Monday 31 October 2011

M.O.U. DAUN SIMPOR VS DAUN JATI

Sebelum dikenal kantong kresek, di Jawa pembungkus belanjaan ibu rumah tangga dari pasar adalah “daun jati”, sementara itu di kampung saya pembungkusnya “daun simpor”. Kedua daun ini memang layak sekali buat pembungkus, karena lebarnya yang cukup dan tidak gampang sobek. Kini banyak dipersoalkan bahasa pembungkus dari kantong kresek terbuat dari bahan plastik tidak laik lingkungan, karena limbahnya tak gampang musnah dimakan tanah, begitu enak bahasa sederhananya. Si kantong kresek bekas pakai, kalau dibuang ke tanah dia tidak segera hancur, lama kelamaan membuat lingkungan menjadi rusak. Beda dengan daun jati atau daun simpor, begitu ke tanah sebentar hancur dan bahkan menjadi pupuk.

Kenapa di kampungku tidak membungkus dengan daun jati, dan kenapa di Jawa tidak membungkus dengan daun simpor. Jawabnya adalah karena di kampungku semula tidak ada tumbuh pohon jati, sedangkan di Jawa telah lama kucari tak pernah kutemukan pohon simpor. Kini dengan pertukaran budaya yang semakin gampang, sudah juga ada pohon jati di beberapa sudut kampung, ditanam asal bibit dari pulau Jawa. Tapi juga orang tidak memakainya buat pembungkus. Alasannya: selain daun simpor begitu banyak tanpa ditanam, pohonnya rendah mengambilnya mudah, juga daun jati yang tumbuh di kampungku tak selebar di negeri leluluhurnya. Dalam pada itu sudah beberapa kali kucoba membawa bibit tanamam “Simpor” dari negeriku ke pulau Jawa, ditanam tak mau tumbuh.

Seolah-olah kedua daun ini terikat M.O.U. bahwa “sesama daun pembungkus tak boleh rebutan wilayah”. Sesungguhnya fenomena alam ini, jika kita kaji mendalam, bahwa ia terjadi bukan secara kebetulan, Allah lah yang mengatur semua ini {“Maa khalaqta hadza bathila (sesungguhnya semua ciptaan (Allah) tidak ada yang sia-sia”}, tentu semuanya dimaksudkan untuk kebutuhan manusia. Tanaman jati pohonnya setelah usia tertentu hampir semua batangnya bagus dibuat bahan bangunan sampai ke akar-akarnya sangat indah dibuat peralatan rumah tangga, disamping mudah mengerjakannya, kayu jati sangat awet, sebab tidak gampang lapuk biar didera cuaca hujan maupun panas. Sedangkan pohon “Simpor” kayunya sama sekali tidak dapat dibuat bangunan, kayunya dikeringkan hanya cocok buat kayu bakar. Tapi salah satu keadilan Allah, di tanah yang tumbuh pohon “Simpor”, banyak tumbuh segala jenis kayu yang cocok buat bangunan termasuklah kayu Besi yang terkenal tak akan lapuk ratusan tahun itu.

Inilah salah satu contoh Allah ciptakan segala neka untuk kebutuhan manusia umum, di daerah yang tak hidup subur “Kayu Jati” tumbuh “Pohon Simpor” yang daunnya sama dapat dibuat pembungkus. Kini kita masuk ke diri sendiri, bila kita renungkan agak mendalam tentang kita dilahirkan ibunda kita, begitu kita lahir Allah telah siapkan makanan kita. Tadinya ketika kita masih dalam kandungan, ibunda kita susunya tidak berair, beberapa saat bayinya lahir air susunyapun disedot si bayi mulai mengalir. Lebih jauh lagi di dalam susu ibu yang pertama kali diminumkan kepada bayi yang baru lahir terdapat zat-zat yang memberi kekebalan tubuh bagi si bayi dari kemungkinan serangan penyakit. Sebab, Air susu ibu atau ASI adalah susu yang diproduksi oleh manusia untuk konsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bayi yang belum dapat mencerna makanan padat.

ASI diproduksi karena pengaruh hormon prolactin dan oxytocin setelah kelahiran bayi. ASI pertama yang keluar disebut kolostrum atau jolong dan mengandung banyak immunoglobulin IgA yang baik untuk pertahanan tubuh bayi melawan penyakit. Maha besar Allah atas segala ciptaan-Nya.

Mengaca kepada tamsil kedua daun tadi dan kepada ketersediaan kebutuhan hidup kita, telah dipersiapkan Allah sejak sebelum kita lahir. Maka sesungguhnyalah bahwa hidup ini sebenarnya tidak perlu saling mendengki satu sama lain sesama manusia, sudah disediakan bagian masing-masing. Giliran kita menjadi orang berjabatan, giliran kita menjadi orang berpunya, atau sebaliknya, walau telah membanting tulang dan usaha, keadaan masih juga pas-pasan, itulah rupanya bagian kita yang harus disyukuri. Rupanya kaya dan miskin adalah pilihan Allah, keduanya dalam ujian. Banyak orang lulus dengan ujian kemiskinan tetapi tidak sedikit orang yang terjeblos diuji dengan kekayaan. Tidak kurang orang yang menjadi kufur karena kemiskinan dan menjadi takabur karena ujian kekayaan dan kejayaan. Hal tersebut terjadi disebabkan kurang bersyukur atas apa yang diterima dari Allah.

Seorang pegawai kantor, merasa ia telah dan bahkan lebih berprestasi dari rekan selevelnya, ternyata nasib berkata lain, rekan selevelnya bahkan mendapat promosi dan diiringi kehidupannya menjadi lebih baik. Karena rasa dengki yang tak terpadamkan iapun memutuskan untuk mengundurkan diri. Setelah mengundurkan diri, maklum menata kehidupan baru tidaklah begitu gampang seperti yang dibayangkan. Ibarat tanaman “Pohon Simpor” tadi bibit dibawa dari Kalimantan hendak dicoba di tanam di tanah Jawa, ternyata tanahnya tidak cocok dan akhirnya tidak tumbuh. Kalaulah tanaman lain yang cocok dipindah, walaupun tumbuh mesti melalui proses layu lebih dulu. Jika kebetulan seperti bibit “Simpor”, justru mati, maka penyesalanlah yang akan timbul bagi yang memperturutkan iri dan dengki tadi. Ketahuilah bahwa dunia ini tidak dapat kita kuasai, jangankan dunia, satu lingkungan rukun tetangga saja kita tak sanggup kuasai, jangankan lingkungan RT,, kadang lingkungan keluarga saja tak dapat kita kuasai, jangankan lingkungan keluarga, dalam rumah tangga sendiri saja ada sebagian orang yang tak sanggup memegang kendalinya. Oleh karena itu kunci ketenangan adalah hindari hasyad, iri dan dengki, bersyukurlah atas apa yang kita miliki. Lainsyakartum laajidan nakum walainkafartum inna adzabi lasadid {(apabila engkau bersyukur maka akan ditambah nikmat (oleh Allah) dan bila engkau ingkari, ingat azab Allah amatlah pedih)}. Sadaqallhul Adzim.

Tulisan ini, sebagai hadiah ulang tahun ke 27 anakku dr. Akhmad Noviandi Syarif, 1 November 2011. Semoga Allah melapangkan jalanmu tengah menempuh pendidikan PPDS Bedah Plastik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Thursday 20 October 2011

KONSISTEN

Tiap tahun, beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia mengirimkan jamaah haji tidak kurang dari 200 ribu orang per musim haji. Belakangan ini untuk menunaikan ibadah haji harus antri berbilang tahun, tidak seperti belasan tahun yang lalu siapa punya uang cukup dan sehat dapat langsung mendaftar dan berangkat.

Andaikanlah semua orang yang sudah pergi haji, menjiwai apa artinya haji, konsisten menjalankan perilaku seharusnya bagaimana seorang yang sudah menjalankan haji, tentu bangsa ini sudah lama makmurnya. Sudah lama korupsi dipandang sebagai perbuatan tabu yang menggugurkan makna haji.

Kalau begitu gerangan apa yang menyebabkan bangsa ini masih saja terpuruk, walau jumlah orang-orang yang melaksanakan ibadah haji sudah demikian banyaknya, dan kebetulan kebanyakan pula yang menyandang predikat koruptor adalah pak Haji atau Bu Haji.

Rupanya persoalannya adalah para haji kita banyak yang tidak konsisten dengan kehajiannya. Konsisten saya terjemahkan bebas dari bahasa agama “Istiqamah” Bukankah haji adalah rukun Islam yang kelima, sekedar mengingatkan kita semua:

Rukun Islam yang pertama adalah “Dua kalimah syahadat mengucapkan dengan lisan mengikutinya dengan hati yang tulus dan ikhlas bahwa hanya bertuhan kepada Allah dan mengakui Muhammad adalah Rasul utusan Allah. Konsekwensinya adalah; di dalam hidup seorang Islam tidak lagi mempertuhankan selain Allah seperti antara lain: benda/materi, duit, atasan, jabatan dan segala macam, hanya tunduk dan patuh dengan apa yang digariskan oleh Allah. Garis aturan Allah itu diketahui melalui Rasul utusan Allah yaitu Muhammad s.a.w. Konsekwensinya segala yang diajarkan oleh Rasulullah secara keseluruhan diikuti. Dari sini saja sudah aman bangsa ini jika semua orang Islam konsisten dengan syahadatnya.

Rukun Islam yang kedua Shalat, sekurangnya 5 waktu dalam sehari semalam, jika setiap orang Islam konsisten melaksanakan ibadah shalat ini, sekurangnya setiap waktu yang ditentukan, tidak terjadi kemungkaran. Ketika akan melakukan korupsi misalnya; dipagi hari ingat bahwa tadi sewaktu subuh sudah bermunajad kepada Allah minta rezeki yang halal, insya Allah Pejabat negara terjauh dari korupsi, pedagang tidak akan berbohong, tidak akan mengurangi sukatan atau timbangan, pemuda pemudi yang masih bergelora dapat mengendalikan diri dari godaan nafsu. Karyawan akan bekerja penuh disiplin dan sungguh-sungguh karena bekerja adalah ibadah untuk mendapatlkan rezeki yang halal. Begitu selanjutnya ketika zuhur tiba diperbaharui lagi komitmen kepada Allah dan seterusnya sampai subuh kembali. Tentu orang Islam terhindar dari perbuatan tercela sekecil apapun.

Rukun Islam ketiga, berpuasa dibulan Ramadhan, mendidik jiwa orang Islam menjadi memahami penderitaan orang lain, sehingga tidak akan menyusahkan orang dalam hidup ini, karena betul-betul bagaimanapun kayanya seseorang, ia mempraktekkan diri bagaimana jadi orang tidak makan. Melatih diri memahami orang lain, tidak gampang tepancing emosi. sehingga tercipta manusia-manusia yang berbudi luhur dan berpenampilan tenang tidak gampang tersulut perselisihan paham/ribut yang hanya melahirkan kerusakan. Orang yang sukses puasanya tidak akan serakah, dapat menahan diri, karena sudah terlatih menahan diri dari rezeki yang halal saja tidak dimakan, apalagi rezeki yang tidak halal. Lagi menjadikan bangsa ini bila puasanya sukses akan aman dari orang yang memakan harta orang lain.

Rukun Islam keempat, menunaikan zakat, bilamana konsisten semua orang Islam melaksanakan Zakat, tentu semua harkat masyarakat akan terangkat. Lembah yang dalam antara sikaya dan simiskin dapat terurug. Setiap orang Islam menyadari bahwa dalam kekayaannya terdapat milik orang lain. Akan timbul kebersamaan antara orang berpunya dan orang papa.

Barulah rukun kelima yaitu menunaikan ibadah haji bagi orang Islam yang sudah mampu untuk menyiapkan diri dari segi biaya dan kesehatan. Haji diletakkan sebagai rukun kelima ini juga mengandung makna bahwa orang berangkat menunaikan ibadah haji sudah melaksanakan dan konsisten rukun-rukun Islam yang mendahuluinya. dengan demikian apabila orang sudah haji sepulangnya ke tanah air kembali lagi tidak melaksanakan rukum-rukun Islam empat lainnya, itu pertanda haji yang tidak konsisten.

Paling kurang ada tiga pertanyaan penting seharusnya direnungkan oleh seorang yang selesai menunaikan ibadah haji:

Pertama: Apakah haji yang dilaksanakan itu diterima oleh Allah. Dirunut antara lain dari mana diperoleh pembiayaan perjalanan haji.

Kedua : Apakah semua ibadah telah dilaksanakan dengan hanya mengharap redha Allah atau ada motifasi lainnya.

Ketiga: sepulang haji apakah sanggup mengemban/memelihara predikat haji, yaitu secara konsekwen dan konsisten menjalani semua perintah Allah dan Rasul Allah secara keseluruhan.
Pertanyaan pertama, agaknya dengan mudah ditelusuri oleh diri sendiri, bahkan orang lain yang kadang sok usil dapat membaca dari mana diperoleh harta untuk biaya berangkat haji. Kalau harta berangkat haji dari hasil korupsi, banyak ustadz yang mengi’tibarkannya seperti mandi dengan air kotor, berwudhu dengan najis. Soal diterima atau tidak ibadah haji ybs. wallahu alam bissawab. Tak berani pula awak memfonishnya itu urusan Allah.
Walau sumber rezeki dijamin halal, untuk modal pergi haji, tetapi dipertanyaan kedua harus dapat dijawab bahwa betulkah hajinya lillahi ta’ala (semata karena Allah). Jika ada motif lain, umpamanya sering kita dengar orang berkata “ndak enak saya udah begini tua belum berangkat haji, orang sering manggil pak haji, pada hal saya belum haji udah sekalian sekarang berangkat”. Ada lagi ungkapan “di kampung saya orang sebaya saya udah haji semua, masak saya belum juga haji udah apa yang ada dijual, yang penting berangkat haji”. Atau ada lagi yang berpikir “Pak anu bisnisnya sekarang maju semenjak pulang dari haji, rupanya patner bisnisnya dan orang-orang lebih percaya padanya karena beliau sudah haji, saya ikut berangkat haji juga, semoga title haji menambah kepercayaan orang”. Kadang haji yang begini ini sepulangnya masih tetap seperti yang dulu.

Bila jawaban kedua pertanyaan tersebut di atas hasilnya negatif, diiringi pula tidak konsisten menjalankan rukun Islam lainnya, maka terjawablah pertanyaan ketiga negatif pula yaitu tidak sanggup mengemban/memelihara predikat haji. Bila ia seorang pejabat yang punya Peluang korupsi, maka korupsinya makin menjadi-jadi. Bila ia seorang pedagang yang selama ini ia selalu berbohong untuk memperoleh untung, iapun dengan bernaung pada predikat hajinya lebih leluasa berbohong. Bila sebelum haji punya kegemaran judi maka sepulangnya masih tergoda untuk bejudi dan seterusnya, justru makin hebat karena terlindungi oleh haji. Bahwasanya syaitan menggoda tergantung strata orang yang digoda. Orang berilmu setan penggoda juga berilmu lebih tinggi, orang yang sudah berpredikat haji setan penggota juga bukan lagi setan sembarangan, iapun mungkin berpredikat haji pula.

Ada anekdot, seorang yang tadinya penyabung ayam, ketika pulang haji diberi kehormatan menjadi imam di Langgar (Surau) di kampungnya. Surau di kampung itu bangunan panggung, lantainya dari papan. Kebetulan papan Surau dari bahan kayu yang kalau musim panas agak renggang. Sedang terik matahari di waktu Zuhur pak “haji baru” jadi iman bersajadah tipis, kampung ini agaknya penduduknya pas-pasan. Pada sujud di rakaat terakhir, di bawah Surau (kolong Surau) dua ekor ayam tiba-tiba tarung persis di bawah kesujudan sang imam. Ayam berwarna hitam dan ayam berwarna putih jelas terlihat dari sela lantai. Rupanya pertarungan agaknya akan dimenangkan si putih. Si imam berhenti lama sekali dalam sujudnya menikmati sabung ayam kebiasaan lamanya, sambil dalam hatinya berguman “pukul putih, pukul putih, pukul putih” baru ia bangkit dari sujud setelah si hitam keok. Kontan jamaah lainnya merasa lama menunggu, apa boleh buat, bahwa tidak boleh gerakan mendahului imam. Setelah selesai shalat, ayam dikolong Surau terdengar selesai berantem dan si hitam lari terbitit-birit, seluruh jamaah mengetahui keributan sabung ayam di bawah bangunan Surau itu sejak mulai sampai akhir. Terlepas dari benar atau tidak anekdot ini, begitulah tamsil seorang yang sudah melaksanakan ibadah haji, kalau kurang-kurang bertekad bertaubat, maka tergoda kembali untuk menekuni perilaku kurang baik yang pernah dikerjakan. Untuk memelihara ke hajian itu maka haruslah konsisten dalam melaksanakan rukun Islam yang lain agar tertutup kesempatan syaitan untuk masuk melancarkan godaannya.

Allah telah memberikan petunjuk di dalam Alqur’an surat Hud 112

Fastaqim kamaa umirta waman taaba ma-‘aka wala tathghaw innahu bimaa ta’maluu na bashiir. (Maka tetaplah ( istiqamahlah) kamu, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan). Bentuk sikap istiqamah ini dalam amal adalah dengan mengerjakannya secara terus-menerus, ….bukan kadang-kadang.


Ø¥ِÙ†َّ Ø£َØ­َبَّ الأَعْÙ…َالِ Ø¥ِÙ„َÙ‰ اللَّÙ‡ِ Ù…َا دَامَ ÙˆَØ¥ِÙ†ْ Ù‚َÙ„َّ

Inna ahabbal a’mala illahi maa daama waa in qalla
Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus (kontinyu) meskipun sedikit (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka amal-amal dibiasakan ketika ditanah suci, hendaklah secara konsisten dipertahankan setelah di tanah air, contoh shalat berjamaah tepat pada waktunya. Betapa di Mekah dan di Madinah, jamaah haji dengan rajin mengikuti shalat berjamaah di masjid, tiada waktu tanpa shalat berjamaah. Setelah sampai di Indonesia hendaknya kebiasaan itu dengan konsisten tetap dilaksanakan. Di Mekah dan di Madinah jamaah haji, gampang tergugah untuk membantu sesama, dibuktikan dalam berbagai akitifitas semua berusaha membantu orang lain, termasuk bersadakah, kenapa setelah sampai di tanah air kebiasaan baik itu justru tidak konsisten di teruskan. Adalah merupakan larangan haji berbuat fasik, berbantah-bantah, membicarakan hal-hal yang tidak pada tempatnya, bila secara konsisten setiap haji dan hajah melakukan ini, maka betapa aman dan damainya pergaulan hidup.

Konsisten melaksanakan semua rukun Islam, terutama bagi haji dan hajah yang seharusnya Islamnya sudah lebih lengkap ketimbang orang yang belum melaksanakan haji. Maka seharusnyalah bangsa yang banyak penduduknya sudah haji ini lebih aman dan makmur.

Para Haji dan Bu Hajah jangan sampai terjadi pada diri kita seperti apa yang diisyaratkan Allah dalam Alqur’an surat An Nahl 92 :

walaa takuunuu kallatii naqadhat ghazlahaa min ba’di quwwatin ankaatsan.(Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali).

Diibaratkan bahwa orang yang sudah melaksanakan ibadah termasuk haji, seperti sudah memintal hubungan yang kuat dengan Allah, terjalin terkelindan, bagaikan benang yang dipintal. Masing-masing orang yang sudah pergi haji merasakan pengalaman rohani betapa kedekatan diri kepada Allah ketika ritual haji dilaksanakan. Jangan sampai hubungan erat dengan Allah itu justru setelah kembali ke tanah air diurai kembali, menjadi tercerai berai bagaikan benang sudah dipintal terurai. Perbuatan ini adalah sia-sia, bagi bangsa kita yang lumayan jauh dari Makkah kota tempat dilaksanakan haji dan menghabiskan biaya yang lumayan banyak, apalagi beberapa tahun belakangan ini, meskipun punya uang harus menunggu beberapa tahun baru dapat melaksanakan ibadah haji.

Semoga Allah menjadikan para Haji dan Hajah semua menyadari akan hal pentingnya peningkatan ibadah sesudah menjalankan haji dan menjadikan mereka Istiqamah dalam ibadah.

Ketahuilah bahwa jika Istiqamah menjalankan perintah Allah, maka Allah menjanjikan di dalam surat Fusilat ayat 30:

Innalladziina qaluu rabbunallahu tsummastaqaamuu tatanazzalu ‘alaihimulmalaaikatu alla takhafu wala tahzanuu wa absyiruu biljannatillatii kuntum tuu ‘aduuna. (Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (konsisten), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.")

Dilanjutkan Allah dengan firman-Nya Jika kita istiqamah, maka Allah SWT menjanjikan di dalam kelanjutan surat Fusilat yaitu di ayat ke 31:

Nahnu auliyaa ukum filhayaatiddunyaa wafil akhirati walakum fiihaa ma tasytahii anfusukum walakum fiihaa maa tadda’uuna.(Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta).

Tulisan ini kuturunkan ketika hadir pada kesempatan syukuran di Pontianak untuk mengantarkan adikku Rosnani Arbi, Spd., Mpd., berangkat menunaikan ibadah haji jamaah Pontinak Kalimantan Barat dari embarkasi Batam 20 Oktober 2011. Jadilah hajah yang mabrur adikku.

Saturday 8 October 2011

GUNA LAIN KAIN BATIK

Wilayah Republik Indonesia ini demikian luasnya, keadaan suatu daerah kadang ekstrim berbeda dengan daerah lain dari berbagai sektor. Mulai dari budaya, bahasa, kegemaran makan, kadang nilai baik dan buruk, kondisi alam, iklim pokoknya beragam perbedaan itu tidak gampang diinventarisir. Oleh sebab itu kebijakan di pusat pemerintahan belum tentu dengan mudah diseragamkan cara penerapannya di daerah, lantaran kendala beragam setiap daerah tersebut. Misalnya saja seorang aparat negara dalam bertugas ke kecamatan dan desa dalam wilayah suatu kabupaten, bila di pulau Jawa dengan mudah menggunakan berbagai alat transportasi. Setibanya di kecamatan atau desa yang dikunjungi bila ternyata harus bermalam tersedia penginapan.

Satu sisi yang diangkat ditulisan ini adalah mengenai transportasi, bagi petugas di daerah terpencil, hanya layak ditempuh dengan kendaraan roda dua. Keadaan ini sampai sekarang pun masih berlaku di daerah terpencil, jika kita membawa kendaraan, kadang sampai 30 menitan belum tentu bertemu kendaraan lain yang berpapasan atau mendahului. Beruntungnya masalah keamanan lebih terjamin ketimbang dikota yang ramai dengan lalu lintas kendaraan.

Adalah seorang petugas mengunjungi daerah dari ibu kota kabupaten, setelah berminggu-minggu bertugas di beberapa desa di suatu kecamatan, tiba waktunya harus pulang ke ibu kota kabupaten. Persiapan perjalanan standar, adalah tas pakaian berisi air minum tak ketinggalan pompa dan alat tambal ban satu set. Tiba-tiba ditengah perjalanan yang lengang tanpa penduduk dan lalu lalang manusia tadi, roda ban depan kempes. Untung masih siang sekitar pukul sembilan, matahari belum begitu menyengat, teduh ternaungi pepohonan dipinggur jalan. Sepeda motor langsung dituntun kepinggir jalan rencana akan dibuka bannya untuk ditambal. Ternyata setelah dibuka angin keluar dari pangkal pentil ban, dengan peralatan yang ada tak memungkinkan untuk ditambal. Perkampungan penduduk, dimana ada tersedia bengkel dan tambal ban kurang lebih delapan belas kilometer lagi. Jika dalam keadaan kempes begini dipaksa dikendarai sejauh itu, disamping akan terjadi goncangan kuat, karena berjalan bukan di atas aspal, juga ban, mungkin roda pun akan binasa. Sambil berpikir dan berdo’a mudah-mudahan ada orang lewat, apa boleh buat diputuskan sepeda motor dituntun sambil mesin dihidupkan dengan porsneling satu supaya tidak berat.

Kira-kira satu setengah kilomoter meter menuntun motor, sampai di jalan yang kiri kanannya tanah tinggi, seperti bukit mungkin lebih sepuluh meter tingginya. Jadi jalan raya ini dulu dibuat nenek moyang ditengah dua dataran tinggi. Terlihat di kanan jalan ada semacam trap-trap tangga yang dibuat dengan memanfaatkan tanah, sehingga tebing yang tinggi itu dapat dinaiki sampai ke atas. Kebetulan capek mendorong sepeda motor, rasa ingin tau dan ingin sejenak istirahat mengusik pikiran ingin menaiki tangga tanah itu. Setelah dinaiki ternyata di atas pada tanah datarnya sekira kurang dari seratus meter dari anak tangga paling atas terdapat sebuah pondok yang belum lama dibangun orang. Harapan mulai timbul, semoga beliau punya kendaraan, misalnya sepeda untuk dapat membawa ban ke bengkel. Atau punya apalah peralatan sehingga memungkinkan untuk menambal ban yang bocor di pentilnya itu. Sebenarnya ada tehnik menambalnya yaitu dengan menempelkan dua lapis karet ban agak besaran dibekas lobang pentil, sementara pentil dimasukkan dulu ke dalam ban. Kemudian setelah tertambal baru pentil ban dikeluarkan melalui lobang dilukai kecil saja, baru sekrupnya dikencangkan. Sayang tidak menduga bakal terjadi bocor dengan kasus seperti ini, sehingga tidak membawa karet ban bekas yang lebar.

Gubug itu agaknya baru, terlihat dari warna dan aroma dinding kajang (semacam dinding daun, dirakit dari daun nipah) masih berwarna dan berbau baru. Segera iapun memberi salam, biasanya sekali saja salam di suasana keheningan hutan langsung didengar orang lain. Di dalam hutan jangankan orang memberi salam, beberapa puluh meter orang lain berada disekitar kita kadang sudah dapat diketahui dengan pendengaran atau penciuman. Ternyata sudah diulang-ulang beberapa kali salam tidak ada yang menyahut, tergerak hati untuk membuka pintu yang hanya ditutup dengan ikatan tali “Kepuak” (semacam tali yang dipintal dari kulit kayu). Setelah dibuka ternyata pondok dalam keadaan tak berpenghuni. Rupanya penghuni pondok pergi ke ladang yang mungkin tidak jauh dari pondok tersebut. Hal ini dibuktikan bahwa di dapur bertengger sebuah periuk yang isinya masih ada sedikit nasi ketan dan keraknya (intip=bahasa Jawa). Kebetulan tenaga yang suduh terkuras mendorong sepeda motor ribuan meter, terasa lapar. Di parak (diatas tungku dapur, parak antara lain tempat menyimpan kayu bakar dan sisa makanan) terdapat panci masih tersisa sayur santan labu merah dengan beberapa potong belulang (kulit rusa yang dikeringkan untuk memasaknya dibakar dipotong kecil-kecil). Kerak ketan dituangi sayur santan labu/belulang, menjadi lembut dan enak sekali disantap pagi menjelang siang itu, sambil melihat kekiri kanan ruangan pondok yang cuma satu ruangan itu. Menggantung di palang kayu yang melintang di pondok selembar kain batik panjang, sepertinya digunakan untuk selimut oleh penghuni pondok, nampak dari warnanya mulai kusam. Kain lain berupa pelekat, pakaian serba guna buat orang lelaki. Sebelum ramuan kerak ketan dan sayur labu selesai disantap belum terpikir banyak terhadap kain batik panjang itu. Terlintas dipikiran kain batik panjang biasanya juga digunakan untuk ayunan menidurkan bayi, dengan diikat masing-masing ujungnya dengan tali, kemudian tali digantungkan ditiang. Tapi tidak ada tanda-tanda bayi dipondok itu. Sedangkan kain pelekat dapat digunakan serba guna oleh kaum lelaki dan perempuan, dapat buat selimut, dapat buat santai di rumah, dapat digunakan pergi ke kamar mandi. Setelah makan selesai, mulai teringat kembali ke sepeda motor yang diparkir di bawah sana, di jalan raya. mulai terpikir ke kain batik, langsung diambil dari sangkutannya di tiang melintang di tengah pondok. Setelah turun dari tangga pondok, terlintas lagi pikiran kenapa tidak sekalian kain pelekat, “sekalian bejahat” pikir petugas tadi. (Sekalian melakukan kejahatan toh dosanya sama, biar banyak sekali). Kain batik tersebut setelah kembali ke sepeda motor, digulung dan dilingkarkan buat mengisi ban, menggantikan ban dalam yang kempes tersebut, Untung sekalian tadi juga mengambil kain pelekat, ternyata ban belum kenyang hanya dengan selembar kain panjang, harus ditambah lagi dengan kurang lebih separo kain pelekat. Ee setelah kain pelekat terlajur digunting untuk dimasukkan ke ban, baru teringat bahwa ia sendiri juga ada membawa kain pelekat di dalam tas. Terlintas juga untuk mengantarkan kain pelekat kepunyaannya ke gubug di atas, tapi diurungkan karena baik motif maupun warnya sangat berdeda.

Menggunakan ban depan yang diisi dengan kain batik panjang dan sebagian kain pelekat, sementara perut sudah kenyang keganjel nasi dan kerak ketan berkuahkan sayur santan labu belulang, sepeda motor dapat dikendarai menyusuri jalan sepanjang tidak kurang enam belas setengah kilometer lagi. Ternyata goncangannya lumayan kuat, apalagi bila ketemu lekak lekuk jalan tanah yang dilalui. Motor dijalankan dengan perlahan, mengingat bannya tidak biasa. Kurang lebih tiga perempat jam sampai juga keperkampungan penduduk dimana tersedia bengkel.

Tanpa pikir panjang sepeda motor diarahkan ke bengkel, sekalian ada warung nasi dan kopi. Langsung saja ngomong ke tukang bengkel, “ban depan bocor”, sementara si pemilik motor pesan makanan dan kopi. Bengkel ini sudah lama dikenal, sebab hampir setiap bertugas di pedesaaan melalui bengkel tersebut selalu singgah, untuk ngopi atau makan, walau tidak kebetulan kebocoran atau kerusakan sepeda motor.

Alangkah tercengangnya tukang bengkel, ketika dibukanya ban berisi perca-perca kain batik dan pelekat. “Bang-bang bagaimana cara meraciknya” tanya tukang bengkel sambil ngeledek. “Udah,... ganti aja ban luar dan ban dalam cepat”, jawab pemilik sepeda motor. Rupanya kain batik tadi hancur menjadi perca-perca halus dan ban luar juga ikut rusak, tapi cara ini ternyata menyelamatkan roda kendaraan, hanya karet pelapis antara ban dan roda bagian dalam ikut putus-putus. Usai makan siang ban roda depan baik kembali, singkatnya perjalanan dapat dilajutkan ke ibu kota kabupetan, tiba di rumah sesudah magrib.

Esok harinya pengalaman tersebut diceritakan kepada rekan sekantor, mendapatkan berbagai komentar dari teman sejawat dan diantaranya juga membalas dengan informasi perjalanan berdinas di wilayah lain, baik sesama melalui jalan darat maupun laut dan sungai. Pengalaman mereka masing-masing tidak kalah serunya.

Hari berjalan, bulan berganti, tiba waktunya akan mengunjungi kembali daerah “ban kain batik panjang dan pelekat”. Si petugas ingat ada hutang sepasang kain di gubug peladangan dimana orangnya belum dikenal, tak lupa sehari sebelumnya sudah membeli kain batik panjang dua lembar dan juga kain pelekat dua helai, seperangkat mukenah berikut baju batik untuk oleh-oleh buat penghuni gubug, tak lupa pula biskuit kalengan. Kini sengaja distel tiba ke pondok menjelang zuhur, diharapkan penghuni pondok datang ke pondok sekurangnya untuk makan siang.

Betul sekali dugaan, sampai di gubug penghuni pondok peladangan sedang berada di dalam pondok mereka, sedang istirahat rupanya. Betapa senang orang berada di tengah hutan bila ada bangsa manusia yang mampir, kayaknya apapun makanan yang ada ingin disuguhkan. Rupanya pemilik pondok peladangan itu adalah sepasang suami isteri yang lumayan lanjut usia terlihat dari gurat-gurat mukanya dan pipi mereka sudah mulai kempes.

Percakapan merekapun terjadi:

Pemilik Pondok yang lelaki: “Anak ni mau kemana, sempat-sempatnya mampir ke pondok kami”,

Petugas: “Biasa pak, saya paling tidak tiga bulan sekali, melalui daerah ini untuk bertugas keliling kecamatan dan desa”.

Pemilik pondok: “Baru kali ini mampir?

Petugas : “Udah dua kali ini mampir, dulu belum pernah mampir ndak keliatan, abis letaknya di atas

Pemilik Pondok : “Perasaan kami baru sekali ini, kapan dulu pernah mampir

Petugas : “Kurang lebih tiga bulan yang lalu

Pemilik Pondok yang perempuan : “Betemu dengan siapa”, sambil melihat ke arah suaminya

Petugas: “Ndak betemu siapa-sapa, pondok ni sedang kosong”, suasa jadi hening sejenak

Petugas : “Ini ade saya bawa oleh-oleh buat bapak/ibu”, sambil dibuka dari dalam tas, dua lembar kain batik panjang, dua lembar kain pelekat dan selembar baju batik, beserta seperangkat mukenah dan sekaleng biskuit.

Penguni pondok yang perempuan: “Untuk apa ini semua”?

Petugas menjelaskan duduk soalnya, seperti telah ditulis di atas. Ibu penghuni pondok menjawab: Biasanya yang berkelauan begitu itu “KERA’” (bahasa lain untuk monyet). Menurut penuturan ibu penghuni pondok, Kera sering memakan sisa nasi di dalam “Kenceng” (istilah lain untuk periuk alat penanak nasi), lanjutnya si ibu: “kadang Kencengnya dibawa sampai keatas kayu (maksudnya pohon). Cuma ndak pernah kera membawa kain batik dan pelekat, kami juga heran”.

Petugas tersebut minta maaf beribu maaf dan minta halal atas kejadian tersebut, kejadian terpaksa harus dilakukan, karena dalam keadaan darurat. Permintaan maaf itu diterima dan dimaklumi oleh kedua orang tua sepuh tadi, dan dengan pesan pula, “kapan bertugas ke kecamatan kami kalau kecapean silakan mampir di pondok kami”.

Kesimpulan dari peristiwa ini antara lain adalah:

1. Bahwa dalam keadaan terpaksa kadang timbul jalan keluar yang tidak biasa

2. Bahwa wilayah Republik Indonesia ini memang luas, dengan aneka perbedaan kadang ekstrim, sehingga kebijakan tidak dapat digeneralisir.

3. Bahwa dalam perjalanan yang seperti itu, perlengkapan ekstra harus dipersiapkan, misalnya petugas tadi, kalaulah ia membawa cadangan ban dalam sepeda motor, pesoalannya akan teratasi dengan lebih baik.

4. Bahwa “Kera atau Monyet” hanya mengambil, apa yang diperlukannya, misalnya makanan atau paling top sekaligus tempat makanan. Manusia tidak bermoral, lebih berkemampuan mengambil bukan hanya sekedar keperluan, kalau perlu untuk persiapan tujuh turunan buktinya para koruptor biasa menggasak uang negara milyaran, padahal umpamanya dimakan sendiri sampai ia umur ratusan tahun juga ndak abis, tapi mereka ingin siapkan untuk tujuh turunan.

Petugas tadi hanya mengambil sesuai keperluan termasuk sepasang kain untuk mengganjal ban. Itupun telah dilakukan penggantian dilain kesempatan. Bertanyalah petugas tadi padaku tentang apa yang diperbuatnya tersebut dari sisi kepatutan aturan agama. Untuk menjawabnya kukemukakan beberapa rujukan ayat-ayat Alqur’an dan perilaku sahabat Nabi Muhammad S.A.W.

Jawaban kepada petugas tadi adalah:

Pertama, memasuki rumah orang lain, perhatikan petunjuk Allah di dalam surat An-Nur ayat 27 sampai 29

Ayat 27. Yaa ayuhalladziina amanuu la tadkhuluu buyuutan ghaira buyuutikum hattaa tasta’nisuu watusallimuu ‘alaa ahlihaa dzaa likum khairullakum la’allakum tadzakkarun. (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat).

Ayat 28, Fainlam tajiduu fihaa ahadan falaa tad khuluuhaa hatta yu’dzanalakum wain qiila lakumurji’u farji’uu huwa azkalakum wallahu bimaa ta’maluu na ‘aliim. (Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan).

Ayat 29, Laisa a’laikum junaahun an tad khuluu buyuutan ghaira maskuunatin fiiha mataau’llakum wallahu ya’lamu maa tubduuna wamaa taktumuun (Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan).

Kedua, langsung menyantap nasi ketan dan sayur santan labu merah rencah belulang, dalam situasi tertentu dapat dibolehkan dan dalam situasi tertentu termasuk tidak diperbolehkan. Dalam keadaan yang sangat memaksa/darurat, makanan haram boleh jadi menjadi halal, misalnya sangat lapar yang akan membahayakan jiwa, sedangkan tidak tersedia makanan lain yang halal. Dalam keadaan yang tidak memaksa/darurat, makanan yang halalpun bila sumbernya tidak jelas, maka sangat dianjurkan untuk tidak disantap. Adalah sahabat utama Nabi Muhammad s.a.w. Abubakar Siddiq, r.a. pernah memasukkan jarinya kedalam mulut beliau agar makanan yang sudah terlanjur termakan dapat dikeluarkannya, setelah diketahui dari cerita pembantunya bahwa sumber makanan tersebut dari hasil yang subhat. Sahabat nabi ini tidak mau memasukkan makanan ke dalam tubuh beliau, makanan berasal dari sumber yang “subhat:”(kurang jelas haram atau halal) apa lagi haram. Tidak seperti sebagian kita sekarang, jangankan yang suhbat, yang jelas haram seperti kasil korupsi saja disikat, malah orang yang tidak pandai korupsi dinilai bodoh.

Ketiga, tentang pengambilan kain, dinilai masih kurang ikhtiar, semestinya masih dapat diusahakan untuk mencari penghuni gubug ke lokasi peladangannya yang semestinya tidak berapa jauh dari gubugnya, sebab model peladangan berpindah seperti ini sudah maklum bahwa peladang membangun gubug baru tidak jauh dari lokasi ladangnya. Gubug dan ladang mereka akan ditinggalkan setelah kurang lebih enam-tujuh bulan sejak dibangun, hingga selesai ladang dipanen. Lagi pula di keheningan hutan, dengan berteriak, maka orang lain akan mendengarnya dan umum sudah di dalam hutan, orang yang mendengar menjawab teriakan itu.

Untunglah usia si petugas masih dipanjangkan Allah sampai tiga bulan mendatang, sehingga masih sempat menyelesaikan permasalahannya dengan penghuni pondok. Bagaimana kalau tidak sampai umur dan lupa berwasiat kepada ahli waris perihal ada sangkutan dengan penghuni pondok gubug peladangan di pelosok terpencil itu, persoalannya akan menjadi beban di yaumil hisab.