasi bersabung azan setiap waktu, saking banyaknya masjid di sekeliling. Tak jauh dari sudut kampung tersebut ada pula pemakaman umum, luas sekali, hampir setiap hari ada saja jenazah lewat untuk dimakamkan, kadang lebih dari satu. Sementara itu setiap selepas magrib ada saja masjid di sekitar lingkungan memberikan petuah agama, dengan pengeras suara yang lantang terdengar penduduk setempat. Kontras dengan keadaan itu, walau masjid dekat, sering petunjuk agama didengar, peringatan akan kematian setiap hari dilihat yaitu jenazah lewat, tetapi banyak tempat judi yang terang dapat dilihat oleh orang yang lalu lalang. Ingin berbuat baik, mencegah mereka sedang bermain judi, tentu tidak berani kecuali ada kesaktian seperti kisah para wali. Lapor ke yang berwajib, kadang membahayakan diri bila nanti ketahuan pelapor, oleh group yang suka judi. Sekali lagi perlindungan saksi dan pelapor belum mengcover sampai ke masalah sekecil ini. Sedang masalah besar-besar saja belum terjamah. Akhirnya juga memilih diam, hanya mengutuk di dalam hati, walau itulah wujud selemah-lemah iman. Karena tidak sanggup mengubah dengan tangan dan menegor dengan lisan.

Alenia di atas sekelumit perihal orang kota, takut berbuat baik, karena sering berujung yang tidak baik. Di kota kecil juga demikian, teman saya pernah mengalami, berbuat baik justru dapat pembalasan jelek. Dianya teman saya ini menjadi salah seorang pejabat di suatu institusi di satu daerah. Kebetulan ketika ia mulai pindah ke daerah tersebut, institusinya kurang mobil dinas. Kadang dalam keadaan terpaksa mobil pribadinya dipakaikan ke sopir kantor untuk urusan dinas katakanlah menemui mitra bisnis ke alamatnya. Benar juga suatu ketika mobil pribadi teman saya itu dipakai untuk keperluan dinas, diparkir dipinggir jalan masuk menuju alamat mitra bisnis institusi mereka tersebut. Bos institusi tersebut kebetulan hari itu baru dijemput sopir kantor dari bandara. Kota kecil gampang terlihat dan dihapal mobil-mobil teman sejawat. Kontan saja bos kantor memendam dalam hatinya bahwa, begini rupanya pejabat saya kalau saya tidak di tempat keluyuran begini, sempat terlontar dimulut si bos kepada sopir, “liat tu, ngapain “pak Anu” jam begini ada disini”. Biasa si Bos dari bandara tidak langsung mampir kantor, singgah dulu di rumah makan, kadang hampir tutup kantor baru ke kantor karena ada saja janji bertemu dengan mitra bisnis, mungkin juga di restoran atau kadang di lapangan golf.

Kasihan teman saya itu dinilai jelek oleh atasannya padahal dianya sedang berbuat kebaikan. Sopir serba salah untuk melaporkan hal ini. Bagi si sopir kalau melapor ke si pejabat teman saya itu, bisa saja terjadi hal yang tidak baik, bahkan mendapat penilaian jelek dari bos, misalnya “tukang adu-adu”. Kalau tidak disampaikan, kasihan si pejabat tersebut. Sementara dalam perjalanan ketika bos menggerutu, jika menjelaskan bahwa mobil tersebut dipakai orang lain, untuk keperluan dinas, ya kalau benar, kalau tidak malah celakalah si sopir. Kalau nekad menjelaskan sering mobil pribadi bapak “Anu” dipakai untuk dinas malah nanti si sopir dibentak lagi sama si bos “sok tau kamu”. Susah deh jadi sopir. Akhirnya si sopir memilih diam sampai si bos dan “pak Anu” pindah ke kota lain. Kasihannya “Pak Anu”dapat kondite jelek dari si bos walau sesungguhnya telah berbuat baik.

Begitulah adanya keadilan di dunia ini, tidak ada yang benar-benar adil, orang baik belum tentu mendapat kebaikan, belum tentu berbuat baik dinilai baik.

Petuah orang tua dulu:

Di depan bilik ada beranda

Buat duduk di petang hari

Berbuat baik ber pada-pada

Berbuat jelek jangan sekali

Maksudnya dalam berbuat baik hendaklah diolah pikir (ber pada-pada) jangan sampai, perbuatan baik itu berakibat menjadi tidak baik. Dalam pada itu berbuat kejahatan jangan dilakukan walau hanya sekali.