Salah satu syarat agar hidup ini dijalani dengan ihlas, adalah melihat segala sesuatu secara cerdas. Suatu keadaan, kenyataan, kehadiran apa saja dihadapan kita jika dilihat secara cerdas sampai ke hakikatnya akan didapat nilai yang terkandung didalamnya begitu dalam.
Contoh, sepiring nasi, kadang ada orang yang sehari menghadapinya 3 kali, ada yang 2 kali dan juga ada diantaranya untuk mendapatkan 1 kali saja sehari setelah dengan berikhtiar begitu susah payah.
Pengkajian dari frekuensi perolehan sepiring nasi tersebut dapat membuat pihak kita orang berkecukupan umumnya mengkonsumsi 2 sampai 3 kali sehari, membaca secara hakiki fenomena ini dapat menarik kesimpulan:
· Pertama, bahwa kita bersyukur di beri Allah rezeki yang cukup, sehingga sanggup mendapatkan 2 atau 3 kali sepiring nasi dalam sehari. Karena ada orang lain yang tidak mendapatkan sepiringpun seperti isi piring kita walau sudah membanting tulang memeras keringat.
· Kedua, perlengkapan nasi sepiring itupun tiap orang berbeda-beda sesuai tingkat kekuatan ekonominya, tergantung kondisi kesehatannya. Bedanya mulai dari kualitas nasinya sampai keanekaan lauk pauknya. Sementara ada kelompok orang kualitas dan lauk pauk tidak begitu penting, pokoknya kenyang. Ada kelompok orang yang jumlah nasinya sedikit, sedangkan lauk pauknya memenuhi kandungan gizi dengan perhitungan yang cermat guna menjaga kebugaran. Kelompok terakhir umumnya hidup di atas berkecukupan atau oleh dokter dianjurkan mengurangi mengkonsumsi nasi karena sakit tertentu.
· Ketiga, di dalam seperangkat nasi sepiring berikut lauk pauk dan perlengkapannya yang hadir kehadapan kita, baik mewah maupun sederhana, semuanya itu tidak akan hadir dengan sendirinya, banyak pihak yang terlibat sehingga terkemas separangkat nasi sepiring tersebut. Mari kita lihat secara hakiki yaitu:
o Materi nasi, terbuat dari beras, beras dari padi, padi ditanam di sawah, sawah diolah petani, diberi pupuk. Setelah padi menguning dituai dan diolah menjadi beras di penggilingan gabah, beras diangkut ke pengecer, debeli oleh ibu rumah tangga, di tanak oleh ibu rumah tangga atau pembantu rumah tangga, barulah dihidangkan ke dalam piring. Dari materi nasi ini bila kita lihat begitu banyak pihak yang terlibat yaitu: Petani, Buruh pabrik pupuk, Buruh penggilingan gabah, Buruh angkutan, Pedagang pengecer, Juru masak. Buruh pembuat pabrik pupuk, Buruh pembuat pabrik penggilingan gabah, Buruh pembuat sarana pengangkut, Buruh pembuat karung dan seterusnya, demikian banyak manusia ciptaan Allah yang berperan serta dalam pengadaan “nasi” yang kita konsumsi setiap hari itu.
o Materi lauk pauk, seperti ikan, daging, sayur, buah-buahan. Semuanya hadir mengiringi nasi adalah hasil dari aktivitas manusia ciptaan Allah yang berpropfesi sebagai nelayan, peternak petani sayur dan buah-buahan, pedagang ikan dan sayur, tukang pembuat perahu, insinyur pembuat mesin kapal, buruh pabrik alat-alat penangkap ikan dan seterusnya.
o Materi perlengkapan pendukung, seperti peralatan makan. mulai dari piringnya, sendok garpu, meja makan dan segala perlengkapannya, pengadaan material itu semuanya melibatkan banyak pihak hamba ciptaan Allah ditaqdirkan dengan masing-masing peran.
· Keempat, bahwa segala upaya itu semua adalah dapat terlaksana dengan izin Allah semata, walau kadang tidak kita sadari bahkan sering ada yang berpendapat itu terjadi secara alami. Ketahuilah bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan di alam ini kecuali dengan izin Allah swt. Banyak petani gagal panen, walau padi sudah hampir siap dituai, karena tiba-tiba terjedi bencana alam, kadang banyak sawah yang sudah gagal sejak awal karena terserang hama. Bukan hanya padi yang kadang tidak menjadi bila oleh Allah izin tidak diberi, begitu pula nelayan penangkan ikan kedang pulang dengan kosong lantaran laut sedang bergolak, peternak bukan sedikit yang gagal karena hewan terserang penyakit, sayur dan buah tidak dapat dipanen terkena berbagai musibah.
Dari renungan siapa dibalik sepiring nasi inilah maka kita semakin insaf bahwa nasi yang kita konsumsi setiap hari itu tidak akan terjelma dengan sendirinya tanpa kehendak Allah swt, melalui tangan-tangan hamba ciptaan_Nya yaitu manusia. Belum lagi jika direnung bahwa siapa yang menumbuhkan bibit tumbuhan padi dan buah-buahan serta sayur-sayuran yang tadinya mati. Siapa yang menciptakan ikan yang sekali bertelor jutaan butir, ada yang hidup terus sampai bertelor lagi, ada ikan yang belum sempat besar disantap ikan lainnya untuk meneruskan hidup ikan penyantap dan sebagian ada hidup cukup besar disediakan untuk manusia. Oleh karena itulah sangat layak sebelum menyantap hidangan makan untuk membaca do’a: “Allahuma Bariqlana fima razaqtana wakina azaban naar”.
Seperangkat nasi itupun setelah kita konsumsi, berikutnya diproses mulai dari rongga mulut masuk pencernaan dan akhirnya menjadi energy dan sisa-sisanya dikeluarkan melalui pembuangan. Pencernaan bekerja sepenuhnya atas kuasa Allah, tidak seorangpun yang dapat memerintah pencernaannya sebagaimana halnya tidak seorangpun dapat menentukan jantungnya berdenyut. Kedua organ tubuh ini yaitu pencernaan dan jantung mutlak atas kauasa Allah.
Ibn Samak seorang da’i kondang di era Harun Alrasyid memerintah Bagdad. Pernah berceramah dihadapan pembesar istana, ketika itu musim panas. Sultan kehausan kemudian minta segelas air. Syang da’i, menyela ceramahnya untuk bertanya kepada sultan. “Bagaimana kalau ketika tuan dalam keadaan haus seperti ini, pelayan tuan melaporkan bahwa diseluruh kerajaan tuan tidak tersedia segelas air yang tuan berhahajad atas air itu” Sultan menjawab: “Akan kukerahkan seluruh aparatku untuk mendapatkannya walau harus dengan risiko habisnya seluruh kekayaanku”. Selanjutnya Ibn Samak bertanya lagi: “Bagaimana kalau segelas air yang tuan minum yang seharusnya sebagian dikeluarkan menjadi kencing ternyata tidak dapat dikeluarkan”. Jawab Sultan: “Akan kuundang tabib untuk mengobatiku, sampai sembuh penyakit itu (dapat kencing) walau harus dengan biaya separoh dari hartaku”. Disimpulkan bahwa harta kekayaan Sultan seluruhnya hanya senilai dengan segelas air. (riwayat ini dikutip dan disarikan dari tafsir Al-Azhar ditulis Prof. Dr. HAMKA).