Thursday 29 September 2011

KEMARAU

Sudah hampir berakhir bulan September 2011, hujan belum banyak turun menyirami bumi nusantara. Banyak berita bahwa di beberapa daerah di Indonesia masyarakat sudah kekurangan air, banyak pula panen gagal, tanah menjadi retak. Konon lagi mengairi sawah, untuk keperluan minum saja di banyak desa sudah mulai kesulitan. Bila datang bantuan tangki air bersih pendudukpun antri menjejerkan jerigen.

Teringat masa kecilku, kota kami terletak di sebuah delta muara sungai bertatapan langsung dengan laut. Delta, kata para ahli dulunya terbentuk dari tumpukan lumpur di muara sungai. Kini dua anak sungai mengelilingi delta kami itulah sebagai sumber air tawar buat penduduk yang mendiami delta kelahiranku. Masa kecil kami belum secanggih sekarang, belum tersedia aqua, air minun tawar yang dijual di dalam galon, kemasan cup semacam sekarang.

Menurut data statistik bahwa hujan rata-rata dalam sebulan daerah kami itu adalah 16 hari. Kalaulah hujan itu sesuai statitistik maka tak akan mengalami kesulitan air minum, tapi musim kadang hujan terus menerus beberapa bulan, dulu-dulu di bulan yang akhirnya “ber”. Sementara berbulan-bulan hujan tak datang. Jika hujan tidak turun selama lebih dari dua minggu saja, sekarang ini pihak perusahaan air minum daerah sudah kesulitan bahan baku, sebab air laut sudah masuk ke kedua sungai yang mengelilingi delta dimana dari sungai itulah sumber air minum diolah. Menyikapi hal itu, maka “orang berpunya”, membangun rumah dengan menyiapkan bak penampungan air tertutup di kolong bangunan rumahnya untuk cadangan bila hujan terhenti agak lama, musim kemarau. Itu sebabnya di daerah kami walau hujan bagaimana lebatpun jarang terjadi banjir di jalan raya, karena hampir setiap rumah membuat bak penampungan air hujan. Jadi air hujan terserap ke rumah-rumah penduduk. Banjir hanya terjadi bila air laut naik disaat bersamaan hujan di hulu belum teduh. Dahulu belum ada perusahaan mengolah air minum, setidaknya ketika kota kelahiranku kutinggalkan tahun 1969 belum ada yang namanya PDAM.

Jika musim kemarau panjang, berjangkitlah penyakit muntah berak, ketika saya masih kecil dikenal dengan penyakit kolera. Wabah kolera mesti banyak membawa korban karena ketika itu belum ada pengobatan infus seperti sekarang. Penderita kadang tak bertahan, lantaran banyak mengeluarkan cairan, juga belum dikenal oralit. Dokter belum tersedia di kota kabupaten kami, hanya dilayani mantri. Pernah sebuah keluarga dengan anak lebih sepuluh orang menjadi korban kolera yang masih bertahan hanya ayahnya. Sepulang mengebumikan keluarganya yang terakhir si ayah tak dapat menahan stressnya. Dihunusnya “Mandau” ia pergi ke halaman rumahnya sambil berteriak menengadah ke langit “Tuhan kalau berani jangan hanya dengan anak dan istriku, kini hadapi aku”. Tetangga tentu tak berani mendekat, mandau terhunus, senjata kebanggaan kampung kami yang pada zamannya dipakai “ngayau” (memenggal kepala orang, kampung lain), buat mas kawin diera pra-agama berbudaya. Setelah yang bersangkutan pingsan barulah beberapa tetangga menghampirinya melucuti senjata beliau.

Lain lagi kisahnya seorang pemuda, ianya disuruh emaknya mencari air minum. Sebab kalau sekedar buat mandi dan cuci dan keperluan MCK masih dapat menggunakan air sungai yang sudah mulai payau mendekati asin. Kalau air sungai itu diminum akan mengakibatkan penyakit disamping memang rasanya ndak enak. Air tawar masih tersedia nun di hulu sungai, dengan mendayung perahu mudik ke hulu agak setengah hari. Masa itu belum diproduksi galon plastik, jerigen plastik dan ember plastik. Yang ada adalah tempayan (sejenis tempat penampungan air terbuat dari tembikar). Pendek kisah, pemuda tersebut memasukkan beberapa buah tempayan ke dalam perahu, selesai sholat subuh iapun mulai mengayuh perahunya menuju hulu sungai. “Ke kepala pulau” katanya bila kebetulan ada orang menyapanya ketika melewati “lanting orang” (lanting = bangunan kamar mandi ditepi sungai diletakkan di atas batang kayu yang timbul di air, mengapung mengikuti pasang surut air). Penyapa sebenarnya sudah tau kemana orang yang disapanya dengan melihat perlengkapannya yaitu untuk mengambil air tawar, biasa keramahan di kampung kurang pas jika ada orang lewat tidak disapa atau ditanya walau hanya sekedar basa-basi.

Hampir dzuhur si pemuda sampai di perbatasan air tawar dan air payau. Kadung sudah jauh berkayuh, sekalianlah pikir pemuda tadi, melanjutkan ke hulu sungai lagi agak seperempat jam supaya air benar-benar tawar. Sesampai di air tawar segera perahu ditambatkan di dahan pohon diteluk sungai. Delapan tempayan besar dan kecil diisi semua dengan air tawar, sebelum melepas tambatan sipemuda beristirahat sejenak sambil membuka upih bekal nasi dan lauk pauk dari ibunda. (upih= kulit pelepah pohon pinang setelah dilepas kulit luarnya. Bagian dalamnya enak dibungkuskan ke nasi buat bekal perjalanan jauh, apalagi kalau nasi beras baru). Selesai makan siang tak lupa berwudhu dan shalat dzuhur di perahu tertambat. Selesai shalat tali dilepas dari dahan pohon, perahu milir tidak begitu menggunakan tenaga, ikut arus, walau muatan syarat tak begitu mengalami kesulitan, tinggal arahkan kemudi. Baru dua tanjung satu teluk diliwati, tiba-tiba terdengar guntur diiringi petir. Pemuda tadi memilih untuk berhenti, maka diteluk depan ia kembali istirahat menambatkan perahu di dahan pohon yang menjuntai kesungai. Sejurus kemudian hujan turun dengan lebatnya, sementara pandangannya dilayangkannya ke langit disekitar kampung. Yakinlah ia bahwa musim kemarau telah berakhir. Dalam keadaan hujan yang masih lebat itu, tanpa pikir panjang semua isi delapan tempayan ditumpahkan ke sungai, sebab percuma pikirnya, berat-berat membawa toh dirumah emak sudah menampung air hujan yang segar buat minum. Begitu hujan reda dan langitpun berangsur terang, waktu sudah menjelang ashar. Tali tambatan perahu dilepas, dengan tanpa beban si pemuda mengemudikan perahunya mengikut arus. Teluk dan tanjung sungai dilalui, semakin dekat dengan kampung, udara semakin menyengat panas, sedang matahari merah kekuningan menjelang senja. Pangkalan perahu semakin mendekat terlihat emak baru saja naik dari lanting. Al hasil perahupun ditambatkan dan emakpun dengan yakin anaknya membawa delapan tempayan air cukup untuk buat masak dan minum beberapa pekan, kalaupun hujan tak juga turun. Alangkah terkejutnya si pemuda setelah diketahuinya bahwa di kampug setetes hujanpun tak ada yang turun. Apalagi si emak yang sedari tadi berharap juga sambil mendo’a agar anaknya selamat dalam perjalanan, maklum berangkat sendiri. Emak menyembunyikan kekesalannya setelah diceritakan apa yang dialami anaknya. Tapi yang sangat kesal/kecewa si pemuda atas kesia-siaan yang dialaminya hari ini, bayangkan sudah capek tidak membawa hasil. Pikiran kekecewaannya ini rasanya harus membalas dendam, tapi dendam kepada siapa?. Magribpun tiba, ia segera mengambil wudhu dengan air sungai yang payau itu, sebagaimana layaknya seorang yang akan shalat, ia berpakaian serapi mungkin, pakai sarung baju teluk belanga dengan kopiah almarhum ayahnya yang biasanya hanya hari raya saja ia pakai. Setelah sajadah dibentangnya iapun mengangkat takbir, setelah takbir ia tidak melanjutkan shalatnya. Emaknya kaget melihat perilaku anaknya itu. “Eee kenapa kau ini nak” tanya emaknya. “Biar buat stand satu satu”, jawab si anak. “Apa maksud kau”, lanjut emak. “Tadi siang Tuhan memberi pengharapan buat saya mak, sekarang saya balas beri harapan pada Tuhan, dengan rencana shalat tapi ndak jadi”. Pahamlah si emak rupanya si anak ingin balas dendam pada Tuhan yang siang tadi memberi tanda hujan di tempat ia mengambil air tawar, ternyata setelah pulang didapatinya hujan tidak turun dirumahnya. Sekarang ia membalas pura-pura akan shalat kemudian tidak jadi. Emak sebentar tertegun sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya si anak ingin membalas dendam kepada Tuhan. Kemudian se emak menasihati anaknya, pada pokoknya beliau nasihatkan:

1. Ketahuilah bahwa apapun yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Kemarau diciptakan merupakan rahmat Allah untuk sebagian makhluknya. (penulis: tentu maksud emak tadi kalau tidak ada kemarau panjang, bagaimana petani garam dapat mengkristalkan air laut menjadi garam. Kemarau sangat ditunggu petani tembakau).

2. Sesuatu yang engkau anggap baik, belum tentu baik buatmu dan sesuatu yang kau anggap buruk belum tentu tidak baik buatmu.

Emak juga menjelaskan bahwa kalau sekedar untuk masak dan minum agak dua hari kita masih punya. Jadikan pengalaman ini menjadi pelajaran buat kemudian hari.

Kejadian ini setidaknya berhikmah menjadi pelajaran buat si pemuda kalau mendengar kabar akan sesuatu yang menggembirakan jangan langsung percaya dan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada. Dari peristiwa ini timbul pepatah “Mendengar guntur di langit air di tempayan ditumpahkan” pepatah pusaka melayu ini mengandung makna, jika diperoleh kabar tentang akan datang rizki, atau keberuntungan jangan buru-buru gembira, apalagi langsung memboroskan cadangan/persediaan yang sudah ada.

Wednesday 21 September 2011

TUA SEHARI

Botol itu kesenggol ketika saya ambil sedikit isinya, untung reflek, saya tangkap dan tegakkan kembali, kalaulah terlambat sedikit saja tentu isinya banyak yang terbuang. Untuk menghindari terjadi kedua kali tumpah, saya pindahkan isinya ke botol-botol kecil, ternyata banyak juga jadinya, tujuh botol. Pikir saya jika saya memerlukan hanya menggunakan salah satu botol, kalaupun kesenggol lagi paling top tumpahnya sebotol kecil. Hal itu saya ceritakan kepada seorang teman. Teman ini dengan cekatan mengomentari, semestinya tidak perlu kau pindahkan ke sejumlah tujuh botol kecil, cukup pindahkan ke satu botol kecil saja, minyak gosok yang lain biarkan saja tetap di botol besar. Bila isi botol kecil sudah hampir habis, isi lagi.

Benar juga pendapat teman saya ini, tetapi kayaknya apa yang telah saya lakukan juga tidak salah. Pendapat teman tadi lebih irit wadah yaitu hanya dua, satu botol besar satu botol kecil. Juga menyimpannyapun tak banyak gunakan tempat. Ee sikap sayapun tak juga salah, sebab dengan botol-botol kecil mudah menyimpannya, jika minyak gosok tersebut ternyata mujarab dan ada orang yang memerlukan, tinggal ambil botol kecil langsung berikan, tanpa harus menyalin lagi.

Dilain kesempatan, dia menceritakan, “saya diutus oleh institusi saya bekerja untuk hadiri pertemuan disuatu rapat penting di sebuah hotel, dimana yang menjadi peserta adalah berbagai instansi dan institusi. Rata-rata setiap institusi mengirimkan 3 orang. Mengetahui kenyataan ini saya coba mencari-cari teman lain dari cabang lain dalam daftar hadir, ternyata tidak ada teman sekantor lainnya yang diutus menemani saya. Orang lain kurang berbobot maka untuk rapat seperti ini instansinya mengirimkan tiga orang”.

Pokoknya ini teman pembawaan dan pembicaraannya tidak pernah mau kalah. Jangankan kalah draw saja kayaknya ia tidak mau. Apapun dia harus lebih, harus ter, kita cerita apapun ia lebih ia tetap di atas. Mungkin pembaca banyak ketemu sosok teman seperti ini, atau coba introspeksi mungkin justru yang “paling terdekat dengan diri kita” yaitu diri sendiri punya hoby seperti ini. Di kampung kami orang yang mempunyai kebiasaan demikian dijuluki “Tua sehari”. Dijamin pribadi seperti ini kurang disukai banyak orang, dicibirkan orang, jauh ditunjuk dengan telunjuk, dekat dicibir dengan bibir, begitulah ungkapan yang tepat buat pribadi ini, tapi orang ini ada. Kegemaran penempatan diri diatas orang lain itu, sering juga diistilahkan sebagai “pembual”. Tapi pembual ada kalanya bukan bertujuan untuk meninggikan diri, tapi sebagai media hiburan. Justru pembual berkonotasi hiburan ini banyak disenangi teman-teman, kehadirannya disetiap kesempatan santai ditunggu, untuk pelipur lara.

Dikalangan persahabatan ngobrol di kampung kami, memang tersedia semacam kompetisi siapa yang paling besar bualnya. Tapi soal membual ini dilakukan bukan untuk membangga diri, atau untuk menempatkan diri paling, atau ter dari orang lain. Lazim untuk pengisi waktu ketika misalnya ronda malam kampung. Sementara memecah keheningan berjaga di pos roda, biasanya anggota jaga gantian sebesaran bual. Aturan mainnya, pendengar bual tidak boleh mengatakan “masa?” atau kata-kata lain yang menunjukkan ketidak yakinan atas bualan temannya, walau boleh bertanya. Paling mantap ia kembali menjual bualnya, kalau dapat mengalahkan bual teman yang tadi membual yang pertama. Pendengar lain yang menentukan bualan siapa malam itu yang paling pembual dan disini yang dinilai juga unsur lucunya, maklum sekaligus menghibur sambil memecah kesunyian berjaga malam di pos ronda. Orang yang sering menang dalam berbual ini juga mendapat julukan dari komunitas kampung “Tua sehari”, dari siapapun itu lebih unggul lantaran lahirnya kedunia sekurangnya lebih tua sehari dari orang lain. Istilah “tua sehari” ini diberikan kepada orang yang pembawaannya dari segala macam keadaan tidak mau dikalahkan orang lain, termasuk dalam membual dalam arti hiburan tadi tidak terkalahkan.

Contoh bual hiburan itu, suatu malam di pos ronda bang “Anis” dan bang “Uning” sedang berbual. Yang mula menjual bualnya bang Anis: “Setelah shalat subuh saya dengan isteri pergi memancing ke pesisir pulau. Tiga jam kemudian terasa pancing mulai dimakan ikan. Isteri saya pegang kemudi sampan, pancing saya tarik ulur mengikuti jalannya ikan agar pancing tidak putus dan ikan dapat ditangkap (istilah kampung kami “ngajar” yaitu mengikutkan berenangnya ikan sambil memendekkan senar pancing agar ikan berangsur mendekat ke permukaan sambil menunggu ikan letih, ngajar semakin lama kalau ditenggarai ikan besar). Bukan main lama ngajar ikan itu sampai masuk waktu zuhur baru berhasil menaikkan ikan ke perahu. Rupanya pantas aja lama sekali ngajarnya, ikan “Senangin” besar sekali panjangnya saja sepanjang perahu kami, hampir magrib kami baru sampai di pantai”.

Apapun yang dibualkan bang Anis, pendengar lainnya kudu terima ndak boleh protes, mengatakan “bohong” ndak masuk akal dan lain perkataan yang dapat dipersamakan dengan itu. Tapi boleh bertanya misalnya ikan sebesar itu dimuat dalam perahu bagaimana bang Anis dan Isterinya duduk, apa ngak repot. Bagaimana menaikkan ikan ke perahu di laut walaupun tenang tetap aja bergelombang. Senar model apa pancing bang Anis, demikian terms and conditions kompetisi ini. Dengan piawai bang Anis melayani pertanyaan, juga jawabannya ndak boleh diprotes tapi boleh tetap ditanya. Justru salah satu faktor yang dinilai di dalam kompetisi ini adalah kecekatan dalam menjawab pertanyaan. “Bang-bang, bagaimana cara abang dan isteri naikkan ikan ke perahu”? Tanya seorang pendengar. Dengan sigap bang Anis menjawab: “Begitu diketahui kilasan ikan dipermukaan laut, ikannya sangat besar, kami segera menenggelamkan perahu, pelan-pelan ikan dihalau masuk ke dalam perahu barulah perahu kami timbulkan dengan membuang air dari dalam perahu”. Penanyapun terdiam dan tidak boleh berkata “bang Anis bohong” atau “akh ndak masuk akal”. Penanya lain nyeletuk “rupanya besar ukuran perahu bang Anis”, “ndak juga, cuma kurang lebih delapan belas hasta” jawab bang Anis. “Joran pancingnya besar bang, dibuat dari bahan apa?”. Sekaligus bang Anis menjelaskan “jorannya terbuat dari semambu Marau (sebangsa rotan besar) sedang senarnya nilon “cap kepala” dipesan dari anak kami dari luar negeri”. “Bang Anis, apa kiatnya agar mancing mudah dapat ikan”? tanya salah seorang selanjutnya. Dalam hal ini bang Anis sedikit agak mistis. “Joran pancing biar “penganyeran” (mudah dapat ikan bila digunakan mancing) ada itungannya”. Hadirin jadi pengen tau itungan itu, maklum kalau sudah berbau mistis orang banyak suka. “Sebelum joran dipotong, bang Anis meneruskan. “Dihitung dengan kepalan tangan mulai dari “Cap”, “Jangking”, “Mengkiding”, “Melalang” dan terakhir “Melangut” lalu diulangi seberapa panjang yang dikehendaki, setelah panjangnya cukup pada hitungan “Cap”, atau “jangking” berhenti karena itu yang paling baik. Kurang baik kalau sampai kembali kehitungan “melalang” dan “melangut. Sekurangnya hitungan dapat ditolerir Mengkiding”. Kalau “melangut” amalat dari mulai pancing dilempar kelaut sampai pulang pancing ndak disentuh ikan. Kalau “mengkiding”, Ikan akan takut/bergidik melihat umpan pancing dan lari jauh-jauh dari area pemancngan”.

Alhasil bang Anis berhasil meyakinkan penanggap bualnya pergi memancing mendapatkan ikan “Senangin” panjangnya sekurangnya hampir delapan belas hasta. Pendengar membayangkan kalau panjang ikan delapan belas hasta lebarnya mungkin lebih lebar dari sampan bang Anis. Tentu ikan berat sekali, tentu perahu bang Anis akan tenggelam kalau cerita itu benaran. Apa boleh buat aturan main hanya boleh bertanya, tidak boleh membantah, protes apalagi mengatakan bohong.

Setelah suasana hening tidak ada lagi tanya jawab, giliran “bang Uning” menjual bualannya. Sambil membetulkan sarung yang dibekali “kak Uning” istrinya, ia memulai bualannya: “Uning kau” (panggilan julukan untuk istrinya di masyarakat kampung. Biasanya jika suaminya dipanggil bang Uning istrinya juga disapa kak Uning untuk orang sebaya, sedang untuk generasi berikut pak Uning dan mak Uning memanggil mereka). “Uning kau sambil merepet (setara dengan ngomel bahasa Indonesia), “percuma punya tanah luas, untuk masak, serai aja harus beli. Coba ni ada serai yang saya beli dari pasar sebatang dua tanam di belakang sana”. “Petang hari kubawa cangkul untuk nanam serai di belakang rumah kami. Eee ketika baru cangkul diayunkan ke tanah, tiba-tiba kebentur benda keras “kletek” suaranya melengking. Pelan pelan kukais-kaiskan cangkul supaya ndak beradu langsung dengan tu besi. Makin kukais besinya makin muncul agak panjang dan besar. Makin penasaran aku dibuatnya, sementara matahari makin condong. Belum kudapat wujud benda itu. Jangan-jangan harta karun pikirku, tapi baiklah lanjutkan nanti lepas magrib. Hal tersebut Uning kuberitahu, dia juga semangat maklum ada dugaan dapat rezeki harta karun, atau apalah benda berharga mungkin rezeki si cabang bayi anak kami pertama yang akan lahir empat bulan lagi. Selepas magrib dengan suluh dari daun kelapa yang selalu siap beberapa potong nyandar dibalik pintu, Uning kau menyalakan suluh, sementara aku terus mengais-ngais dengan cangkul dan juga linggis. Jerih payah kami rupanya tidak sia-sia, nampak wujud besi itu ternyata kuping kuali. Bukan main besar kuping kuali itu, lebarnya kuping kuali kurang lebih sebesar lingkaran drum muat tigaratus liter. Kami makin penasaran apa ada kuali sebesar itu, tapi penasaran kami terobati sendiri, ini mungkin kuali orang zaman dulu, lazimnya ada harta lain sebagai turutannya, maka penggalian kami teruskan sampai menjelang fajar. Ternyata itu kuali benar benar lebar, garis tengahnya kami ukur duapuluh empat hasta. Wah ini penemuan hebat, walau ndak dapat harta karun, penemuan ini besok pasti mendatangkan rezeki. Biasa kalau ada hal yang aneh banyak orang ingin nonton tentu dapat dipungut karcis masuk ke belakang rumah kami. Belum lagi kalau banyak pengunjung, nanti Ngah Denok si penjual cendol akan buka jualan di halaman rumah akan dapat dikenakan retribusi paling tidak 5%. Belum lagi Pak Cik Midin jual bubur ayam dan pedagang lainnya, pokoknya jadi ramailah halaman rumah kami”.

Suasana makin larut malam, penanggap bualan juga mungkin sudah mulai ngantuk, untung ekspresi dan bahasa tubuh bang Uning menuturkan bualnya lumayan baik, mereka tetap betah menunggu sampai akhir kisah. Setelah selesai banyak juga pertanyaan antara lain: tentu tanah galiannya banyak, dibuang kemana, apakah selanjutnya kuali temuan itu diangkat, apa mampu cuma berdua dengan isteri yang sudah hamil 5 bulan mengangkat itu kuali, apa sempat dicuci dan lain pertanyaan lainnya. Semua pertanyaan dijawab oleh bang Uning. Ketika sampai pada pertanyaan “Nanti bang Uning akan gunakan buat apa itu kuali, apa di pakai sendiri atau di jual kilion sebagai besi tua” Bang Uning langsung menjawab “Untuk menggoreng ikan hasil pancingan bang Anis kalian, tentu muat karena panjangnya cuma delapan belas hasta”. Suasanapun riuh rendah oleh deraian tawa para peronda malam itu. Walau tidak diumumkan pemenangnya, komunitas ronda malam menobatkan bang Uning sebagai orang yang berhak mendapat julukan “TUA SEHARI”. Cerita itu juga sampai kepada penduduk kampung esok lusanya, makin terkenallah bahwa bang Uning dapat julukan “Tua Sehari”

Monday 19 September 2011

TEMU KANGEN

Secara kodrati manusia memang diciptakan berbeda-beda, bulan Qktober 2011 menurut khabar bahwa jumlah penduduk dunia akan mencapai 7 M. Jikapun ada diantara penduduk dunia itu yang mirip satu dengan yang lainnya tetapi sudah dapat dipastikan tidak akan sama persis. Itu salah satu kehebatan kekuasaan Allah menciptakan manusia, biar orang terlahir kembar sekalipun tetap dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

Perbedaan itu tidak berhenti dari wajah, postur saja, tetapi juga tingkat intelejensi, selanjutnya nasib dan keberuntungan masing-masing. Lantaran nasib dan keberuntungan terjadilah perbedaan; orang ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang sedang-sedang saja. Ada orang yang tinggi kedudukannya dalam masyarakat, ada orang yang jabatannya tinggi di dalam suatu institusi dan bahkan dalam suatu negara.

Era internet ini cukup memberikan peluang antar kita sesama tukar buah fikiran dan angan, tukar gagasan dan cita-cita, saling tanggapi insya Allah menuju kebaikan. Kebetulan saya adalah penulis dalam blog spot “syarif arbi. blogspot.com.”, banyak pembaca yang menanggapi tulisan itu, baik teman dalam satu komunitas maupun jaringan face book umumnya. Untuk itu saya ucapkan terimakasih. Kebetulan ketika masih diusia produktif dulu saya sempat bekerja di berbagai sektor seperti wiraswasta, perusahaan swasta, pegawai negeri dan surat kabar sebagai wartawan dan RRI sebagai penyiar, terakhir di Bank milik negara. Itu sebabnya diri ini banyak tergabung di komunitas-komunitas tersebut. Sebelum pensiun di BUMN merajut karier menjadi dosen dan penulis buku, kini telah menerima “Serdos”, bila panjang umur akan masih cuap-cuap sampai umur 65 tahun. Ini akan menjadi motivasi untuk saya menulis lebih banyak lagi buku, sekarang sudah 5 judul buku saya, terpublikasi. Tambah lagi komunitas yaitu penulis dan dosen.

Salah seorang satu komunitas tempat saya pernah bekerja dulu, diantaranya mengomentari blog saya, ia menulis di face book yang intinya “kini kita sudah pensiun, tidak ada lagi sekat pembatas antara yang pangkat tinggi dan pangkat rendahan”. sementara rekan lain di komunitas yang sama mengomentari bahwa antara lain “Ternyata bila terjadi temu kangen antara sesama komunitas kita, masih kentara pembedaan antara Bapak/Ibu yang dulunya berpangkat dan berjabatan tinggi, dengan kita-kita golongan rendahan ini”.

Dikesempatan ini saya akan berikan contoh suatu komunitas yang sejalan dengan kehendak rekan saya yang menulis di face book tersebut.

2 September 2011 saya memuhrimkan isteri saya memenuhi undangan “TEMU KANGEN” yang dilakoni oleh ES EM PE sebuah kota kecil di perbatasan Jawa timur dan Jawa Tengah. Tidak mengerti saya alasannya kenapa temu kangen itu terlaksana di “Wonosari” kebun teh milik PTP, suatu kawasan agro wisata yang cukup sejuk dan nyaman. Yang jelas bahwa itu adalah temu kangen yang ke empat mereka selenggarakan. Isteri saya baru diundang kali ini, lantaran rupanya panyelenggara selama ini kehilangan jejak. Maklum isteri saya, setelah menikah dengan saya mengikuti saya berdinas ke kota lain dari kelahirannya. Terminal akhir nampaknya di Jakarta. Undangan telah disebar sepuluh bulan yang lalu, nampaknya jikalah tidak ada kemudharatan yang berat sulit untuk tidak dipenuhi undangan ini.

Yakin saya, bahwa bagaimanapun akrab pertemanan ketika ES EM PE doeloe, dengan rentang waktu selama 41 tahun dari tahun 1970 sampai dengan 2011, tidak akan saling mengenal lagi biarpun berjumpa. Alamat isteri saya beberapa bulan terakhir didapatkan dan juga nomer HP, melalui ibu mertua di kampung isteri saya. Dengan telepon selular itulah mereka selama sepuluh bulan belakangan berkomunikasi. Keberangkatan kami tanggal 2 pagi dari Sukarno-Hatta Jakarta menuju Juanda Surabaya. Walau saya pernah berdinas di Surabaya selama 12 tahun, Surabaya sekarang, saya juga sudah keder. Oleh karena itu janjian lewat HP, isteri saya minta ke panitia agar dapat bareng berangkat tolong mampiri di bandara. Setelah di atur-atur salah seorang teman istri saya bernama “Musriyah” yang menyanggupi menjemput ke bandara.

Karena yakin tidak akan kenal, maka sebelum berangkat janjian warna pakaian. “Baik nanti saya mampiri di bandara, semoga saya dapat masuk ke ruang kedatangan”. Begitu penegasan Ibu Musriyah. Setelah pesawat mendarat, kami berdua yang memang bepergian kemanapun seluruh Indonesia (jika saya diundang mengajar hampir selalu ditemani isteri), kami tidak berbagasi, biar berat, hanya tas punggung dan tas jinjing. Setelah beberapa tindak kami memasuki atap bandara dari aspal lapangan terbang, HP isteri memperdengarkan bunyi ada penelepon, begitu diangkat, suara salam orang yang berada disebelah sama dengan suara telepon, rupanya suara di HP itu adalah suara penelpon disamping kami beriring jalan. Ibu Musriyah masuk sampai ke ruang kedatangan, tenyata beliau mengalungkan tanda pegawai Angkasa Pura. Sama sekali tidak ada kesulitan, langsung kami keluar bandara dan menuju kendaraan yang sudah disiapkan ibu Musriyah langsung menuju Wonosari.

Lalu lintas Surabaya-Malang benar-benar sudah padat berbeda sekali dengan belasan tahun yang lalu, dimana saya dulu sekolah dengan afiliasi sekolah ke perguruan tinggi negeri yang ada di Malang, Malang-Surabaya sudah rute perjalanan saya ketika itu. Juanda Wonosari baru dapat didatangi setelah dua setengah jam perjalanan mobil yang kami tumpangi. Yang hebatnya, sebenarnya ada pertigaan yang seharusnya sudah langsung bisa masuk ke Wonosari, tapi oleh petugas kepolisian tidak diperkenankan belok langsung, diberi pembatas dengan tali Rafia. Kami harus lebih dahulu melaju ke arah Malang sampai lebih dari satu jam, sementara arah yang berlawanan dengan kami suasananya lengang. Adalah nampaknya manajemen lalu lintas yang salah atur. Kendaraan yang seharusnya sudah mengurangi jumlah kendaraan yang menuju Malang, bertambah begitu banyak hanya pawai untuk mengeliligi kota saja. Andaikan kendaraan yang ke Wonosari dipekernankan belok, tentu jumlah kendaraan menuju Malang sudah berkurang dan lancar.

Setibanya di Wonosari, peserta diterima di ruang pertemuan semacam aula, di depan ruangan telah menanti petugas membuat pas photo terbaru para alumni, suami tidak diminta ber photo demikian juga istri dari alumni. Kepada para alumni dibagikan kaos seragam, dibedakan motip yang lelaki dan yang perempuan. Semula saya tidak mengerti untuk apa dibuat pas photo itu, setelah malam hari baru saya paham maksudnya. Ada suatu acara khusus menayangkan perbandingan photo antara photo 41 tahun yang lalu dengan photo sekarang. Kedua gambar di tayangkan melalui proyektor dalam ukuran layar lebar. Betapa riuh rendah suasana gembira, lucu haru, menyaksikan photo, peristiwa yang surprise itu. Riuh rendah dan gembira bercampur lucu karena melihat photo zaman lampau. dimana masing-masing orangpun barang kali tidak punya arsip lagi. Terharu, teringat nostalgia masa lalu, photo hitam putih dengan dandanan tempo doeloe kemudian salut kepada penyelenggara yang demikian susah payah telah mencari arsip entah bagiamana caranya. Diantara photo tersebut ada yang hanya wajahnya saja yang tampak lantaran sudah terkena noda. sebab beritanya tahun 1976 Kawedaan Jatirogo tempat SMP mereka berada pernah dilanda banjir hebat, sehinga itu photo kena banjir. bagaimanapun salut yang tinggi untuk panitia. Saya kebetulan ditunjuk diatara 5 orang dewan juri yang menentukan photo siapakah yang paling berubah dan photo siapa pula yang tetap ada kemiripin setelah selama 41 tahun itu. Kepada yang paling tersebut mendapatkan hadiah menarik.

Hadir pula ditengah-tengah alumni yang sedang temu kangen itu dua orang guru mereka yang usianya sudah benar-benar sepuh, tapi masih sempat menyampaikan kesan-kesan di dalam acara yang digelar malam harinya. Ternyata dengan sudah dileselangarakan empat kali pertemuan temu kangen ini juga, para alumni itu belum sempat benar-benar akrab dalam artian mengenal masing-masing, apalagi mengenal suami atau istri pasangan dari alumni. Salah satu acara dipajang sepuluh pasang suami isteri yang istrinya atau suaminya adalah alumni. Sementara sekelompok orang melakukan pencocokan. ternyata lebih dari 50% tidak cocok. Itulah sebabnya mereka bersepakatan bahwa tahun depan akan dilaksanakan lagi temu kangen ke lima, mengambil tempat di tempat yang sejuk di bilangan Jawa Barat. Kesan saya benar-benar acara yang disusun panitia bukan saja menarik tetapi dapat memberikan pelajaran dan patut dicontoh di pertemuan temu kangen entitas lainnya. Bukan mustahil berawal dari pertemuan ini dapat dirajut hubungan lebih baik lagi untuk kemaslahatan semua pihak, baik bisnis maupun persaudaraan lain.

Yang sangat menarik dalam pertemuan itu dicapai kesepakatan bahwa, mereka sesama alumni dalam penyapaan sesamanya tetap menggunakan penyapaan ketika SMP dulu. Tidak menggunakan kata pengganti panggilan penghormatan misalnya Mas, Pak, Mbak atau Ibu. Ini dimaksudkan agar terjalin keakraban sesama mereka. Tentu kami para suami atau para istri alumni tidak ikut dalam kesepakatan mereka itu. Sebab akan tidak enak, karena kebetulan diantara alumni itu juga banyak yang menduduki posisi penting dalam masyarakat. Sesuai ungkapan saya diawal tulisan bahwa memang manusia akhirnya berbeda karena nasib dan keberuntungan. salah satu diantaranya ada yang meraih pangkat Jendral di Angkatan Bersenjata kita, ada yang menduduki jabatan tinggi di kementerian dan tidak sedikit yang sukses dalam berkarya sebagai wirausaha.

Ini tentu tidak dapat disamakan dengan reuni atau temu kangen sebuah institusi/instansi yang memang sejak semula ketika kita masuk misalnya, sudah ada orang yang lebih senior, walau nantinya seletah dia pensiun kita yang menggantikan kedudukannya. Tetap saja bahwa ia adalah senior kita. begitu hukum organisasi berlangsung. Setelah kita menjadi senior masuk pula angkatan baru yang menjadi junior kita dan seterusnya. Cuma yang perlu dijaga, biarpun kita tadinya berjabatan tinggi, kalau sudah berada di forum komunitas pensiunan, pandai-pandai merangkai diri, sebab kita bukan lagi atasan junior kita. Insya Allah jika pandai menempatkan diri junior kita juga akan memahami bagaimana sepantasnya bersikap kepada kita. Bukankah kita sering dengar teori status. Nah kalau itu kita terapkan selamat badan dimanapun duduk.

Seorang dosen ketika mengajar di depan kelas, statusnya sebagai dosen punya kewenangan tertentu diantaranya memberikan instruksi kepada mahasiswa untuk hal-hal sesuai dengan semestinya mata kuliah yang diasuhnya. Dalam pada itu ketika hendak pulang, terjadi hujan lebat, seorang mahasiswi akan pulang tidak dapat tumpangan, sementara sulit mendapatkan kendaraan umum. Si dosen bermurah hati memberikan tumpangan kebetulan arah pulang sama. Kini statusnya sudah berubah, si dosen pemilik mobil dan si mahasiswi penumpang kendaraan. Instruksi sudah beda kalaupun ada, si mahasiswi juga harus tau diri sebagi penumpang. Kebetulan setelah sampai di halaman rumah mahasiswi, hujan makin menjadi-jadi, dikhawatirkan akan banjir, terpantau disiaran radio lokal. Si mahasiswi menawarkan masuk kerumah menunggu sampai hujan teduh dan banjir mulai surut. Status sudah berubah lagi si dosen bukan lagi dosen, bukan lagi pemilik mobil, tapi seorang tamu yang harus tau diri sopan santun seorang tamu. Si mahasiswi juga bukan lagi mahasiswi tapi seorang tuan rumah (sahibul bait) bagaimana seharusnya bersikap menghormati tamu. Dalam konteks seperti ini ada pepatah orang tua kita dulu “hidup dikandung adat mati dikandung tanah”.

Friday 16 September 2011

TIGA KECENDERUNGAN MANUSIA

Manusia di dalam menempuh hidup ini tidak akan luput dari kecenderungan yang tiga yaitu: Prasangka, Takut Risiko dan Ingin Untung.

1. PRASANGKA

Sejak bayi manusia sudah mempunyai pembawaan berprasangka dengan konotasi pihak lain diluar dirinya harus disikapi dengan hati-hati, karena akan dapat mencelakakan dirinya. Begitu terlahir bayi akan menangis, karena merasakan sesuatu yang asing dari yang dirasakannya selama di dalam kandungan ibunya. Selanjutnya menangis dijadikan sarana baginya untuk menolong dirinya untuk beberapa keperluan, buat menyatakan lapar dan haus, menyatakan kondisi sekeliling tubuhnya kurang enak. Perkenalan pertama terhadap manusia adalah orang-orang yang ada disekelilingnya, semula orang tersebut diduga akan membahayakan ternyata tidak, karena dari orang yang dekat dengan dirinya diperoleh minuman dan makanan serta memberikan kesegaran tubuh seperti memandikan, mengganti pakaian dan lain-lain keperluan. Bila disuatu keadaan ada orang lain yang mencoba mendekatinya selain yang biasa ia kenal, maka prasangka buruk akan timbul bagi si bayi, ia tidak langsung bersedia digendong, ia akan menangis sebagai ungkapan keraguannya untuk memberitahukan kepada orang yang biasanya ia kenal. Bahwa ada yang tidak ia suka karena akan mengancamnya. Pembawaan manusia ini terbawa sepanjang hidupnya. Kadar prasangka tinggi rendahnya tergantung pengalaman yang alami individu yang bersangkutan. Orang yang hidupnya di kota besar, prasangka negatif lebih tinggi dibanding orang yang tinggal di pedesaan.

Rumah orang di kota besar, pintunya senantiasa tertutup dan bahkan berkunci siang malam, dilengkapi pula dengan pagar tinggi pintu pagar berkunci di atas pagar ada kawat berduri. Tidak ketinggalan ada system alarm. Sedang rumah orang di desa, kadang tidak ditutup di siang hari, tidak ada pagar tinggi dengan pengamanan kawat berduri dan alarm. Jikapun ada pagar kadang sekedar pembatas halaman dengan jalan dan tetangga kiri kanan dan belakang rumah.

Di kota bila ada tamu yang ingin berkunjung, sebelumnya konfirmasi dulu, sedang di desa tamu datang langsung dapat ke rumah. Di Kota jika ada seseorang diluar pagar menekan bel rumah, isi rumah tidak langsung membukakan pagar, karena penuh curiga. Bukan berarti orang di desa sama sekali meninggalkan kecenderungan manusia berprasangka, hanya kadarnya lebih kecil dari orang kota. Penyebabnya adalah di kota penduduk lebih banyak sehingga tidak mudah saling kenal mengenal.

2. TAKUT RISIKO

Manusia normal pasti takut terhadap risiko. Naluri manusia sadar maupun tidak sadar tetap berupaya menghindari risiko. Kendati semua orang paham bahwa ada risiko yang tidak dapat dihindari (seperti mati) semua orang pasti akan mati. Selanjutnya risiko yang ditakutkan oleh manusia umumnya yaitu:

a. Murni/fundamental. Adalah risiko yang tidak disengaja, misalnya kebakaran, pencurian, penggelapan, bencana alam. Untuk menghindari risiko ini manusia secara naluri berusaha melakukan pengamanan sebelum risiko itu datang, dengan berhati-hati, waspada dan melakukan persiapan penanggulangan bila risiko itu datang juga.

b. Risiko statis. Risiko yang tidak ada hubungan dengan perkembangan ekonomi dan IPTEK misalnya: Risiko hari tua Risiko Kematian. Risiko hari tua membuat manusia menyiapkan diri dengan menghimpun harta, selagi muda atau bekerja disuatu institusi yang memberikan jaminan masa tua. Tidak sama keberuntungan setiap orang menerima risiko hari tua ini. Yang sama adalah masing-masing berupaya menyiapkan diri. Ada orang yang bernasib baik, harta dihimpunnya di masa muda dapat dinikmati di masa tua sampai akhirnya ia meninggal. Sementara anak keturunannya berbakti kepada orang tuanya. Dalam pada itu ada orang yang kurang beruntung, tak berhasil menghimpun harta di masa muda untuk masa tua dan jikapun punya anak keturunan kurang dapat pula berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Risiko mati, semua manusia sadar bahwa dirinya bagaimanapun akan tutup usia, orang yang beragama dan insyaf, akan mengumpulkan bekal untuk kehidupan sesudah mati.

Takut itu disebabkan keadaan yang belum pernah terjadi pada dirinya, tetapi boleh jadi akan terjadi dan bahkan ada yang pasti akan terjadi. Pada saat sesuatu yang ditakutkan itu terjadi, takut itu akan pergi, karena ditakutkan atau tidak ditakutkan sama saja sebab telah terjadi.

3. INGIN UNTUNG

Kecenderungan manusia ingin untung, kadang karena ingin untung justru malah merugi. Manusia cenderung ingin untung, karena memang manusia terlahir dengan kekurangan. Berapa banyakpun harta kekayaan, manusia tak kunjung puas. Kecenderungan ingin untung ini, belakangan dimanfaatkan oleh para penipu dengan menjanjikan hadiah melalui telepon dan SMS.

Dalam kaitan ini agar kita sekalian dapat mengendalikan kecenderungan ingin untung yang memang sudah menjadi kodrat manusia, ada petunjuk Allah untuk manusia meraih keuntungan yaitu :

Qad aflakhalmu’minun (Q.S. Al-Mukminun ayat 1)

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman

a. Beriman

Orang yang beriman hidupnya akan senantiasa beruntung sebab seluruh apa saja yang dialaminya, ia akan berserah diri kepada Allah. Ketika ia mendapatkan keberuntungan kebahagiaan, ia menerimanya dengan penuh rasa syukur. Anugerah Allah diterima dan digunakannya sesuai peruntukan yang diatur oleh Allah dan Rasul. Orang beriman tidak menggunakan nikmat Allah, berupa kekayaan, jabatan dan kebahagiaan untuk hal yang justru merusak dan merugikan orang lain. Ketika orang beriman mendapat musibah ia akan bersabar sambil berdoa. Ia berdo’a agar Allah menghindarkan dirinya dari segala macam kerugian, bencana dan bahaya serta memberikan kesabaran baginya menerima cobaan. Kesabaran dan do’a ini membuat orang beriman selalu beruntung karena Allah akan memberikan pahala atas kesabarannya dan akan mengabulkan do’anya walaupun mungkin lambat misalnya diujung hayatnya atau akan ditemuinya terkabulnya do’a itu setelah di akhirat. Ketika ada berita hadiah misalnya, ia akan mengkaji terlebih dahulu, tidak asal terima, apakah hadiah/keberuntungan ini sesuai dengan kaidah keimanan yang dianutnya.

b. Shalat

Al ladzi nahum fii shalatihim khasyiu’un.

(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,
(Q.S. Al Mukminun ayat 2) dan ayat 9

Walladzinahum ‘alaa shalawaatihim yukhaafidhuun

dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.

Keberuntungan orang shalat dengan syarat bahwa shalat tersebut dilaksanakan dengan baik dan selalu berusaha untuk melaksanakan shalat berjamaah maka akan menerima banyak sekali keuntungan langsung selama berada di dunia ini, apalagi di akhirat nanti dengan ampunan dan rahmat Allah. Shalat sendirian saja bila terlaksanakan dengan benar, akan mencegah perbuatan yang keji dan mungkar sejalan dengan janji Allah “Inna shalata tan haa anil fahsya i wal mungkar”. Keberuntungan di dunia ini benar-benar dinikmati oleh orang yang jauh dari perbuatan yang keji dan mungkar. Orang yang berbuat keji kalau diketahui masyarakat akan dikucilkan. Orang yang melakukan kemungkaran, misalnya ambil contoh yang gemar dilakukan orang-orang yang punya kesempatan korupsi. Umpamanyalah memungkinkan lari keluar negeri, tapi hidup tetap tidak tenang. Jangankan keluar negeri dengan predikat lari, sedangkan bepergian biasa saja, tidak mengenakkan alias tersiksa, bila dibandingkan dengan berada di rumah sendiri, segala serba terbatas. Itu sebabnya orang dalam perjalanan mendapatkan kemudahan dalam shalat seperti jama’ dan qasar. Bagi orang shalat, dari waktu ke waktu iman diperbaharui, sehingga bila kesempatan korupsi itu muncul menjelang shalat zhuhur, setibanya shalat zhuhur setelah shalat niat itu terurungkan dengan pembaharuan iman ketika shalat (keculai shalatnya tidak benar, tetap saja tidak berbekas), tetap saja perbuatan keji dan mungkar berjalan terus.

c. Memelihara lidah

Walladzi nahum anillaghwi mu’ridhuun

dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,

(Q.S. Al-Mukminun ayat 3)

Adalah beberapa melapetaka disebabkan oleh perkataan, orang sulit melupakan kalau tersinggung perasaan karena menerima perkataan yang menusuk perasaan. Oleh karena itu maka Allah memperingatkan jauhilah ngomong yang tidak berguna, karena kalau banyak ngomong yang tidak berguna maka ada banyak kemungkinan salah. Kesalahan akan sangat fatal dan tidak menguntungkan bila menusuk perasaan orang lain, menimbulkan fitnah. Titik berat ngomong ini adalah terutama jangan ngomongi orang atau terkenal di dalam terminologi agama ghibah.

Hanya ada 5 ghibah yang dihalalkan yaitu: Bila terzalimi, Memberi kesaksian, Kasus yang ditanyakan, Contoh dalam dakwah dan Gelar seseorang kalau tidak disebutkan orang tersebut tidak dikenal. Diluar itu ghibah dilarang dan diancam dengan dosa diantaranya memakan bangkai saudaranya. (QS Al-Hujurat ayat 12)

Wala yaghtab ba’dhukum ba’dha, ayuhibbu ahadukum an yak kula lahma akhihi maitan fakarih tumuhu

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?

d. Menunaikan zakat

Walladzii nahum liz zakaati faa ‘iluna (Dan orang yang menunaikan zakat) Al-Mukminun ayat 4

Salah satu dampak zakat bagi penerima dan pemberi zakat adalah terjalinnya keharmonisan hubungan antar manusia selanjutnya akan menciptakan tatanan masyarakat yang kondusif sehingga menguntungkan semua pihak.

e. Memelihara kehormatan diri dalam mengendalikan nafsu

Walladzii nahum lifurujihim haafidhuun(a) (Orang yang selalu memelihara kehormatan dalam mengendalikan nasfu sexualnya). Al Mukminun ayat 5

Banyak ketidak beruntungan yang terjadi sebagai akibat mengumbar nafsu sex, untuk diri pelakunya sendiri, terhadap masyarakat dan bangsa.

f. Memelihara amanat

Walladzi nahum liamaanaatihim waa’ahdihim raa’uun(a) (Orang yang memelihara amanat). Al-Mukminun ayat 8.

Ketika amanat sudah tidak lagi dipegang, maka keberuntungan tidak lagi akan dapat diraih baik orang yang mencederai amanat dan pihak korban pengkhianatan amanat. Negara kita menjadi begini lantaran banyaknya pemangku amanat yang tidak lagi memegang amanat. Oleh karena itulah keberkatan tidak turun di negeri ini. Walau kita dianugerahi bumi dan air yang kaya raya. Tetapi bangsa ini tetap terpuruk, justru menjadi hamba sahaya di negeri orang yang mestinya miskin akan sumber daya alam. Sementara kekayaan alam di dalam negeri jikapun anak bangsa dapat menikmatinya hanya sebatas sebagai kuli, sedang tuannya masih diserahkan kepada bangsa asing.

Allah menjanjikan “Walau anna ahlal quraa aamanu wattaqau la fatahnaa ‘alaihim barakaatin minas samaai wal ardhi, walaakin kadzdzabu fa akhadznaahum bimaa kaanu yaksibuun. Al-A’raf 96

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Salah satu bentuk pendustaan ayat-ayat Allah adalah mengkhianati amanah seperti korupsi dan tidak menjalankan tugas sesuai amanah. Karena itu wajar bila bukannya keberkatan yang diterima penduduk-penduduk negeri ini, melainkan siksa dirasakan segala lapisan dan strata. Bagi yang miskin penderitaannya sebagian dipertontonkan di media elektronik dan diberitakan di media cetak. Para pembesar negeri ini dan para hartawanpun jangan dikira tidak mendapat siksa, saya kira perasaan tentram tidak dimiliki lagi oleh pembesar negeri ini dan juga hartawan tidak benar-benar merasa aman.

Hanya ini yang dapat kulakukan terhadap, keresahanku menyimak merajalelanya korupsi dan ketidak jujuran bangsa ini. Sepertinya bangsa ini sudah mewakili seluruh ummat nabi-nabi terdahulu yang pernah mendapat hukuman langsung dari Allah. Hukuman tidak langsung diturunkan Allah karena terkabulnya do’a Rasulullah yaitu Rasulullah Muhammad pernah berdo’a akan empat azab jangan diturunkan untuk ummatnya. Dua diantaranya dikabulkan dua hal ditolak.

Dua yang dikabulkan ialah tidak turun azab Allah dari atas dan dari bawah seperti ummat nabi terdahulu, seperti ummat nabi Nuh, Ummat nabi Luth Ummat nabi Sua’ib. Walaupun kini tingkah polah bangsa kita sudah berbuat seperti ummat nabi-nabi terdahulu.

Sedangkan dua yang tidak dikabulkan Allah ialah nabi Muhammad memohon agar ummatnya tidak berpecah belah dan ummatnya tidak benci membenci. Apa yang kita rasakan sekarang, kita terpecah belah dengan berbagai aliran golongan, kadang satu golongan membenci golongan lain.